GPN Dorong Penerapan Budidaya Padi Biointensif: Hemat Pupuk, Produksi Padi Tetap Tinggi
|
Indramayu, Villagerspost.com – Gerakan Petani Nusantara (GPN) mendorong penerapan teknik budidaya padi biointensif kepada petani nusantara. Pada musim tanam pertama tahun 2022/2023 ini upaya memasyarakatkan pertanian biointensif, dilakukan GPN di beberapa wilayah jejaring petani anggota GPN meliputi Indramayu, Tegal, Bojonegoro, Gresik dan lainnya.
Ketua umum GPN Suryo Wiyono mengatakan, langkah GPN memasyarakatkan pertanian biointensif didasari fakta lapangan yang dihadapi petani yaitu tantangan produksi pertanian yang semakin sulit. Tantangan tersebut merupakan dampak dari perubahan iklim yang nyata terjadi. Tidak hanya itu, harga pupuk dan pestisida kimia sintetis yang semakin mahal juga turut menjadi persoalan dalam usaha produksi padi petani saat ini.
“Saat ini petani kita sedang dihadapkan pada tantangan produksi yang serius akibat dampak perubahan iklim dan harga pupuk dan pestisida yang semakin mahal. Hama penyakit menjadi semakin sulit diprediksi dan cuaca juga tidak menentu, sehingga peluang kegagalan produksi makin besar. Ini perlu strategi yang tepat,” Suryo, kepada Villagerspost.com, baru-baru ini.
Teknik budidaya biointensif dinilai menjadi strategi yang tepat untuk menjawab tantangan tersebut. Teknik budidaya ini berupaya memaksimalkan ecosystem services (layanan ekosistem) pada lahan, seperti mengoptimalkan penggunaan pupuk kimia sintetis, perlakuan benih dengan mikroba pemacu pertumbuhan tanaman dan endofit, dan menghindari penggunaan pestisida kimia (zeroing pesticides).
Menurut Suryo, teknologi ini telah terbukti efektif baik secara ilmiah maupun praktiknya di lapangan untuk meningkatkan produksi pertanian dan menguntungkan bagi petani. “Kita (GPN-red) sudah uji penerapan budidaya biointensif ini sejak 2010 dan 2019 hingga 2020. Kita pernah lakukan 16 titik di Pulau Jawa, hasil produksi sama bahkan meningkat, yang jelas tidak turun, dan biaya produksi lebih rendah dibanding budidaya konvensional,” jelas Suryo.
Pada awal Maret, GPN melakukan dokumentasi kegiatan praktik budidaya biointensif yang dilakukan petani. Saat mengunjungi Gresik di bulan Februari lalu, kondisi lahan disana sedang mengalami musim penghujan yang tidak dapat diprediksi. “Salah satu petani yang kami kunjungi, Tajudin namanya, beliau mengatakan, untuk menyiasati kondisi yang ada saat ini dengan cara menerapkan teknik budidaya pertanian biointensif,” papar Suryo.
Sudah 4 musim Tajudin menerapkan teknik biointensif dengan varietas yang berbeda yaitu musim pertama varietas lokal, musim kedua dan ketiga varietas IPB 3S, dan musim 4 varietas lokal. Keuntungan yang dirasakan oleh Tajudin saat menerapkan pertanian biointensif yaitu biaya bertani lebih murah.
“Pengeluaran lebih sedikit karena penggunaan pupuk kimia sintetik yang dikurangi dan adanya alih fungsi penggunaan pestisida ke penggunaan agens hayati. Hasil yang didapat dengan adanya pengurangan penggunaan pupuk kimia sintetik dan juga pestisida yaitu hampir sama atau malah lebih meningkat dari pertanian konvensional. Hasil produksi meningkat 15% di musim pertama, musim selanjutnya tidak pernah kurang dari 20 karung,” ungkap Tajudin.
Penerapan biointensif, kata Tajudin, juga berpengaruh terhadap daya tahan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Di Gresik sendiri penyakit blas atau potong leher merupakan penyakit yang menjadi momok petani, khususnya di Kecamatan Duduksampeyan, tempat tinggalnya.
Tajudin menyampaikan, adanya penerapan biointensif, ternyata efektif membuat serangan blas yang berkurang di lahannya sendiri dibandingkan dengan lahan di sekitarnya. “Untuk sekarang ini saya melihat punya tetangga banyak yang terkena potong leher yang dari kejauhan sudah terlihat warna putih, Alhamdulillah-nya di lahan saya penyakit potong leher cenderung lebih sedikit,” ungkap Tajudin.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Ruslan salah satu petani di Jembayat, Kecamatan Margasari, Tegal. Dia mengatakan, serangan kresek di lahan miliknya tidaklah seberapa dibandingkan dengan lahan milik teman-temannya. Hal tersebut dirasakan setelah menerapkan budidaya pertanian biointensif. Perendaman benih dengan PGPR, pengembalian jerami ke lahan, pengurangan penggunaan pupuk kimia sintetik dan pestisida sintetik, serta aplikasi agens hayati dalam mengendalikan hama dan penyakit merupakan teknik pertanian biointensif yang diterapkan Ruslan.
Yudi petani asal Bojonegoro, sudah 3 kali musim tanam menanam varietas IPB 9G dengan teknik biointensif. Produktivitas yang dihasilkan selama 3 musim tanam berturut-turut yaitu 5,7 ton/ha, 4,3 ton/ha, dan 8,5 ton/ha. Yang unik dari musim tanam kedua adalah, Yudi merupakan satu-satunya pemilik lahan yang berhasil panen.
“Lahan sebelah kanan, kiri, depan, dan belakang saya itu gagal panen karena terkena Wereng dan kerdil. Bersyukurnya lahan saya selamat dan berhasil panen meskipun tidak sebanyak di musim pertama,” jelas Yudi.
Mursam dari Desa Ngloram, Kecamatan Cepu, Blora pada tahun 2009 menerapkan teknik biointensif pada Varietas Ciherang di lahan seluas 2500 m2 untuk pertama kalinya. Produksi padi yang biasanya 6,3 ton/ha meningkat hampir dua kali lipat menjadi 11,5 ton/ha. Penerapan teknik biointensif ini juga memberikan manfaat lain bagi perekonomian warga sekitar. “Petani di Desa Ngloram dapat memanen belut selama tiga hari sekali yang kebanyakan dijadikan lauk untuk dimakan. Adanya keberadaan belut menjadi indikator bahwa sawah tersebut memiliki ekosistem yang sangat baik,” kata Mursam.
Suryo menjelaskan, teknologi biointensif ini dikembangkan oleh Klinik Tanaman IPB dengan jaringan petani GPN dengan rangkaian penelitian yang panjang mulai dari skala laboratorium, rumah kaca, dan lapangan. Pengujian lapangan sudah dilakukan sejak tahun 2009 hingga sekarang di 16 titik di Pulau Jawa.
“Jadi, teknologi biointensif mempunyai dasar ilmiah yang kokoh dan merupakan teknologi yang mampu meningkatkan produksi dan efisiensi budidaya padi, dan menghadapi ancaman hama penyakit dan perubahan iklim,” pungkas Suryo.
Laporan: Bayu dan Dyah, Sekretariat GPN
Editor: M. Agung Riyadi