Kisah Dua Dusun Miskin Beradaptasi dengan Bencana Akibat Perubahan Iklim (Bagian II)

Tanggul yang dibangun masyarakat untuk mengendalikan banjir (dok. oxfam)
Tanggul yang dibangun masyarakat untuk mengendalikan banjir (dok. oxfam)

Jakarta, Villagerspost.com – Pada bagian pertama tulisan ini, telah diceritakan bagaimana bencana akibat perubahan iklim membuat masyarakat rentan akan semakin menderita dan bagaimana masyaraka di dusun Wello, di Flores Timur berhasil melakukan aksi adaptasi dalam menghadapi bencana akibat perubahan iklim. Dalam bagian kedua tulisan ini, akan diuraikan pula bagaimana proses yang sama dilakukan oleh masyarakat desa Pajinian.

Desa Pajinian terletak di Pulau Adonara, di Kecamatan Adonara Barat. Pajinian merupakan desa pesisir meskipun sebagian besar masyarakatnya adalah petani yang menanam jagung, padi, kacang mede, dan sayur mayur. Masyarakat Pajinian juga beternak hewan ternak kecil baik untuk tujuan ekonomi dan sosial budaya.

Sejak 1995, Desa Pajinian selalu terkena banjir bandang dan genangan terutama di dua dusun yang terletak di depan anak sungai drainase tempat air sungai dari bukit mengalir melewati dua dusun tersebut. Banjir bandang itu berasal dari bukit tempat masyarakat Ilepati untuk membuka pertanian mereka secara teratur. Sewaktu hujan, limpasan berasal dari bukit menggenangi tempat tinggal 699 orang, yang terdiri dari 344 laki-laki dan 355 perempuan.

Sejarah ekosistem menyebutkan bahwa sejak 1995, dataran tinggi di atas Pajinian yang merupakan bagian dari desa lain, yakni Ilepati, dibuka untuk pertanian. Vegetasi di wilayah tersebut diubah dari pepohonan besar menjadi tanaman jangka pendek seperti jagung dan padi. Sejak saat itu, banjir mulai terjadi secara berkala setiap tahun sampai sekarang.

Sejak banjir terjadi 1995 sampai sekarang, belum ada upaya apapun dari pemerintah atau masyarakat di daerah yang lebih tinggi itu untuk merehabilitasi atau menerapkan pertanian berkelanjutan untuk mengurangi luapan air ke dataran rendah. Para warga Pajinian telah beberapa kali menyampaikan masalah ini pada warga Ilepati namun tidak ada perubahan.

Menurut warga Pajinian, hubungan antara Pajinian dan Ilepati telah tegang sejak lampau. Para leluhur Pajinian dan Ilepati mengalami konflik dan tidak pernah terselesaikan sampai sekarang. Oleh sebab itu, sulit untuk mendapatkan kepercayaan di antara para warganya untuk bekerja sama pada pengurangan risiko bencana (PRB) atau topik lainnya.

“Sebelum YPPS datang ke desa tersebut membawa Proyek Membangun Ketahanan dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana, masyarakat telah melakukan upaya untuk menyalurkan air limpasan sehingga tidak membanjiri desa,” kata Torry Kuswardono.

Namun, usaha mereka tidak berhasil karena kurangnya koordinasi dan kerja sama antara warga desa dan karena saluran air tersebut tidak cukup kuat untuk menyalurkan air. Saluran yang telah lama itu sangat sederhana dan tidak diperkuat dengan semen, batu atau beton. “Saluran tersebut dibuat dari karung-karung pasir yang dengan mudah dapat hancur jika banjir bandang datang dengan kekuatan yang agak besar,” ujarnya.

Pada awalnya, rencana aksi masyarakat difokuskan pada penguatan tanggul dan saluran sepanjang 60 meter, namun sekali lagi itu tidak efektif. “Banjirnya terlalu besar untuk ditahan dan salurannya terlalu pendek,” kata Torry.

Proyek Membangun dan Memperkuat Ketangguhan membiayai rencana aksi masyarakat untuk memperpanjang saluran tersebut sampai 300 meter. Bantuan dari Oxfam tersebut hanya digunakan untuk membeli bahan bangunan yang tidak dapat diperoleh di daerah tersebut seperti misalnya semen. Sementara itu, bahan bangunan yang lain seperti pasir, batu, dan batu cadas serta tenaga kerja diorganisir oleh TSBD bersama pemerintah daerah. Bahan bangunan lokal dan tenaga kerja disediakan secara sukarela oleh masyarakat.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.