Isu Kelautan dan Perikanan Belum Jadi Fokus Utama Media di Indonesia
|
Jakarta, Villagerspost.com – Isu kelautan dan perikanan belum menjadi fokus utama media-media, khususnya media cetak di Indonesia. Kesimpulan itu didapat dari hasil penelitian yang dilakukan wartawan senior Harry Surjadi yang tergabung dalam Society of Indonesian Science Journalist (SISJ) atau Asosiasi Wartawan Sains Indonesia, bekerjasama dengan internews, Earth Journalism Network (EJN) dan Society of Indonesian Environment Journalist (SIEJ). Harry mempresentasikan hasil penelitiannya itu, hari ini, Kamis (12/11) di Kuta, Bali.
Dalam kesempatan itu, Harry mengatakan, latar belakang mengapa studi ini dilakukan adalah karena adanya kekhawatiran dimana isu kelautan dan perikanan saat ini seperti terlupakan. “Jadi ada permintaan dari EJN untuk melihat bagaimana meliput isu kelautan dan perikanan,” katanya.
Ini berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara maritim. Indonesia memiliki 2,8 juta kilometer persegi wilayah lautan yang kaya dengan ekosistem perairan dangkal dengan garis pantai sepanjang 99.093 kilometer dan sekitar 17.508 pulau yang 13.466 diantaranya adalah terdaftar.
Hal ini ditengarai tidak terlepas dari kebijakan pemerintah selama sepuluh tahun belakangan ini yang fokus kepada pembangunan daratan dan tidak memprioritaskan pada pembangunan kelautan dan kemaritiman. Ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo naik, ada kesempatan isu kelautan dan perikanan mendapatkan perhatian. Jokowi telah menyatakan bahwa pemerintahannya akan fokus pada isu-isu kemaritiman khususnya infrastruktur maritim.
Karena itulah, dengan penelitian ini, Harry yang juga dibantu oleh Dr. Vira Ramelan, selaku peneliti independen, bersama EJN ingin melihat apakah media cukup memberikan perhatian pada isu tersebut. Kemudian peneliti juga ingin mengetahui apakah ada gap atau jurang pengetahuan yang dialami wartawan dalam meliput isu tersebut.
Lewat penelitian ini, pihak terkait ingin pula mengetahui bagaimana cara agar liputan isu kelautan dan perikanan lebih menarik, investigatif. “Selama ini media memang masih bias (isu) daratan,” tegas Harry.
Untuk mencapai hasil penelitian yang meyakinkan dengan tingkat kepercayaan 95% dan samling margin error pada angka 5%, Harry dan Vira mengumpulkan 247 sampel pemberitaan atau sekitar 35,6% dari keseluruhan populasi berita terkait isu kelautan dan perikanan. Berita yang dikumpulkan berada dalam rentang waktu antara 1 Januari sampai 31 Mei 2015.
Berita-berita tersebut dikumpulkan dari lima sampel media yang diharapkan mampu mewakili keseluruhan media di Indonesia. Media-media tersebut adalah Kompas dan Media Indonesia (mewakili koran nasional), Serambi Indonesia (mewakili koran daerah kawasan Barat), Tribun Manado dan Harian Fajar, Makassar (mewakili koran daerah kawasan Indonesia Tengah dan Timur).
Harry mengatakan, dalam penelitian ini sebenarnya para peneliti juga ingin melibatkan media elektronik. Namun hal itu akhirnya dikesampingkan karena ada beberapa kesulitan semisal tidak banyaknya dokumentasi pemberitaan dan sulitnya menyandingkan format berita media cetak dan elektronik dalam melakukan analisis. “Namun media elektronik tetap dilibatkan dalam wawancara mendalam,” ujarnya.
Sampel berita tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis) untuk mengetahui bagaimana media menempatkan isu tersebut dalam kebijakan pemberitaannya. Hal itu menyangkut di halaman mana isu kelautan dan perikanan ditempatkan dalam penerbitan media-media yang diteliti, seberapa mendalam berita disajikan, jumlah sumber, nada pemberitaan apakah positif, negatif atau netral dan sebagainya.