Inilah Resep Maut Melanggengkan Kebakaran Hutan Indonesia (Bagian I)
|
Jakarta, Villagerspost.com – Belum lewat sebulan lalu, ketika sebuah petisi ditujukan kepada Presiden RI Joko Widodo. Presiden yang dikenal dengan gaya kerjanya yang merakyat dan gemar turun langsung ke masyarakat untuk menyelami persoalan alias blusukan itu, ditantang oleh para aktivis lingkungan dan segenap warga masyarakat untuk melakukan blusukan asap.
Lewat tantangan “Blusukan Asap” mereka meminta agar Presiden Jokowi melihat langsung lokasi kebakaran gambut dan hutan di Provinsi Riau. Petisi itu sendiri dilincurkan sejak Selasa, 28 Oktober 2014 lalu. Hingga hari ini, sudah belasan ribu orang menandatangani petisi tersebut.
Tantangan ini jelas menunjukkan masalah kabut asap yang disebabkan oleh terjadinya kebakaran (pembakaran) lahan dan hutan sudah menjadi persoalan yang sangat kronis dan membutuhkan penanganan segera secara serius oleh pemerintah. Ketika harapan masyarakat begitu besar kepada pemerintahan Jokowi untuk menuntaskan berbagai masalah kronis di Indonesia mulai dari
korupsi hingga persoalan kehutanan, maka tantangan ini sejatinya merupakan bentuk kepercayaan masyarakat jika Jokowi mau turun tangan, maka persoalan menahun kebakara hutann dan kabut asap bakal bisa teratasi.
Sang pembuat petisi, Abdul Manan (41) warga asli Kepulauan Meranti di Riau menegaskan betapa masalah ini sudah menjadi sedemikian genting untuk diatasai. Manan telah menjadi saksi hidup yang bersama warga lainnya di Riau merasakan asap akibat kebakaran lahan gambut dan hutan yang telah terjadi selama 17 tahun terus-menerus.
“Tahun ini tidak lagi 12 bulan, tetapi hanya sembilan bulan, karena selama tiga bulan kami benar-benar hidup dalam asap dan kabut ,” kata Abdul Manan dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, beberapa waktu lalu.
Salah satu penandatangan petisi ini, Wimar Witoelar yang merupakan pendiri yayasan Perspektif Baru mengatakan, kunjungan Jokowi ke Riau akan menjadi kesempatan bagi Presiden Jokowi untuk memenuhi harapan pendukungnya dan segenap rakyat yang memerlukan kepemimpinan yang kuat dan realistis. “Kerja keras dan respons tepat adalah ciri-ciri yang selalu diandalkan dari Presiden,” ujarnya.
Sementara Direktur Eksekutif Walhi Abetnego Tarigan mengatakan, blusukan Jokowi ke wilayah kebakaran hutan dan lahan menjadi penting untuk menunjukkan keseriusan presiden-wakil presiden dalam mengambilalih penanganan bencana asap.
“Mengingat ini sudah terjadi di beberapa provinsi di Indonesia, sudah melampaui batas administrasi wilayah provinsi bahkan Negara. Blusukan ini menjadi simbolisasi komitmen Presiden Jokowi untuk menegaskan tanggung jawab negara memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi jutaan rakyat Indonesia sebagaimana amanah konstitusi,” ujar Abetnego.
Tugas Jokowi dalam menangani masalah kebakaran hutan dan lahan ini mungkin terlihat sangat berat mengingat banyak faktor yang harus ditelaah terlebih dahulu untuk menentukan apa saja yang menjadi penyebab masalah ini tak bisa kunjung dituntaskan selama berpuluh tahun. Sebab persoalan ini tak hanya terjadi di Sumatera saja, khususnya Riau, tetapi juga di Kalimantan.
Hanya saja, partisipasi publik yang cukup tinggi dalam mencari upaya pemecahan atas persoalan ini bisa menjadi faktor yang meringankan kerja pemerintah.
Dalam konteks ini, beberapa lembaga swadaya masyarakat, seperti Sawit Watch, Walhi dan Jikalahari, berhasil membuat pemetaan atas faktor-faktor apa yang menyebabkan kasus-kasus kebakatan hutan terus terjadi dan seolah menjadi kasus yang langgeng tanpa bisa dipecahkan.
Dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, hari ini, Minggu (16/11), ketiga lembaga tersebut dengan bantuan dari seorang akademisi hukum berhasil memetakan enam faktor yang melanggengkan persoalan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Keenam faktor itu adalah:
1. Pelepasan perizinan bagi perkebunan kelapa sawit dan usaha skala besar lainnya di ekosistem gambut
2. Penegakan dan pengawasan hukum yang belum optimal atas pelaku pembakaran
3. Lempar tanggungjawab atas siapa pelaku pembakaran hutan dan lahan sebagai akibat dari adanya celah hukum
4. Ekspansi perkebunan Kelapa sawit adalah salah satu penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan
5. Adanya ketimpangan penguasaan lahan di wilayah-wilayah kebakaran hutan dan lahan
6. Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan tidak berkolerasi positif terhadap penanganan secara langsung terhadap kejadian kebakaran lahan di konsesi perkebunan kelapa sawit
Pemetaan dilakukan lewat mengkaji salah satu kasus kejadian kebakaran hutan di Riau yang melibatkan salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia. Pada 9 September 2014, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan, Riau, menghukum terdakwa Danesuvaran KR Singam dan terdakwa PT Adei Plantation and Industry yang diwakili Tan Kei Yoong. Keduanya dihukum karena akibat kelalaian mereka lahan KKPA Batang Nilo Kecil terbakar seluas 40 dari 541 hektare pada Juli 2013 yang berakibat pada kerusakan lingkungan hidup.
PT Adei Plantation and Industry diwakili Tan Kei Yoong dihukum pidana denda Rp1,5 miliar subsider 5 bulan kurungan yang dalam hal ini diwakili Tan Kei Yoong. Perusahaan asal Malaysia tersebut juga dihukum melakukan pemulihan lahan yang rusak seluas 40 hektare dengan pengomposan menelan biaya Rp15,1 Miliar. Sementara Danesuvaran KR Singam dihukum 1 tahun penjara, dan denda Rp2 miliar subsider 2 bulan kurungan.
Putusan majelis hakim ini hakim sangat jauh di bawah tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Oleh JPU, PT Adei Plantation and Industry dituntut pidana denda Rp5 miliar dan pidana tambahan Rp15,7 miliar. Sementara Danesuvaran KR Singam dituntut hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp5 Miliar. Mereka dituntut karena sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. (Bersambung ke Bagian II)