Belum Habis Wereng Coklat, Muncul Virus Kerdil
|
Bogor, Villagerspost.com – Sejak kapan wereng batang coklat menjadi musuh nomor satu petani Indonesia? Berdasarkan pemaparan Guru Besar Proteksi Tanaman IPB Prof. Dr. Aunu Rauf, catatan sejarah tertua tentang hama dan penyakit tanaman padi tertua yang bisa ditemukan di Indonesia adalah catatan dari peneliti Belanda Van Der Groot yang berangka tahun 1929.
Saat itu, berdasarkan catatan Groot, hama dan penyakit yang menjadi musuh utama petani di Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda adalah penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata), wereng padi hijau (Nephotettix apicalis), dan Walang Sangit (Leptocorisa acuta). “Wereng Batang Coklat saat itu belum ada dalam catatan sebagai hama utama bagi tanaman padi,” kata Aunu di acara ‘Diskusi Publik: Ekspose Hasil Lapangan dan Solusi’ yang digelar, di Kampus IPB, Dramaga, Bogor, Senin (14/8).
Berselang puluhan tahun kemudian, wereng coklat sebenarnya juga belum menjadi hama utama tanaman padi. Dari hasil penelitian Ir Soenardi tahun 1964, hama padi utama adalah penggerek batang padi putih (Tryporyza innotata), penggerek batang padi kuning (Tryporyza incertulas), dan jenis penggerek batang lainnya.
Dari catatan yang ditemukan, kata Aunu, serangan wereng coklat muncul sejak tahun 1974 dan berturut turut ada ledakan antara tahun 1976-1979. Kemudian terjadi lagi di tahun 1986, 2005, 2010 dan tahun ini.
Apa pemicunya? Pada jenjang petakan, kata Aunu, ledakan bisa terjadi karena penanaman varietas rentan, pemupukan Nitrogen yang berlebihan serta aplikasi pestisida sembarangan. “Akibat laju reproduksi wereng coklat meningkat, laju mortalitas wereng coklat menurun,” katanya.
Pada jenjang hamparan, ledakan bisa dipicu oleh penanaman padi terus menerus dan penanaman padi tidak serempak. “Akibatnya terjadi peningkatan kelimpahan wereng coklat dari generasi ke generasi dan migrasi atau invasi wereng antar wilayah meningkat,” paparnya.
“Dengan melakukan penanaman padi terus menerus, artinya kita menggelar karpet merah untuk serangan wereng coklat,” pungkasnya.
Terkait masalah pengunaan pestisida yang tak terkontrol sebagai penyebab ledakan wereng, Guru Besar Proteksi Tanaman IPB Profesor Dadang mengatakan, secara aturan sebenarnya pemerintah sudah melarang penggunaan 70 bahan aktif pestisida untuk semua penggunaan termasuk untuk tanaman padi. “Yang dilarang umumnya jenis insektisida, termasuk antibiotik,” ujarnya.
Kemudian pemerintah juga sudah melarang penggunaan 29 bahan aktif khusus untuk tanaman padi, termasuk yang dilarang melalui Inpres Nomor 3 Tahun 1986. “Umumnya yang berasal dari golongan organofosfat,” terang Dadang.
Pemerintah juga melarang penggunaan pestisida aktif golongan piretroid untuk tanaman padi yang banyak menyebabkan resurjensi (membuat pembiakan wereng semakin produktif). “Pemerintah juga melakukan moratorium pendaftaran insektisida untuk hama sasaran wereng batang coklat. Pada label pestisida yang bukan untuk tanaman padi harus dituliskan ‘tidak untuk tanaman padi’,” ujarnya.

Sayangnya, kata Dadang, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Para petani justru banyak menggunakan pestisida yang dilarang seperti golongan Piretroid (deltametrin dan lamda sihalotrin), Organofosfat (Fentoat, profenofos). “Juga terjadi penggunaan insektisida yang belum terdaftar untuk tanaman padi seperti penggunaan Imidakloprid untuk bawang, dan Abamektin untuk sayuran,” ujarnya.
Kemudian, terjadi juga teknik aplikasi yang kurang tepat baik dosis dan konsentrasi, cara aplikasi yang tidak tepat, bahkan penggunaan insektisida palsu. Akibatnya serangan WBC terjadi dan populasi WBC semakin meningkat. “Terjadi resurjensi, terjadi resistensi,” ujarnya.
