Bencana Ekologis Mengancam, Pemerintah Didesak Evaluasi Izin-Izin Konsesi Kehutanan di Kawasan Danau Toba

Peta areal konsesi kehutanan di kawasan Danau Toba (dok. ksppm)

Jakarta, Villagerspost.com – Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mendesak pemerintah agar segera mengevaluasi izin-izin konsesi kehutanan baik berbentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) maupun Hutan Tanaman Industri (HTI) di sekitar kawasan Danau Toba. Pasalnya, kerusakan lingkungan yang terjadi, telah mengancam keselamatan warga masyarakat sekitar.

Bencana ekologis seperti banjir, sering terjadi. Terbaru adalah bencana banjir bandang yang terjadi di Kota Parapat, Kamis (13/5) lalu. “Bencana ini harusnya menjadi momentum bangkitnya kesadaran masyarakat luas di Kawasan Danau Toba akan pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan hidup,” kata Direktur Eksekutif KSPPM Delima Silalahi, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (17/5).

Delima menegaskan, wacana membangun Danau Toba sebagai tujuan pariwisata bertaraf internasional akan mustahil terwujud jika kerusakan lingkungan hidup tidak terselesaikan. “Bencana Lingkungan yang kerap terjadi dalam sepuluh tahun terakhir menjadi ancaman serius terhadap penduduk di daerah-daerah rawan bencana dan juga bagi wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba,” paparnya.

Pemerintah, ujar dia, berkewajiban menjamin hak atas lingkungan hidup yang aman bagi penduduk lokal dan juga wisatawan. Delima memaparkan, banjir bandang di Parapat tersebut, bukanlah kali pertama terjadi.

Pada 15 Desember 2018 lalu, banjir bandang juga terjadi di Desa Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun. Masa liburan Natal dan Tahun Baru yang harusnya menjadi masa panen bagi pelaku wisata di Parapat dan sekitarnya, menjadi mimpi buruk bagi warga Parapat.

“Pemberitaan banjir bandang juga mengakibatkan banyak orang mengurungkan niatnya berlibur akhir tahun di Parapat. Hal ini berdampak terhadap sumber pendapatan ekonomi masyarakat,” urai Delima.

Banjir bandang kembali berulang pada 11 Juli 2020, di mana material batu dan kayu menghantam bangunan gereja HKBP Pardomuan, Sualan dan merusak lima rumah warga dan perladangan penduduk. Walau tidak ada korban jiwa, namun banjir bandang tersebut cukup mengagetkan warga sekitar.

Rentetan peristiwa banjir bandang yang terjadi sejak tahun 2018 sampai yang terjadi baru-baru ini, tentu saja memberikan rasa tidak nyaman tidak hanya bagi penduduk sekitar tapi juga bagi pengguna lalu lintas yang melewati perbukitan Sibatuloting tersebut. “Apalagi melihat tidak adanya respons serius dari pemerintah mengatasi persoalan kerusakan hutan yang ada di sekitar lokasi tersebut,” jelas Delima.

Kawasan hutan di sekitar Danau Toba yang rusak (dok. ksppm)

Cerminan Kerusakan Hutan

Delima mengungkapkan, banjir bandang yang kerap terjadi, di Parapat, menjadi cerminan kerusakan hutan yang masif di Kawasan Danau Toba. Dampak kerusakan hutan itu tidak hanya dirasakan masyarakat di Parapat saja.

Sejarah masih mencatat, pada 29 April 2010, banjir bandang menghantam Desa Sabulan dan Ransang Bosi, Kecamatan Sitiotio-Kabupaten Samosir. Dalam bencana tersebut, lima orang penduduk Desa Sabulan dinyatakan meninggal. Tidak hanya itu, banjir bandang juga merusak jembatan, fasilitas umum, 10 rumah warga dan sekitar sembilan hektare lahan tanaman warga rusak tertimbun batu, gelondongan kayu dan lumpur.

Desa tersebut persis berada sekitar 4-6 km di bawah Areal Hutagalung, di mana terdapat areal Konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Sebelum kehadiran PT TPL/Indorayon, areal tersebut adalah hutan alam yang berfungsi sebagai resapan air.

