Made Adriningsih: Pejuang Pangan, Pejuang Pendidikan dari Desa Transmigran
|
Konawe Selatan, Villagerspost.com – Datang ke Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara pada November 2011 silam, Made Adriningsih sebenarnya membawa harapan besar untuk bisa sejahtera, melalui program transmigrasi. Bayangan akan mendapatkan fasilitas rumah, lahan seluas 2 hektare, dan sebagainya, membuat tekad perempuan asal Bali itu, semakin kuat untuk menjadi transmigran.
Made ditempatkan di unit pemukiman transmigrasi (UPT) Arongo, Kecamatan Landono, Konawe Selatan. Dalam perjanjian, seharusnya, Made dan keluarga mendapatkan lahan berupa lahan pekarangan seluas 0,25 hektare (2.500 meter persegi), lahan usaha 1 seluas 0,75 hektare (7.500 meter persegi), dan lahan 2 seluas 1 hektare (10 ribu meter persegi). Sayangnya, bayangan tersebut ternyata tak seindah kenyataannya.
Setibanya di lokasi, warga transmigran yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat itu, justru hanya mendapatkan lahan seluas 1 hektare saja, alias setengah dari yang dijanjikan. Itupun, statusnya belum pasti karena tanah tersebut hingga kini belum bersertifikat. Setahun ditempatkan di UPT Arongo, tepatnya tahun 2012, warga transmigrasi juga dikagetkan dengan adanya klaim atas tanah mereka oleh perusahaan sawit PT Merbau Jaya Indah Raya Group.
Akibatnya lahan seluas 0,25 hektare dari lahan seluas 1 hektare yang baru diterima warga transmigran terancam berpindah tangan ke pihak perusahaan. Konflik lahan yang kemudian menjadi masalah menahun ini, yang kemudian mengubah kehidupan Made dan kaum perempuan transmigran di UPT Arongo pada umumnya.
Made bercerita, akibat konflik tersebut, kebanyakan transmigran kesulitan untuk mendapatkan penghidupan yang layak dari bertani. Akibatnya, banyak dari kaum lelaki yang seharusnya bekerja di ladang dan kebun, terpaksa bekerja ke kota menjadi buruh untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga mereka.
“Karena kaum lelaki bekerja ke kota, maka kaum ibu akhirnya ikut turun membantu ekonomi keluarga dengan mengolah kebun,” kata Made, kepada Villagerspost.com yang berkunjung ke kawasan UPT Arango, Senin (3/12) lalu.

Pada lahan-lahan yang tersisa seluas 7500 meter persegi itulah, Made dan kebanyakan kaum ibu di UPT Arongo, membudidayakan berbagai tanaman seperti nanas, merica, mengkudu, serai, dan sebagainya. Made bersama ibu-ibu UPT Arongo juga mengembangkan kebun pepaya, pisang, kelapa, pala, rambutan dan kayu putih. Untuk jenis sayuran, mereka mengembangkan sayur mayur dan cabai, dengan sistem tumpang sari.
“Ini yang bisa kami lakukan, membantu ekonomi keluarga, kami kan juga harus memikirkan anak-anak, soal gizi, kesehatan, kebutuhan sehari-hari, pakaian sekolah, sepatu, tas dan sebagainya,” kata perempuan kelahiran 4 Mei 1979 ini.
Made, yang juga seorang sarjana pendidikan ini, kemudian menghimpun kaum ibu di UPT Arongo membentuk sebuah unit usaha pengolahan makanan dari hasil pertanian yang diberi nama UKM Mawar 71. Selain bercocok tanam, melalui UKM Mawar 71, Made dan umumnya kaum ibu di UPT Arongo, memproduksi berbagai macam makanan olahan.
Di antaranya adalah, keripik ubi, keripik pisang, stik ubi kayu, selai nanas, dodol nanas. “Jadi di sini memang penghasil nanas, kemudian hasilnya kita jual, selebihnya kita olah menjadi selai nanas, dan dodol nanas,” jelas perempuan, kelahiran Buleleng, Bali itu.
Selain itu, kaum ibu di UPT Arongo, di bawah pimpinan Made juga berinovasi dengan membuat produk kopi mengkudu. “Kopi ini dari buah mengkudu yang dikeringkan, kemudian disangrai, dan digerus hingga menjadi bubuk seperti bubuk kopi, khasiatnya ini untuk kesehatan,” ujarnya.
