Boedi Sardjana Julianto: Pencetus “Revolusi” Target Program RCL

Boedi Sardjana Julianto, mantan Program Manager RCL Oxfam yang mencetuskan "revolusi" target program RCL (do. oxfam/irwan firdaus)
Boedi Sardjana Julianto, mantan Program Manager RCL Oxfam yang mencetuskan “revolusi” target program RCL (do. oxfam/irwan firdaus)

 
Jakarta, Villagerspost.com – Program Restoring Coastal Livelihood yang dilaksanakan Oxfam bersama pemerintah Kanada yang bertujuan untuk memulihkan perekonomian masyarakat pesisir khususnya di Sulawesi Selatan yang terdampak oleh kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, resmi selesai pada 31 Agustus kemarin. Meski begitu, banyak cerita yang masih tersisa dari program yang telah berjalan selama lima tahun sejak tahun 2010 silam ini.

Salah satunya adalah soal perubahan arah kebijakan program yang lebih ambisius dan terarah yang dimulai sejak setahun setelah program ini dimulai pada tahun 2011. Memulihkan penghidupan masyarakat pesisir, memang dinilai tak cukup jika hanya sekadar membuat masyarakat pesisir khususnya kaum perempuan, mampu mengembangkan usaha dengan memanfaatkan potensi yang ada di sekitar mereka.

Disadari, masyarakat juga harus mampu memilih potensi yang memiliki daya saing yang baik dan bisa dikembangkan sampai level usaha yang bisa menguntungkan dan bertahan dalam jangka yang panjang alias berkelanjutan. Adalah Boedi Sardjana Julianto, yang menjadi “otak” dibalik penentuan target yang ambisius ini. Budi dipercaya menjadi Manager Program RCL Oxfam sejak tahun 2011 dan mengakhiri tugasnya pada tahun 2014 lalu.

Apa saja terobosan-terobosan yang dilakukan pria kelahiran 19 Juli 1971 ini selama mengepalai program RCL di Sulawesi Selatan ini? Berikut penuturannya kepada Villagerspost.com yang menemuinya beberapa waktu lalu di acara penutupan program RCL di Makassar.

Sejak kapan anda terlibat di program RCL?

Saya masuk menggantikan ibu Libby (Libby Anne Desforges-red) dari Oxfam UK pada tahun 2011 tepatnya di bulan Desember.

Ketika itu apa yang anda pikirkan untuk bisa membawa program ini lebih baik lagi?

Saat saya masuk, memang sudah ada desain program yang telah ditetapkan oleh Oxfam. Namun setelah saya pelajari, saya menemukan dari sisi pengembangan program, belum terlihat apa yang menjadi critical success factor dari program ini. Jadi belum ada semacam fokus yang bisa menjadi driver untuk mencapai target program.

Lantas apa yang kemudian anda tawarkan?

Saya waktu itu pasang target agar program ini mampu meningkatkan 100 persen pendapatan para beneficiaries atau para penerima manfaat. Untuk itu kita lihat apa mata pencaharian mempercepat pencapaian outcome yang sudah ditetapkan itu. Apa potensi ke depan yang bisa dikembangkan lebih jauh lagi.

Ketika itu usaha apa yang sudah bisa berjalan?

Kebanyakan ketika itu usaha yang jalan seperti membuat keripik, kerupuk, makanan kecil yang sasarannya hanya terbatas pada pasar lokal. Perlu ada pengembangan usaha ke depan yang bisa dikembangkan lebih besar lagi untuk mencapai target yang ditetapkan.

Lantas usaha apa yang ketika itu dilirik?

Kita mulai lihat ada potensi kepiting dan rumput laut. Khususnya potensi rumput laut di sini sangat besar, sementara pasar rumput laut di dunia tumbuh terus dalam 10 tahun belakangan ini rata-rata tumbuh 10 persen. Saya kebetulan tahun 2005 pernah punya pengalaman untuk mengembangkan rumput laut di Indonesia Timur yaitu di NTT. Saya yakin usaha ini bisa menjadi alternatif yang bisa dikembangkan di Sulsel.

Apa yang membuat anda yakin rumput laut bisa dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan?

