Ikhtiar Membangun Model Sawit Berkelanjutan
|
Jakarta, Villagerspost.com – Perhelatan Konferensi Internasional Kelapa Sawit dan Lingkungan, atau International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) kelima tahun ini, baru saja berakhir pada Jumat (19/3) lalu. Dalam pertemuan tersebut, para stakeholder sawit baik dari pihak perusahaan, pekebun, sektor finansial, ilmuwan dan para praktisi lingkungan berharap dapat menghasilkan langkah serius mewujudkan sawit berkelanjutan. Perhelatan ICOPE yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, sejak 16 Maret kemarin memang menyoroti praktik tebang dan bakar, restorasi lahan gambut, jejak gas rumah kaca dan remediasi.
Topik yang dibahas selama konferensi tiga hari ini diantaranya, menjaga produktifitas superior melalui bibit unggul dengan produktifitas tinggi, praktik pertanian yang baik, dan bagaimana industri kelapa sawit mendukung dan melibatkan para petaninya dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Peserta juga membahas bagaimana menghitung jejak karbon serta bagaimana mengurangi emisi dari industri kelapa sawit sesuai skema sertifikasi kelapa sawit lestari seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), dan International Sustainability & Carbon Certification (ISCC).
President Managing Director CIRAD – Pusat Kerjasama Internasional Perancis dalam Penelitian Pertanian untuk Pembangunan Michel Eddi, dalam penutupan pertemuan ICOPE mengatakan, tantangannya adalah untuk membatasi perluasan perkebunan sawit melalui intensifikasi produksi lestari, peningkatan kemampuan pelaku utama seperti petani sawit, dan promosi strategi pembangunan yang dapat meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati sambil meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. “Peningkatan ketahanan sektor secara menyeluruh bergantung pada menguatnya prinsip dan kriteria keberlanjutan yang membutuhkan upaya penelitian bersama yang saat ini terus berlangsung,” katanya melalui siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (19/3).
(Baca juga: Stakeholder Sawit Diminta Serius Lindungi Gambut)
Sayangnya, ini bukanlah tantangan mudah bagi para stakeholder sawit untuk mewujudkannya. Koordinator Nasional Kampanye Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Alam Oxfam Taufiqul Mujib mengatakan, sawit saat ini menjadi komoditas yang hampir selalu ada dalam setiap segi kehidupan manusia. “Mulai dari makanan, kosmetik, obat-obatan, bahkan ke depan beberapa negara Eropa akan menerapkan kewajiban sawit untuk biofuel,” kata Taufiq kepada Villagerspost.com.
Permintaan pasar yang terus menguat terhadap produk sawit ini, menurut Taufiq, akan berdampak pada negara penghasil sawit. Indonesia adalah salah satu negara penghasil sawit terbesar yang mengalami risiko dari meningkatnya permintaan sawit yang terus menerus. Persoalan lingkungan, ekspansi lahan yang mendorong terjadinya konversi lahan baik lahan hutan menjadi perkebunan sawit maupun lahan pertanian pangan menjadi perkebunan sawit, mengancam Indonesia. “Konversi lahan khusus lahan pangan ke non pangan akan membuat Indonesia secara food security (keamanan pangan-red) tergantung,” ujar Taufiq.
Sawit memang menjadi bisnis yang begitu menggiurkan bagi banyak pihak baik bagi pekebun, industri, sampai lembaga-lembaga keuangan. Banyangkan saja, devisa ekspor yang dihasilkan dari produk kelapa sawit tahun 2014 mencapai US$19,56 miliar atau setara Rp250 triliun. Angka itu setara lebih dari dari 10% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Bisnis yang menggiurkan ini memang terus mendorong terjadinya perluasan lahan sawit.
Data Kementerian Pertanian menyebutkan, Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 10 juta hektare. Dari jumlah itu. 41% diantaranya adalah perkebunan rakyat. Pengusahaan kelapa sawit kini menyerap lebih dari 4,5 juta tenaga kerja di sektor on farm. Penyerapan tenaga kerja ini akan lebih besar lagi jika tenaga kerja di sektor off farm dan jasa agribisnis kelapa sawit dimasukkan.
Ini merupakan daya dorong yang besar bagi perekonomian Indonesia yang tengah melambat. Tak heran jika Indonesia terus berupaya mengembangkan industri sawit. Tahun ini, pemerintah telah mengupayakan peningkatan produktivitas, lahan dan daya saing komoditas kelapa sawit. Dari hasil penelitian, produktivitas kelapa sawit dapat ditingkatkan dari 3,5 ton Crude Palm Oil/hektare menjadi 6 ton CPO/ha bahkan lebih.
Dorongan yang luar biasa untuk mengembangkan industri sawit demi menggenjot pendapatan negara ini, terbukti telah menimbulkan berbagai problem sosial dan lingkungan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, akibat ekspansi sawit penguasaan lahan telah menjadi begitu timpang. Korporasi sawit telah menguasai 13,4 juta hektare lahan dan tiap tahunnya bertambah setengah juta hektar. Bahkan, sebagian lahan tersebut merupakan hasil konversi lahan hutan maupun lahan pertanian produktif masyarakat.
Sementara, sekitar 56% penduduk pedesaan merupakan buruh tani atau petani gurem hanya memiliki tanah rata-rata di bawah 0,5 hektare. Data Badan Pusat Statistik tahun 2013 mengungkapkan, indeks gini (indeks untuk mengukur kesenjangan kepemilikan tanah) tanah nasional mencapai angka 0,72 yang mengindikasikan bahwa struktur kepemilikan dan penguasaan tanah masih sangat timpang. Kesenjangan terkait kepemilikan lahan ini juga menimbulkan persoalan lain yaitu konflik agraria.
KPA mencatat, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2004-2014), terjadi 1.391 kasus konflik agraria yang melibatkan tanah seluas lebih dari 6 juta hektare dan mengancam lebih dari 1 juta rumah tangga. Konflik-konflik yang terjadi diikuti pula oleh berbagai tindak kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia berat dan kriminalisasi terhadap petani dan aktivis pendamping petani, yang mana pelakunya selain keamanan perusahaan, juga melibatkan aparat keamanan pemerintah seperti TNI dan Polri. Dalam sepuluh tahun terakhir (2004-2014), telah banyak korban konflik berjatuhan, baik laki-laki maupun perempuan, dimana 85 petani tewas, 110 orang tertembak, 633 orang mengalami penganiayaan dan 1.395 orang ditangkap