Inilah Resep Maut Melanggengkan Kebakaran Hutan Indonesia (Bagian II)
|
Jakarta, Villagerspost.com – Pada bagian pertama tulisan ini, sudah dijabarkan betapa masalah kebakaran hutan dan lahan menjadi persoalan yang sangat serius dan perlu penanganan serius sehingga masyakat menilai perlu “menantang” Presiden Joko Widodo melakukan blusukan asap. Juga telah dijabarkan beberapa faktor yang menyebabkan persoalan ini menjadi persoalan menahun yang sulit diselesaikan.
Dari analisis terhadap kasus pembakaran lahan oleh PT Adei Plantation, beberapa LSM seperti Sawit Watch, Walhi dan Jikalahari berhasil memetakan persoalan penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan. Dalam kasus itu, para pihak yang terbukti lalai sehingga menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, dijatuhi hukuman yang jauh lebih rendah dari dakwaan jaksa.
Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis yang lebih rendah dari tuntutan jaksa? Dalam kasus ini, ternyata majelis hakim juga menilai pemerintah daerah melalui Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pelalawan juga tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan sungguh-sungguh.
Selain sebagai regulator, pemerintah, menurut majelis hakim, juga harus berperan sebagai pengawas dan tidak hanya menerima laporan dari pemrakarsa AMDAL. BLH harus memastikan bahwa AMDAL yang telah disetujunya telah dijalankan dengan baik.
Dari pertimbangan hakim inilah, dapat diketahui adanya persoalan lain yang menyebabkan masalah kebakaran lahan sulit diatas. Penegakan hukum yang lemah ternyata merupakan buah dari kelalaian pemerintah baik pusat maupun daerah yang ternyata terlalu mudah mengobral perizinan terutama perizinan untuk lahan sawit di atas ekosistem gambut.
“Atas putusan ini, kementerian terkait harus mengevaluasi dan memberi sanksi administratif kepada Bupati Pelalawan dan Gubernur Riau karena telah lalai mengawasi AMDAL PT Adei Plantation and Industry, termasuk mereview izin usaha perusahaan,” kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari.
Meski pemerintah dinilai ikut andil dalam kelalaian ini, dalam kasus ini, putusan yang rendah juga terjadi akibat ketidakcermatan majelis hakim dalam membuktikan kebakaran terjadi bukan semata akibat kelalalaian, tetapi juga kesengajaan. “Kami menilai hakim telah gagal membuktikan bahwa lahan tersebut sengaja dibakar bukan karena kelalaiannya. Ini karena hakim tidak memaknai dengan benar scientific evidence,” kata Made Ali dari Riau Corruption Trial.
Data Walhi Riau menyebut, PT Adei Plantation & Industry salah satu anak perusahaan grup Kuala Lumpur Kepong (KLK) bermarkas di Malaysia. Di Indonesia KLK memiliki 17 anak usaha perkebunan kelapa sawit tersebar di Sumatera dan Kalimantan.
“Kegiatan anak usaha mereka khususnya di Riau kerap merusak gambut berkontribusi pada kerusakan lingkungan belum lagi lahan yang mereka kelola milik masyarakat adat,” kata Riko Kurniawan.
Buktinya? Riko menyebut tahun 1999, ketika PT Adei mengelola HGU-nya di Desa Batang Nilo Kecil. HGU tersebut tumpang tindih dengan lahan masyarakat adat tiga persukuan Piliang, Melayu, dan Pelabi. “Akhirnya itulah lahan yang dijadikan KKPA. Namun tetap saja yang kelola PT Adei,” ujarnya.
Gambut yang terbakar di areal KKPA yang dibakar di areal PT Adei membuktikan perusahaan tidak mampu menjaga gambutnya yang memang rawan terbakar. “Ini menambah bukti bahwa kerusakan gambut memang sengaja dilakukan oleh perusahaan,” kata Riko.
“Kami menghimbau kepada Presiden agar turun tangan memperbaiki gambut dengan cara merevisi izin perusahaan sawit di Riau yang beroperasi di areal gambut,” ujarnya menambahkan.
RSPO (Roundtable on Sustanable Palm Oil) sebagai salah satu lembaga sertifikasi untuk perkebunan sawit berkelanjutan harus menghukum KLK Grup karena terbukti telah melanggar hukum Indonesia serta prinsip dan kriteria yang ada dalam RSPO. “Kami mendesak agar KLK Grup dikeluarkan dari keanggotaan RSPO karena telah melakukan praktek bisnis merusak lingkungan hidup,” kata Riko.