Di sini bisa dilihat dari potensi rumput laut yang ada yaitu umumnya dari jenis rumput laut tropis (cottonee) yang umumnya mudah tumbuh di Indonesia Timur seperti di Sulawesi, NTT, Maluku, Bali. Ini potensinya besar karena pasarnya terus meningkat, sementara pengembangannya mudah, modal budidaya tidak besar. Lagipula rumput laut jenis ini sudah ada di lokasi sekitar dan mudah dikembangkan, usia 45 hari sudah panen. Kemudian, dalam program RCL memang tidak ada bantuan berupa uang. Tadinya didesain ada, tetapi dibatalkan karena dinilai tidak efektif. Karena itu bantuan yang kita berikan dalam bentuk inkind material atau material untuk permodalan. Ini sangat sesuai untuk pengembangan rumput laut yang tidak perlu modal besar. Kita kasih bantuan berupa bibit dan tali.

Kemudian bagaimana dengan usaha kepiting?

Kepiting juga potensinya besar, karena potensi sumber daya dan potensi pasarnya juga besar. Untuk kepiting, setelah kita evaluasi ternyata lebih menguntungkan menjual dagingnya. Kebetulan, ada inisiatif juga dari perusahaan PT Nirwana bagi masyarakat berupa bantuan teknis seperti cara mengambil daging kepiting agar optimal, bagaimana menyimpan, mengemas dan sebagainya. Oxfam sendiri memberikan bantuan berupa inkind berbentuk bangunan unit produksi untuk pengupasan kepiting.

Bagaimana hasil dari pengembangan usaha kepiting ini?

Paling berkembang memang di Maros, kelompok Ujung Parappa untuk kepiting harga jual dagingnya bisa mencapai Rp20.000-Rp30.000 per kilogram. Jadi ada nilai tambah dengan unit produksi daging kepiting yang juga menyerap tenaga kerja.

Bagaimana dampak adanya Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melarang penangkapan kepiting? {Untuk diketahui, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada bulan Januari lalu telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang pembatasan penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus spp.)}.

Memang ada dampaknya bagi masyarakat. Eksportir juga memperketat proses quality control mereka supaya tidak melanggar aturan itu. Mereka hanya menerima kepiting yang berukuran di atas 200 gram. Untuk Oxfam, kita memang memberikan edukasi, sosialisasi terkait Permen KP tersebut supaya mereka juga tahu hanya boleh menangkap kepiting dengan ukuran tertentu sesuai aturan itu. Dari sisi harga juga ada pengaruh, harga turun menjadi Rp20.000 per kilogram karena eksportir juga kesulitan memasarkan. Tetapi usaha ini masih jalan, masih ada keuntungan yang bisa diterima masyarakat.

Sekarang program RCL sudah ditutup, anda yakin usaha mereka masih terus jalan?

Saya yakin jalan. Indikasinya, kemandirian, kepercayaan diri dan inisiatif mereka sudah bisa ditumbuhkan selama program RCL berlangsung. Mereka sudah tahu usaha apa yang bisa dikembangkan dengan melihat potensi yang ada di sekitarnya, sudah punya kemampuan produksi, memenuhi standar permintaan pasar. Mereka juga mampu untuk mencari usaha alternatif ketika usaha utama mengalami hambatan.

Setelah tak lagi menjadi Program Manager RCL Oxfam, apa sekarang kegiatan anda sekarang?

Saya punya usaha sejak tahun 2008 di Yogyakarta, perusahaan pembuatan tepung bumbu tanpa MSG (monosodium glutamat-red) dengan bendera CV Mitra Mandiri. Mereknya “qreezpy” nanti bisa dilihat di website kami qreezpy.com. Kami ada empat orang kawan sesama alumni UGM (Boedi adalah sarjana lulusan program teknologi pangan IPB angkatan tahun 1991-red). Produksinya saat ini dari 100 kilogram per bulan di awal, sekarang sudah mencapai 11 ton per bulan. Omsenya ya lumayan lah sudah sekitar Rp5,28 miliar. Kita pasarkan sementara ini di wilayah Jawa dulu. Kami juga saat ini sedang membangun pabrik di Banguntapan di area seluas 400 meter persegi. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.