Lantaran ini udah terjadi, tindakan pengendalian menjadi tidak efektif. Kemudian cara aplikasi dan dosis konsentrasi yang tidak tepat juga membuat pencematan lingkungan semakin meningkat. “Di lapangan petani mencampur pestisida dengan oli, autan, campur aduk, sehingga lingkungan tercemar,’ ujar Dadang.
Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan petani terhadap pestisida. Petani kurang pengetahuan karena pendampingan terhadap petani yang semakin menurun. “Iklan-iklan pestisida sangat masif, termasuk iklan yang kurang tepat seperti pestisida yang sudah dilarang,” papar Dadang.
Akibat kurangnya pengetahuan dan pendampingan, petani jadi memiliki “fanatisme” berlebihan terhadap suatu merk insektisida. Apa yang bisa dilakukan untuk menghindari kesalahan ini?
“Pertama, tidak menjadikan insektisida sebagai ‘senjata utama’ dalam pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) namun gunakan pendekatan PHT (pengendalian hama terpadu,” ujar Dadang.
Kemudian, seandainya menggunakan pestisida, lakukan dengan prinsip benar dan bijaksana untuk mendapatkan hasil pengendalian yang efektif, efisien dan aman. Ketiga, melakukan peningkatan jasa ekosistem (ecosystem services) dalam budidaya padi. Keempat, peningkatan pengetahuan dan keahlian dalam bidang pestisida termasuk aspek ekotoksikologinya. “Kelima, sanksi pencabutan izin edar pestisida bagi perusahaan yang mempromosikan pestisida terlarang untuk tanaman,” ujarnya.
Pengendalian WBC memang penting mengingat, serangan WBC juga membawa dampak ikutan yaitu munculnya penyakit virus kerdil hampa. Guru Besar Ilmu Penyakit Tanaman IPB Profesor Sri Hendrastuti Hidayat mengatakan, pada tanaman padi ada tiga virus utama penyebab kerusakan dan kerugian yaitu tungro, kerdil rumput, dan kerdil hampa.
“Ketiga jenis virus ini di lapangan bisa dibedakan dari gejalanya walaupun beberapa infeksi sulit untuk membedakan ketiga virus ini,” ujarnya.
Untuk penyakit tungro, gejalanya sangat jelas, yaitu warna oranye pada daun yang masih muda, tanaman kerdil, tanaman padi rumpunnya menjadi banyak sepeti rumput. “Namun, untuk kerdil rumput strain baru memperlihatkan gejala baru selain kerdil dan anakan banyak juga menunjukkan adanya warna kuning ke oranye-oranyean seperti tungro, sehingga banyak dilaporkan sebagai tungro, padahal kerdil rumput,” terang Sri
“Kerdil hampa lebih jelas, karena selain kerdil, ada gejala khas yaitu ada daun yang terpelintir, twisting, ini mudah ditemukan di lapangan,” tambahnya.
Virus kerdil rumput dan kerdil hampa ini, kata Sri, tidak hanya ditemukan di NKRI tetapi juga ditemukan di negara lain di wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam dan Asia Selata, juga di Jepang, Cina dan Taiwan. “Namun tahun 2017 ini hanya Indonesia saja yang dilaporkan terjadi infeksi kerdil rumput dan hampa, negara lain tidak kita dengar,” kata Sri.
Virus kerdil rumput dan kerdil hampa ini memang tergantung penyebaran WBC. “Penyebaran virus di lapangan hanya bisa terjadi melalui WBC, tidak ada mekanisme lain yang bisa tularkan dan sebarkan pada padi,” ujarnya.
Virus ini ditularkan ke WBC secara persisten, artinya sekali wereng terkena virus, maka virus akan ada di tubuh wereng seumur hidup sampai mati. Kerugian tanaman yang tunjukkan gejala kerdil, pasti tidak berproduksi. “Kehilangan hasil bisa 80 persen itupun pada insidensi virus hanya 30%,” tambah Sri.
Yang lebih gawat, sekali ada serangan, tidak ada rekomendasi lain selain memusnahkan tanaman yang terserang. “Seringkali petani putus asa ketika tanamannya terkena kerdil virus dan dibiarkan saja di lapangan, tidak diapa-apakan. Padahal, justru itu berbahaya, tanaman sakit yang dibiarkan di lapangan jadi sumber penyebaran penularan virus. Sebaiknya dimusnahkan, cara paling gampang dibenamkan di sawah,” pungkas Sri.