Kisah Dua Dusun Miskin Beradaptasi dengan Bencana Akibat Perubahan Iklim (Bagian I)

Sumur Adaptif yang dibangun masyarakat dusun Wello dalam menghadapi bencana banjir (dok. oxfam)
Sumur Adaptif yang dibangun masyarakat dusun Wello dalam menghadapi bencana banjir (dok. oxfam)

Jakarta, Villagerspost.com – Ancaman bencana dan krisis pangan akibat perubahan iklim terbukti telah menghancurkan kehidupan banyak orang, khususnya penduduk di desa-desa miskin di Asia. Kajian terkini dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2014 menyimpulkan, peristiwa iklim yang ekstrem akan semakin mempengaruhi kondisi kesehatan, keamanan, perikehidupan, serta tingkat kemiskinan penduduk negara-negara Asia dengan derajat dan skala yang bervariasi.

Koordinator Kampanye dan Aksi Oxfam Indonesia Darmawan Tribowo mengatakan, negara-negara Asia selama ini memang menghadapi risiko bencana terkait dengan kondisi geologis dan iklim. “Hanya saja, perubahan iklim telah memperparah risiko tersebut, khususnya risiko yang dihadapi oleh kelompok rentan seperti penduduk miskin dan mereka yang tinggal di daerah rawan bencana,” katanya dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Minggu (14/6).

Dalam menghadapi meningkatnya resiko kebencanaan tersebut, pemerintah di negara-negara Asia harus mulai mengembangkan kerangka kebijakan dan kelembagaan yang mampu mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim (API) dan penanggulangan resiko bencana (PRB). “Saat ini, telah dijumpai tidak kurang dari 100 instrumen kebijakan di berbagai negara Asia untuk memfasilitasi kebutuhan tersebut,” urainya.

Keseriusan dan mendesaknya perubahan iklim sekarang hampir diakui secara universal. Di Indonesia, seperti halnya negara-negara lain di Asia Selatan dan Asia Tenggara, perubahan iklim akan membawa dampak serius terhadap kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin, karena mengurangi ketersediaan air, berkurangnya produksi pertanian, meningkatkan permukaan laut, dan meningkatkan terjadinya bencana alam.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa 70% dari bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, abrasi, pasang, angin topan, kekeringan, dan kebakaran hutan. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa bencana hidrometeorologi dapat semakin buruk karena perubahan iklim. Atas dasar itulah, menurut Darmawan, Oxfam menilai sangat penting untuk melakukan aksi-aksi pengurangan risiko bencana (PRB).

Karena dampak perubahan iklim terjadi dalam bentuk bahaya secara lokal, dan bisa menjadi bencana dalam kaitannya dengan kerentanan lokal, maka keterlibatan aktif penduduk setempat yang difasilitasi dengan baik dari rumah tangga dan masyarakat untuk mengembangkan kapasitas adaptasi menjadi sangat penting. Namun, skala dan dampak aksi lokal terhadap risiko perubahan iklim masih terbatas tanpa adanya langkah-langkah pada tingkatan lain yang menangani penyebab kerentanan. Akibatnya, pendekatan terpadu untuk membangun ketangguhan di antara kaum miskin kota sangat dibutuhkan.

“Oxfam percaya bahwa meningkatkan ketangguhan masyarakat sangat penting terutama untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas masyarakat yang pada akhirnya mengurangi risiko. Oxfam juga memahami betul bahwa mengurangi kerentanan juga harus mengatasi penyebab yang mendasari kerentanan seperti kesenjangan dan kebijakan pemerintah,” tegas Darmawan.

Dua Desa Belajar Hadapi Bencana Akibat Perubahan Iklim

Dalam rangka mengurangi kerentanan dalam menghadapi bencana akibat perubahan iklim, Oxfam, pada tahun 2014 lalu melaksanakan sebuah program adaptasi perubahan iklim di Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur. Bermitra dengan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS), program yang dilaksanakan di dua dusun yaitu Wello dan Pajinian ini bertujuan untuk menunjukkan adanya proses evolusi pengurangan risiko bencana dan akhirnya mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim.

Facebook Comments
One Comment

Leave a Reply to Bronjong Kawat Jakarta Cancel reply

Your email address will not be published.