Geliat Inisiatif Membangun Akses Pasar Yang Adil Bagi Petani

Pertemuan para pihak di kantor Dinas Pertanian Ngawi, dalam upaya mendorong daya tawar petani di hadapan pasar (dok. krkp)

Model Kemitraan di Ngawi

Eko Budhi dari Jaringan Kerja Petani Organik (Jaker PO) memaparkan, Ngawi adalah wilayah pertanian yang merupakan salah satu penyangga produksi pangan bagi wilayah di sekitarnya. Ngawi memiliki lahan sawah seluas 50 ribuan hektare dengan hasil panen mencapai 780 ribu ton gabah per tahun. Sementara, kebutuhan konsumsi masyarakat Ngawi hanya sebesar 92 ribuan ton per tahun, sehingga terdapat surplus yang besar dan “diekspor” keluar daerah.

“Dengan kondisi demikian pertanian mampu berkonstribusi pendapatan daerah hingga 38%,” jelas Eko.

Tetapi apakah angka-angka yang luar biasa itu juga menggambarkan kesejahteraan petani? Ternyata jawabannya adalah tidak. Eko memaparkan, rantai produksi pangan, khususnya beras di Ngawi, ternyata lebih dinikmati pihak distributor.

Dia menjelaskan, saat ini ada tiga model budidaya padi yang berlaku di Ngawi. Pertama, pertanian konvensional yang masih memanfaatkan imput kimia sintetis. Kedua, semi organik, yaitu mengurangi input (pupuk dan pestisida) kimia sintetis. Ketiga, pertanian organik baik yang belum tersertifikasi dan sudah tersertifikasi.

Untuk beras organik, ada dua kecamatan yang melaksanakan pertanian organik yang sudah tersertifikasi yaitu di Geneng yang dilaksanakan oleh KNOC dan di Kelompok Tani Rukun Jaya. Kedua kelompok tani tersebut juga mengolah dan mengemas menjadi beras kemasan, kemudian penyaluran ada yang melalui PT, toko, dan dijual langsung kepada konsumen.

“Rantai nilai yang didapatkan dari sistem rantai pasar tersebut, adalah sebagai berikut: Pihak yang mendapatkan margin tertinggi dalam rantai nilai adalah toko. Ada penundaan pembayaran kepada petani, hal tersebut tidak diatur dalam perjanjian,” jelas Eko.

Dalam konteks beras organik saja, dimana petani sudah meningkatkan kapasitas dan pengetahuan dalam mengelola pertanian yang lebih berkelanjutan dengan produk beras yang bernilai tinggi, petani tetap belum menjadi aktor yang menikmati hasil yang paling menguntungkan dalam rantai produksi pangan. Toko atau off taker, tetap menjadi pihak yang menikmati keuntungan terbanyak tanpa perlu terlalu bersusah payah. Apalagi pada rantai produksi beras non organik.

Melihat situasi tersebut Jaker PO, papar Eko, lantas menginisiasi penguatan CSO. Kegiatan tersebut meliputi: Pertama, penguatan kelompok tani dalam rangka mengenalkan dan adopsi Bussiness on Human Right (BHR) dengan bersama menggandeng Pemda dan swasta. Kedua, membangun kemitraan yang saat ini sedang dibangun bersama antara PT Agri Boga Mas, yang melibatkan 3 aktor penting yaitu petani, pendamping, dan perusahaan.

“Skema kerjasama berjalan secara bertahap dari mengajukan kerjasama dan mengirimkan sampel beras dilanjutkan ke dalam kontrak farming, dan pada akhirnya komitmen perusahaan untuk sharing modal dan invest sarana dan prasarana pertanian,” kata Eko.

Dari sisi pemerintah, untuk menjamin keseluruhan proses ini berjalan dengan berkeadilan, di Kabupaten Ngawi pada tahun 2019 lahir Peraturan Daerah No. 13/2019 tentang Pertanian Berkelanjutan yang kemudian akan disusulkan dalam proses penyusunan Peraturan Bupati. “Diharapkan jika Perbub lahir maka akan tercipta kondisi kemitraan petani dengan swasta berlangsung adil,” tegas Eko.

Saat ini, kata Eko, dari skema tersebut telah lahir beberapa produk beras organik yang menjadi andalah. “Beberapa produk beras organik yang sudah diusahakan adalah beras cap Ratu Agung dari KNOC, beras Lawu Ngawi (beras bumbu nasi liwet), dan beras aromatik dari poktan Rukun Jaya,” ujarnya.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.