Masih di Kecamatan Sitiotio, pada Jumat, 3 Mei 2019 banjir bandang kembali terjadi di Desa Buntu Mauli I dan Ransang Bosi. Banjir bandang tersebut mengakibatkan seorang warga meninggal dunia, meluluhlantakkan persawahan dan perladangan masyarakat, merusak lima rumah warga dan merusak jembatan Binanga Batu Bolon.

Di tahun yang sama, 8 Desember 2019, baniir bandang juga terjadi di Desa Holbung, Kecamatan Sitio-tio, yang merusak jembatan penghubung antar desa di Kecamatan Sitio-tio dan Pelabuhan di Holbung.

Selain di Kecamatan Sitio-tio, banjir bandang terjadi berkali-kali di Kecamatan Sianjur Mula-Mula Kabupaten Samosir. Pada 8 Maret 2018, banjir bandang terjadi di Desa Bonan Dolok, merusak Gedung sekolah SMP Bonan Dolok dan lahan pertanian warga.

Kemudian pada 21 Maret 2019, masih di Kecamatan Sianjur Mula, banjir bandang kembali terjadi, dan merusak lahan pertanian di Desa Habeahan Naburahan, Desa Aek Sipitudai, dan Desa Sarimarihit. “Desa-Desa tersebut berada di bawah Bentang Alam Tele, yang juga merupakan areal konsesi PT TPL,” ujar Delima.

Kerusakan hutan di Hulu Danau Toba juga telah mengakibatkan banjir bandang di Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada 19 November 2017 banjir bandang terjadi di Desa Marbun Tonga Dolok dan Desa Siunong-Unong Julu, kecamatan Bakti Raja.

Menurut Pemkab Humbahas, banjir bandang ini terjadi akibat meluapnya Aek Silang yang mengalir ke Bakkara. Hulu dari Aek Silang berada di Kecamatan Pollung, yang juga merupakan areal konsesi PT TPL.

Dari investigasi yang dilakukan oleh KSPPM sejak tahun 2010 di Kecamatan Pollung, hutan yang menjadi DAS Aek Silang di Pollung mengalami kerusakan berat. Jika musim kemarau Aek Silang mengering dan meluap di musim penghujan.

Tidak adanya penanganan yang serius dari pemerintah terkait dengan kerusakan hutan yang terjadi di DAS Aek Silang, juga mengakibatkan terjadinya kembali banjir bandang Aek Silang pada 4 November 2020 di Baktiraja. Sekitar 20 hektare lahan pertanian masyarakat terendam banjir bandang.

Laju kerusakan hutan di kawasan Danau Toba (dok. ksppm)

Memperbaiki Tata Kelola Lingkungan Di Kawasan Danau Toba

Peristiwa banjir bandang yang terjadi setiap tahun di Kawasan Danau Toba membuktikan tata Kelola lingkungan yang buruk. Desa-desa yang berada di lembah pebukitan Hulu Danau Toba bukanlah desa-desa baru. Desa-desa tersebut sudah ada sejak zaman dulu, namun karena kerusakaan hutan di hulu menyebabkan desa-desa di atas menjadi desa rawan bencana banjir bandang dan longsor.

Hadirnya berbagai industri di hulu Kawasan Danau Toba mempercepat laju kerusakan hutan. Di awali dengan pemberian izin konsesi HPH/HTI hutan di hulu Kawasan Danau Toba berdasarkan SK No.493 KPTS-II/ Tahun 1992 ada sekitar 269.060 hektare kepada PT Inti Indorayon Utama yang sekarang beganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari.

Luas konsesi ini telah mengalami delapan kali revisi, terakhir SK 307/menlhk/setjen/HPL.0/7/2020 menjadi 167.912 hektare. Walau mengalami pengurangan luas konsesi, namun bukan berarti kerusakan hutan belum terjadi pada lokasi-lokasi yang sudah dikeluarkan dari konsesi tersebut.

Dalam SK Adendum yang terbaru misalnya, ada pengurangan sekitar 16 ribuan hektare di Kecamatan pollung. “Namun areal tersebut juga sebagian besar sudah beralih fungsi dari hutan alam menjadi hutan bekas eukaliptus,” tegas Delima.

