Catatan dari Blusukan Asap Jokowi: Lindungi Gambut, Lawan Asap

Kebakaran Hutan di kawasan perkebunan sawit di Riau (Dok. Greenpeace)
Kebakaran Hutan di kawasan perkebunan sawit di Riau (Dok. Greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Presiden Jokowi Widodo akhirnya memenuhi harapan warga khususnya di Provinsi Riau yang selama ini terdampak langsung oleh bencana kebakaran hutan dan kabut asap untuk melakukan blusukan asap. Presiden Jokowi sendiri telah menyatakan komitmennya untuk melindungi lahan gambut, salah satunya dengan memperpanjang moratorium pembukaan lahan gambut dan meninjau ulang perizinan di kawasan gambut.

Komitmen Jokowi ini dinilai penting untuk mengakhiri bencana asap yang selama 17 tahun ini tak tertanggulangi. Mengapa melindungi lahan gambut menjadi langkah penting dalam mengatasi bencana kabut asap? Berikut adalah beberapa catatan singkat terkait lahan gambut yang disarikan dari beberapa laporan oleh Koalisi Blusukan Asap:

Kebakaran hutan dan lahan gambut tahunan di Indonesia sebagian besar adalah krisis buatan manusia, yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat terutama di Indonesia serta Asia Tenggara. Dimana perusahaan perkebunan yang masih terus beroperasi dengan kondisi penegakan hukum yang lemah serta cara mereka menjalankan praktik yang tidak bertanggung jawab seperti: membuka hutan, mengeringkan lahan gambut yang kaya akan karbon, dan menjadi penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut, yang dikenal sebagai kabut asap.

Pada kondisi alami, kebakaran lahan gambut sebenarnya sangat jarang terjadi, tapi dalam beberapa dasawarsa kehancuran lahan gambut telah membuat Indonesia menjadi wilayah yang sangat mudah terbakar. Hal itu juga menjadi ancaman bagi kesehatan jutaan orang di Sumatera, dan di seluruh wilayah tersebut. Di Asia Tenggara, asap dari kebakaran hutan dan lahan gambut dapat dihubungkan dengan terjadinya 300.000 kematian selama bertahun-tahun ketika terjadi El Nino.

Kabut Asap adalah tanda yang paling terlihat bahwa “bisnis seperti biasa (business as usual)” pada sektor perkebunan dan kehutanan tidak dapat dilanjutkan. Perlindungan total terhadap lahan gambut adalah solusi jangka panjang yang terbaik. Kita harus menghentikan kebakaran hutan dan lahan gambut dengan segera dan mencegah bencana kesehatan masyarakat di masa yang akan datang.

Riau adalah daerah Titik Nol untuk kabut asap. Riau menyumbang hanya 5% dari luas wilayah daratan Indonesia. Namun 40% dari titik api berada di Riau dan hampir tiga perempat dari titik api tersebutberada di atas lahan gambut.

Riau juga merupakan “rumah” bagi porsi sektor perkebunan Indonesia yang signifikan, Riau adalah provinsi dengan produksi minyak sawit terbesar di Indonesia. Ekspansi yang sedang berjalan dari perkebunan kelapa sawit menyebabkan emisi karbon serta pengrusakan lingkungan yang sangat besar. Sebanyak 40% dari minyak kelapa sawit Indonesia yang diperdagangkan melalui Pelabuhan Dumai di Riau.

Kebakaran hutan dan lahan gambut dilindungi secara hukum. Pada Mei 2011, Indonesia memperkenalkan moratorium hutan selama dua tahun pada izin konsesi baru di hutan primer dan lahan gambut. Sementara moratorium ini adalah langkah awal, namun hal itu tidak melindungi seluruh hutan ataupun lahan gambut sekalipun.

Analisa ini menunjukkan bahwa pada Februari 2014, lebih dari 30% titik-titik api ternyata terjadi pada lahan yang sebenarnya dilindungi oleh moratorium. Dari seluruh titik api pada lahan moratorium, hampir 80% terjadi pada daerah lahan gambut, kendati tujuan yang ditetapkan dalam moratorium adalah untuk menghentikan sementara waktu pembukaan lahan baru di wilayah ini.

Apa Itu Lahan Gambut? Dan Mengapa Harus Dilindungi?

Lahan Gambut tropis sebagian besar terdiri atas sebagian vegetasi mati yang membusuk, kemudian terakumulasi selama ribuan tahun dan umumnya jenuh atau dekat dengan kejenuhan air. Ketika dibiarkan secara alami, maka hampir tidak mungkin untuk terbakar. Lahan gambut adalah sebuah penyimpanan (gudang/wadah) karbon dalam jumlah besar, menguncinya di bawah tanah dan mencegahnya dari terlepas ke atmosfer.

Fakta Cepat:

• Lahan Gambut Indonesia menyimpan hampir 60GtC 3 (disamping karbon yang berada dalam kawasan hutan). Hal ini hampir sama dengan enam kali jumlah karbon yang dilepaskan oleh bahan bakar fosil setiap tahunnya. Jika lahan-lahan gambut ini lenyap, hal itu akan “membuka” jauh lebih banyak karbon serta melepaskannya ke atmosfir.

• Provinsi Riau sendiri diperkirakan memegang 40% penyimpanan karbon dari lahan gambut, setara dengan nilai lebih dari setahun emisi gas rumah kaca dunia, dengan lahan gambut mencapai kedalaman 14 meter atau lebih di beberapa lokasi. Kebakaran Hutan di khatulistiwa mempengaruhi kadar gas rumah kaca global. Jumlah rata-rata emisi gas kebakaran dari wilayah ini diperkirakan sebesar 0.12GtC/tahun, yang dapat dibandingkan dengan emisi bahan bakar fosil untuk wilayah tersebut.

