Cicantayan Siap Berkembang Menjadi Kawasan Perdesaan Berbasis Agrowisata
|
Sukabumi, Villagerspost.com – Camat Cicantayan Sendi Apriadi mengatakan, Cicantayan saat ini tengah bersiap mengembangkan diri menjadi kawasan perdesaan wisata berbasis agrowisata. “Jadi elemen pentingnya tetap pertanian,” kata Sendi, dalam sambutannya, saat membuka diskusi bertajuk ‘Perencanaan Pengembangan Kawasan Perdesaan Yang Inklusif’, di Kecamatan Cicantayan, Sukabumi, Rabu (24/7).
Untuk itu, pihak kecamatan juga memfasilitasi desa untuk bisa menggali dan mengkoordinasikan potensi antar desa. “Lakukan koordinasi agar tahu potensi antar desa, bahkan jika ada yang sama, maka kita akan ungulkan potensi yang berbeda,” katanya.
Saat ini, Cicantayan belum mencairkan dana BUMDes 2019 karena masih menunggu verifikasi BUMDes. “BUMDes wajb sodorkan tiga potensi usaha yang akan dibiayai atau intervensi,” ujarnya.
Dari 100 persen dana desa, kata Sendi, 50 persen akan diarahkan membiayai BUMDesMa dan 50 persen lainnya untuk mendanai internal desa untuk menemukan dan mengembangkan potensi desa. Salah satu yang siap didanai adalah pembiayaan BUMDes bersama untuk pola Kampung Manggis yang selama ini menjadi salah satu komoditas andalan Cicantayan.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sukabumi Jalaluddin Mukti menegaskan, pembangunan ekonomi Kabupaten Sukabumi memang masih difokuskan pada pembangunan pertanian dan juga perikanan. “Pertanian, kita punya potensi luas pertanian basa atau sawah irigasi seluas 66 ribu hektare, sementara lahan sawah kering mencapai 124 ribu hektare. Pertanian kita menjadi lumbung pangan nasional, namun di sisi lain memang harus dibenahi rantai pasok dan tata niaganya,” ujarnya.
Selain padi dengan produksi per tahun mencapai 900 ribu ton, Kabupaten Sukabumi juga punya potensi hortikultura, seperti tomat, mentimun, swi dan lain-lain, juga yang sedang menjadi primadona adalah manggis yang produksi mencapai 19 ribu ton per tahun.
Untuk menjaga potensi ini, Jalaluddin mengatakan, Pemkab sudah menjalankan atuan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). “Saat ini sudah ditetapkan 13 ribu hektare lahan pertanian yang tidak boleh dialihfungsikan melaui LP2B, targetnya seluruhnya 66 ribu akan kita jaga, setiap tahun 5000 hektare sawah kita tetapkan,” ujarnya.
Deni Irawan dari KRKP mengatakan, kerjasama antar lembaga ekonomi desa seperti koperasi, lumbung, BUMDes dan lainnya sangat penting dalam pengembangan kawasan pedesaan. “Saat ini penguatan lembaga masih minim, ini yang menjadi fokus kami dalam beberapa tahun belakangan ini dalam mendampingi desa khususnya di Sukabumi. Pembangunan kawasan perdesaan menurut hemat kami tidak bisa dilakukan satu lembaga, harus melibatkan lembaga dan desa lainnya,” ujarnya.
BUMDes sendiri, kata Deni, bisa menjadi pendorong lembaga ekonomi lokal yang ada di desa, sehingga bisa bekerjasama membangun potensi ekonomi desa. “Misalnya potensi manggis, ada banyak desa di Kecamatan Cicantayan yang mengembangkan potensi ini, dibutuhkan kerjasama, kolaborasi antar desa untuk bisa mengembangkan manggis. Untuk itu dari pertemuan ini kita pikirkan solusi ke depan agar bisa membangun kawasan perdesaan yang lebih inklusif.,” pungkasnya.
Bayu Permana, penggiat pembangunan desa dari Saba Desa Institut mengatakan, berdasarkan pengalaman Saba Desa Institut, kata Bayu, umumnya kawasan perdesaan yang berhasil berkembang adalah yang berbasis pemecahan masalah yang muncul dari kehendak masyarakat desa setempat. “Pola ini berhasil karena untuk memecahkan masalah berat, mereka tidak bisa menyelesaikannya sendirian, sehingga perlu berkolaborasi mencari pemecahan bersama sampai terbentuk kawasan perdesaan,” ujarnya.
Dia merujuk contoh sukses Kawasan Perdesaan Panca Mandala di Kecamatan Jatiwaras, Tasikmalaya, Jawa Barat. Kawasan itu berkembang dari adanya masalah akses internet. “Karena untuk membangun BTS (Base Transceiver Station-red) mahal, dan nggak mungkin diurus oleh satu desa,” katanya.
Dari persoalan itu, kemudian, ada tiga desa yang berinisiatif patungan untuk mendanai proyek akses internet. Masing-masing desa menyumbang dana sebesar Rp100 juta sehingga terkumpul modal sebesar Rp300 juta dan dibentuklah badan kerjasama antar desa melalui BUMDes Bersama. Dari situ mereka mampu membangun BTS dan kemudian menyediakan layanan internet selain bagi desa, juga ke sekolah-sekolah dan lembaga lainnya.
Bisnis ini kemudian dikelola oleh PT BUMDesMa Panca Mandala. “Itu baru 2-3 tahun berjalan, dan sekarang unit usaha sudah berkembang ke peternakan dan lainnya,” papar Bayu.
Contoh lainnya adalah kolaborasi 4 desa di Kecamatan Cidahu dan 4 desa di Kecamatan Cicurug untuk memecahkan masalah kesulitan air yang dialami desa-desa di dua kecamatan tersebut. dari kolaborasi desa-desa itu mereka sepakat memanfaatkan dana corporate social responsibility dari perusahaan air minum dalam kemasan, untuk mengembangkan kawasan konservasi air di delapam desa tersebut.
“Semua pihak, masyarakat desa, pemerintah desa, kecamatan, perusahaan harus ambil bagian dalam penyelesaian masalah kesulitan air dengan cara melakukan konservasi air di daerah tangkapan air Gunung Salak,” papar Bayu.
Semua program desa, pemerintah supra desa, diarahkan untuk penyelesaian masalah kesulitan air ini. “Jadi dari sudut pandang ini, pengembangan kawasan perdesaan secara bottom up lebih berhasil ketimbang top down, ini menjadi pelajaran dari pengalaman supaya Cicantayan bisa berporses sebagai kawasan perdesaan yang berhasil,” tegasnya.
Bayu juga menekankan pentingnya membangun lembaga ekonomi desa berbentuk perseroan terbatas seperti di Panca Mandala, agar bisa sejajar dalam melawan hegemoni korporasi dalam mekanisme pasar. “Petani jagung, beras, bareng bikin koperasi, berkelompok untuk meningkatkan daya tawar di pasar,” pungkasnya.
Editor: M. Agung Riyadi
Baca juga: Salah Pendekatan, Pemerintah Gagal Bangun Kawasan Perdesaan Inklusif