Tentu bukan kebetulan, jika lokasi-lokasi terjadinya banjir bandang tersebut selalu bersinggungan dengan areal konsesi PT TPL. Hampir semuanya berada di hilir areal konsesi perusahaan penghasil pulp tersebut.

“Sehingga dugaan sebagian orang bahwa perusahaan tersebut berkontribusi besar menyebabkan terjadinya bencana-bencana ekologis yang telah terjadi sulit terbantahkan,” ujar Delima.

Karenanya, ujar dia, sudah sepatutnya seruan para pemerhati lingkungan di Kawasan Danau Toba agar izin konsesi perusahaan ini dicabut harus dipertimbangkan serius oleh pengambil kebijakan di republik ini. “Benar, bahwa selain kerusakan hutan di areal konsesi tersebut, ada terdapat beberapa praktik perambahan hutan oleh perusahaan-perusahaan lokal skala kecil. Ini juga harus ditindak serius oleh instansi terkait,” tambah Delima.

Seperti di lokasi Hutan Sibatuloting misalnya, disinyalir ada perusahaan kayu milik pengusaha Siantar. Konflik petani sekitar dan pemilik perusahaan sudah kerap terjadi, bahkan media dan organisasi masyarakat sipil sudah berkali-kali mengadukan praktik perambahan hutan tersebut kepada pihak berwajib dan intansi kehutanan di lokasi tersebut, namun lagi-lagi tidak ada Tindakan tegas hingga saat ini.

Praktik-praktik illegal logging yang terjadi di Kawasan Danau Toba memang harus ditangani dengan serius. Namun mengevaluasi dan mencabut izin-izin konsesi, izin HPH/TI dan izin-izin legal lainnya yang ada di Hulu Danau Toba menjadi sangat penting. Karena kerusakan hutan bukan persoalan legal atau illegal.

“Pemerintah harus meninjau ulang izin-izin tersebut jika serius membuat tata Kelola lingkungan yang sesuai dengan daya dukung Kawasan Danau Toba,” jelas Delima.

Kawasan hutan yang masih baik dan yang sudah gundul (dok. ksppm)

Pelibatan Masyarakat Adat Dalam Pemulihan Lingkungan

Kegigihan masyarakat adat di Kawasan Danau Toba mempertahankan hutan adatnya patut diapresiasi oleh pemerintah dan masyarakat. Selain memperjuangkan tanah sebagai identitas, hal penting lainnya adalah perjuangan atas fungsi ekologis hutan adat. Masyarakat adat memiliki tata ruang dan tata Kelola tanah dan sumber daya alam yang masih dipraktikkan hingga saat ini.

Prinsip dan keyakinan petani kemenyan, bahwa kemenyan hanya bisa tumbuh bersama dengan kayu-kayu alam membuat mereka memperlakukan hutan alam dengan sangat baik dan menjaga kelestariannya.

“Sangat banyak pengetahuan dan kebijaksanaan lokal yang dipraktikkan oleh masyarakat adat dalam mengelola tanah dan hutan adatnya,” papar Delima.

“Kita bisa bandingkan hutan alam yang masih terjaga saat ini di Kawasan Danau Toba adalah hutan alam yang dikelola oleh masyarakat adat,” tambahnya.

Contohnya adalah hutan kemenyan Pandumaan-Sipituhuta dan Hutan Kemenyan Pargamanan-Bintang Maria Parlilitan. Kerusakan hutan justru terjadi di hutan-hutan yang sudah dijadikan areal Hutan Tanaman Industri.

“Sayangnya atas dasar legalitas izin, upaya masyarakat adat mempertahankan hutan adatnya justru sering diintimidasi dan dikriminalisasi,” sesal Delima.

Jika pemerintah serius memulihkan kondisi hutan dan lingkungan hidup di Kawasan Danau toba, maka salah satu cara adalah menjadikan masyarakat adat menjadi mitra strategis dalam pelestarian hutan adat. Tentu dengan catatan, pemerintah kabupaten menerbitkan Perda Pengakuan dan Pelrindungan Masyarakat adat di Kawasan Danau Toba.

“Ini menjadi salah satu solusi untuk menyelamatkan hutan-hutan alam yang tersisa,” pungkas Delima Silalahi.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.