Apa yang menyebabkan kebakaran pada lahan gambut dan kabut asap?

Hutan hujan tropis, termasuk yang berada di atas lahan gambut, biasanya tidak terbakar. Namun, pembukaan hutan dan kekeringan menambah kerentanan hutan terhadap kebakaran, dan pembakaran seringkali digunakan untuk mengosongkan daerah tersebut.

Sementara hutan tropis dan lahan gambut yang terdegradasi dapat melepaskan simpanan karbon yang tersimpan selama beberapa dekade, kemudian terbakar melepaskan karbon ke atmosfer dengan cepat, serta merusak kemampuan ekosistem untuk pulih kembali dan mulai menyerap lebih banyak karbon lagi.

Sekali dikeringkan, lahan gambut yang mengering dapat membara perlahan-lahan sementara vegetasi yang (terutama di hutan-hutan terdegradasi) menangkap sinar dengan mudah dan kebakaran dapat menyebar dengan cepat. Kebakaran dapat tidak disengaja (misalnya disebabkan oleh petir atau kecerobohan manusia), atau dengan sengaja untuk membuka lahan untuk budidaya atau untuk meningkatkan kesuburan tanah.

Disengaja atau tidak, kebakaran di lahan gambut dapat dengan mudah membakar lahan di luar kendali, khususnya dalam periode tahun kemarau. Karena api akan menyebar jauh ke dalam tanah dan kebakaran seperti itu akan sulit untuk dipadamkan, bahkan kadang terbakar selama berbulan-bulan.

Akibat yang timbul dari kebakaran tersebut adalah lepasnya emisi yang cepat dan besar-besaran dari gas rumah kaca  dan kabut asap yang pekat. Pengeringan lahan gambut dapat mempengaruhi seluruh lanskap, bukan hanya wilayah yang ditargetkan untuk budidaya.

Semua lahan gambut harus dilindungi, tidak peduli (seberapa) dalam atau di manapun letaknya. Penanaman di atas lahan gambut lebih dari tiga meter dalamnya merupakan pelanggaran hukum di Indonesia walaupun hukum banyak dilanggar.

Lebih lanjut, melindungi lahan gambut dalam saja tidaklah cukup; pengembangan perkebunan di sekitar tepi kubah lahan gambut, bahkan di daerah di mana kedalaman lahan gambut mungkin satu meter atau kurang, mengancam ekosistem secara keseluruhan. Drainase, misalnya untuk perkebunan kelapa sawit, menguras air dari kawasan hutan disebelahnya, dan permukaan air umumnya mulai menurun.

Di kawasan Asia Tenggara, pembakaran hutan yang bertujuan untuk pembukaan hutan terkait dengan deforestasi, terutama hutan lahan gambut, merupakan sumber utama emisi kebakaran di wilayah ini. Mereka menambah tingkat polusi udara perkotaan yang ada, terutama dalam tahun El Nino ketika kekeringan meningkatkan cakupan dan daya tahan kebakaran hutan. Asap ini meliputi partikel karbon yang lebih kecil dari 2µm.5 dalam diameter (PM2.5), yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Gas yang ditimbulkan dari kebakaran juga berkontribusi terhadap pembentukan ozon tingkat rendah.

Asap dari kebakaran ini dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat tidak hanya di wilayah pedesaan, namun juga di daerah perkotaan di wilayah tersebut. Pemodelan atribut rata-rata 110.000 kematian per tahun di kawasan itu untuk yang ditimbulkan dari kebakaran ini, terutama terkait dengan paparan musiman jangka panjang dari partikel. Ini meningkat sampai mendekati tiga ratus ribu (300.000) kematian untuk tahun El Nino 1997/8.

Apa Saja yang Dapat Menjadi Solusi?

-Ulasan izin konsesi yang sudah ada dan menindak keras tindakan melawan hukum. Kegagalan untuk mengikuti proses hukum dalam pemberian izin dan kegagalan untuk menghormati peraturan lahan gambut yang ada atau peraturan yang melarang pembakaran harus mengarah pada pencabutan; konsesi yang melakukan pelanggaran.

-Membuat daftar umum nasional dari semua jenis konsesi–termasuk perkebunan kelapa sawit, Hutan tanaman Industri dan tambang batu bara – dan mempublikasikan “Satu Peta”.

-Mengembangkan sistem monitoring deforestasi nasional yang independen untuk memberikan transparansi yang lebih besar (untuk proses), memastikan bahwa pengawasan dan penegakan hukum yang efektif, serta memberdayakan masyarakat setempat dan pemangku kepentingan lainnya.

Sistem semacam itu akan memungkinkan untuk mengidentifikasi mereka yang bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan lingkungan seperti kebakaran, serta meningkatkan tata pemerintahan dengan meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.

-Mengembangkan database pada lahan rendah karbon yang berpotensi tersedia untuk pembangunan. Hal ini akan memfasilitasi proses pertukaran lahan yang efektif, dimana konsesi hukum di kawasan hutan serta lahan gambut dapat dipertukarkan untuk konsesi di daerah nilai karbon rendah tidak terbebani dengan masalah sosial, lingkungan maupun ekonomi.

Perusahaan perkebunan kelapa sawit serta perusahaan bubur kertas dan kertas, harus berkomitmen terhadap kebijakan “Nol Deforestasi”. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.