Konflik Agraria di Tanah Transmigrasi Konawe Selatan (Bagian 3)
Konawe Selatan, Villagerspost.com – Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Roda, Kecamatan Kolono, Kabupaten Konawe Selatan, merupakan kawasan transmigrasi baru yang dibuka pada tahun 2016 lalu. Di kawasan ini bermukim para transmigran yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, khususnya dari Tegal dan Pekalongan.
Meski relatif baru, ternyata kawasan UPT Roda ini pun seperti tidak direncanakan dengan matang. Pasalnya, para transmigran, sebagaimana di UPT lainnya, juga mengalami masalah konflik agraria. Slamet Raharjo, seorang transmigran asal Pekalongan mengatakan, sebagaimana umumnya transmigran di UPT lain, masing-masing kepala keluarga dijanjikan lahan berupa lahan pekarangan seluas 0,25 hektare, lahan usaha 1 seluas 0,75 hektare dan lahan 2 seluas 1 hektare.
“Yang menjadi masalah, adalah lahan 2 kami dimana lahan tersebut ternyata merupakan lahan hutan konservasi di bawah Dinas Kehutanan, padahal berdasarkan MoU dengan pihak transmigrasi, kawasan itu seharusnya menjadi lahan usaha 2 kami,” kata Slamet, saat ditemui Villagerspost.com di kawasan UPT Roda, pada Selasa (4/12) lalu.
Keberadaan lahan usaha 2 ini, menurut Slamet, sangat penting karena mereka benar-benar membutuhkan lahan usaha yang representatif. Pasalnya, lahan usaha 1 milik mereka ternyata terletak di kawasan perbukitan dengan lereng curam yang sulit ditanami.
Adman, salah seorang transmigran asal Tasikmalaya, Jawa Barat, mengatakan, selain curam, lahan usaha 1 milik mereka pun sebenarnya masih belum jelas statusnya karena sempat diklaim oleh PT Tiran Sulawesi. “Sempat PT Tiran itu mematok dan memagari kawasan kami, sehingga untuk keluar pun atau ke ladang kami sangat sulit,” ujarnya.
Belakangan, Adman mengaku, pihak PT Tiran, membuka kembali patok dan pagar tersebut, sehingga warga pun bisa kembali mendapatkan akses ke lahan mereka. Karena itulah, kata dia, warga UPT Roda sangat berharap pihak pemerintah dan dinas pertanahan dan transmigrasi setempat segera menyelesaikan masalah ini.
Menurut Slamet Raharjo, kebutuhan ekonomi masyarakat sangat mendesak, sehingga kebutuhan akan lahan 2 juga mendesak. “Kami sendiri, kalau tidak ada penyelesaian, akan nekat masuk ke lahan yang sudah ditunjuk untuk menjadi lahan 2 kami, kami babat bersihkan dan kami tanami,” kata Slamet.
Dia mengatakan, warga punya pegangan hukum untuk mengklaim tanah itu, berdasarkan MoU yang dibuat dengan pihak transmigrasi. Warga UPT Roda, bersama UPT lainnya seperti Arongo, Tolihe dan Pudaria, juga sudah melakukan berbagai upaya termasuk terakhir, pada tanggal 5 Desember lalu, menemui pihak ATR/BPN Sulawesi Tenggara. Pada tanggal 6 Desember, mereka juga melakukan audiensi dengan Kepala Dinas Transmigrasi Sulawesi Tenggara.
Sebagai respons, Kepala Dinas Transmigrasi Sultra, Saemu Alwi sendiri sudah mengeluarkan surat edaran meminta diadakannya pertemuan dengan Bupati Konawe Selatan dengan seluruh pihak terkait, termasuk para transmigran. Diharapkan dengan pertemuan itu, dapat dicarikan penyelesaian masalah lahan di lokasi transmigrasi di seluruh wilayah Konawe Selatan.
Laporan/Video: M. Agung Riyadi
Related Posts
-
Jagung Transgenik dan Pengkhianatan Nawacita Jokowi-JK
No Comments | Dec 18, 2015 -
Inovasi Petani Muda: Genjot Pertanian, Selamatkan Ekonomi Dari Krisis
No Comments | Oct 24, 2020 -
Neraka Buruh di Kebun Sawit (Bagian III)
No Comments | Mar 2, 2015 -
Nuryasin: Petani Biasa Jadi Luar Biasa
1 Comment | Aug 27, 2015
Semoga ini bisa menjadi informasi buat pemerintah pusat maupun bagi para penggiat agraria, bahwa program Reforma Agraria Jokowi tidak dilaksanakan di Sulawesi Tenggara. Pemda maupun institusi pemerintah yang memiliki kewajiban melaksanakan Reforma Agraria, seperti ATR/BPN, Dinas Transmigrasi dan Dinas Kehutanan hingga saat ini masih enggan melaksanakan mandat Nawacita Jokowi. Janji BPN yg katanya akan segera mensertipikatkan lahan milik masyarakat Desa Pudaria Jaya melalui skema PTSL (Pengukuran Tanah Sistematis Lengkap) saja dibatalkan secara sepihak tanpa alasan yg jelas. Padahal warga sudah berharap besar kepada BPN agar segera menerbitkan seripikat lahan yang sudah 42 tahun dinantikan. PTSL saja gagal, apalagi mau melaksanakan Reforma Agraria yang mekanismenya lebih rumit dan alurnya yg berliku.
Cerita pak Sumar dan Pak Munardi sudah cukup menjadi catatan bagi kita, bahwa Reforma Agraria yang selalu dibanggakan bahkan dipamerkan oleh pemerintah, belum menyentuh akar persoalan dan kebutuhan rakyat. Seandainya pemerintah masih punya rasa malu, sudah seharusnya lokasi-lokasi yang diusulkan oleh masyarakat melalui serikat tani dan KPA menjadi prioritas pelaksanaan Reforma Agraria dan tidak lagi ditunda-tunda.
#ReformaAgrariaSetengahHati#