Ringannya putusan pemidanaan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan terhadap korporasi yang terafiliasi dengan Kuala Lumpur Kepong Group tersebut menambah rentetan panjang keberpihakan ‘hukum’ kepada korporasi asal Malaysia ini. Berdasarkan catatan Jikalahari, pada 1 Oktober 2001, PT Adei Plantation & Industry yang diwakili oleh C Goby selaku General Manager yang bertanggungjawab terhadap pembakaran areal perkebunan kelapa sawitnya yang berada di Kabupaten Kampar dijatuhi pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp250 juta.
Hanya saja putusan yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat yang terdampak asap tersebut, malah diringankan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Riau dengan pidana penjara selama delapan bulan dan denda Rp100 juta. Kesaktian PT Adei Plantation ketika berhadapan dengan hukum juga terlihat dari putusan bebas yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Pelalawan terhadap tiga pengurusnya, yaitu Goh Tee Meng, Tan Kei Yoong dan Danesuvaran KR Singgam terkait dengan perkara Izin Usaha Perkebunan (IUP) illegal yang terungkap ketika penyidikan kasus perkara pembakaran areal perkebunaannya pada tahun 2013.
Putusan bebas dalam perkara izin usaha perkebunan illegal ini dianggap janggal. Riko mengatakan, majelis memutus bebas para terdakwa hanya karena pertimbangan tidak terpenuhinya unsur ‘setiap orang’ karena alasan kewarganegaraan ketiga terdakwa. “Itu merupakan keputusan yang mengada-ada dan tidak berdasarkan hukum,” ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Bagus Hendradi Kusuma, menilai UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menjadi dasar untuk menuntut ketiga terdakwa dalam kasus IUP ini memiliki cacat yuridis. Khususnya terkait pengaturan soal pertanggungjawaban pidana korporasi.
Akibatnya, penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi pada UU Perkebunan harus tunduk pada aturan umum sistem induk hukum pidana nasional yang dimuat dalam Buku I KUHP. Dalam hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 103 KUHP.
Selain itu, termaktub pula dalam Pasal 59 KUHP. Pasal itu menentukan: “Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
“Ketentuan KUHP mensyaratkan hanya pengurus korporasi yang terlibat dalam suatu tindak pidana sajalah yang dapat diposisikan sebagai subjek hukum yang harus dimintakan pertanggungjawabannya,” kata Bagus.
Berdasarkan fakta persidangan diketahui ketiga petinggi PT Adei Plantation, Goh Tee Meng, Tan Kei Yoong dan Danesuvaran KR Singgam merupakan pengurus korporasi yang bertanggungjawab terhadap pengurusan izin usaha perkebunan kelapa sawit untuk lokasi yang dikelola dengan pola KKPA antara Koperasi Petani Sejahtera PT Adei Adei Plantation.
Pengelolaan perkebunan kelapa sawit seluas 540 hektare tidak disertai Izin Usaha Perkebunan, bertentangan dengan Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 17 ayat (1) UU Perkebunan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal 17 ayat (1) UU Perkebunan tersebut merujuk pada pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan yang dalam Pasal 6 mensyaratkan: “Usaha budidaya tanaman perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang luas lahannya 25 (dua puluh lima) hektare atau lebih wajib memiliki izin”.
Dengan merujuk pada Pasal 55 ayat (1) ke-1 yang menegaskan perbuatan pidana terkait perizinan perkebunan ini dilakukan secara bersama-sama, maka Goh Tee Meng, Tan Kei Yoong dan Danesuvaran KR Singgam memiliki peranan dalam setiap proses perizinan yang tidak mereka lakukan. Sehingga tidak beralasan apabila majelis hakim dalam perkara tersebut mengenyampingkan aturan umum baik sebagai pelaku maupun turut melakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Bagus menambahkan, rumusan Jaksa Penuntut Umum dikemudian hari patut mempertimbangkan penggunaan Pasal 55 ayat (2) KUHP mengenai uitlocker (penganjur) untuk menjerat pengurus korporasi, apabila didalam suatu rumusan aturan perundang-undangan tidak mengatur secara eksplisit sistem pertanggungjawaban pidana korporasi.
“Dengan melihat salah satu contoh kasus di provinsi Riau, ini merupakan bentuk nyata bahwa ketegasan hukum bagi perusahaan pelaku pembakaran belumlah sekuat yang diharapkan, harapannya ada upaya tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelaku pembakaran lainnya,” kata Bondan Adrianyu, Departemen Kampanye Sawit Watch. (Bersambung ke Bagian III)