Produk lain yang dihasilkan Made dan kawan-kawannya adalah kopi pinang, teh daun kelor, dan nasi tiwul. “Ini kami produksi pada saat ubi panen melimpah, kami olah kelebihannya menjadi nasi tiwul,” ujar Made.
Selain bertani dan mengolah hasil pertanian, kaum ibu UPT Arongo juga membuat produk kerajinan berupa piring dari anyaman lidi dari daun kelapa. Mereka juga memproduksi sangkar burung, berbagai kerajinan anyaman bambu, dan seni ukiran.
Untuk pemasaran, kata Made, usaha kaum ibu UPT Arongo ini masih mengandalkan pada pesanan yang masuk. “Jadi kalau ada pesanan masuk misalnya seperti menjelang lebaran atau natal atau hari besar lainnya, baru kita produksi, kalau tidak ada yang kita nggak bikin,” ujarnya.
Selain itu, para perempuan di UPT Arongo juga beternak sapi, kambing, dan ayam. Ternak sapi dan kambing dijalankan dengan sistem gaduh. “Kami memelihara sapi atau kambing milik orang lain, nanti itu kita bagi hasil. Selain ternak kambing ada juga yang beternak ayam,” terang Made.
Belakangan, kata Made, mereka juga berusaha membantu memasarkan produk kaum ibu di UPT Arongo secara online melalui akun sosial media. Usaha ini, kata Made, memang baru sebatas upaya membantu perekonomian keluarga. “Kita memang baru sekadar membantu ekonomi keluarga, penghasilan kami masih sangat minim,” katanya.
Ketiadaan permodalan menjadi satu hambatan lain bagi usaha kaum ibu di UPT Arongo ini. “Kami modal dari pinjam meminjam, misalnya modal 100 ribu rupiah, itu kita upayakan untuk menghasilkan uang lagi sebesar 100 ribu, jadi ada hasil 200 ribu, itu kalkulasi yang terkecil,” kata Made.
Toh, penghasilan sebesar itu, menurut dia, sudah lumayan membantu menambah penghasilan suami yang rata-rata hanya bekerja sebagai buruh. “Menjadi buruh di kota, penghasilan sehari 100 ribu, tetapi ongkos dan makan ditanggung sendiri,” ujarnya.
Dengan kerja keras sedemikian, kata Made, paling besar, dalam sebulan sebuah keluarga hanya bisa menghasilkan uang sebesar Rp1 juta rupiah. Hasil itu, menurutnya tidak mencukupi lantaran kebutuhan sehari-hari setiap bulan, dengan anggota keluarga empat orang seperti dirinya saja, sudah lebih besar dari itu.
Terlebih, Made melakukan semua usaha itu dengan memanfaatkan waktu di sela-sela kegiatannya sebagai guru di sebuah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) TK Anak Nusantara, milik Yayasan Harapan Bangsa. Selain berjuang memenuhi kebutuhan pangan bagi keluarga, Made, bersama lima perempuan lainnya, juga berjuang merintis pendidikan anak usia dini di kawasan transmigrasi, khususnya di UPT Arongo.
Mereka bahkan tetap bekerja, mengajar para siswa-siswi usia dini meski tanpa menerima gaji sepeser pun. “Pernah dulu kami ada honor dari Dinas Transmigrasi, tetapi dari lima guru PAUD di sini, kami hanya dua orang yang tercover. Gajinya besarnya 300 ribu rupiah perbulan. Jadi kami berdua setiap bulan dapat 600 ribu rupiah. Namun uang itu akhirnya kami bagi rata karena kan kita sama-sama bekerja,” kata Made.
Sayangnya pemberian honor itu hanya berlangsung selama tiga tahun, pada tahun 2016, honor tersebut tidak lagi diberikan. “Kami tanya kenapa dihanguskan, namun pihak transmigrasi tidak memberikan penjelasan, kami nggak nanya lagi kenapa,” ujar Made.
Toh, ketiadaan honor tak membuat kelima guru PAUD itu patah arang. Bahkan mereka bertekad meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anak dengan cara meningkatkan kapasitas diri mereka sebagai guru. Dengan biaya sendiri, Made dan kawan-kawannya, mengambil kuliah S1. “Kami semua sebelumnya hanya tamatan SMA, sementara syarat dari dinas, guru PAUD harus S1, jadi kami dengan modal nekat kuliah S1,” kisah Made.

Selain itu, kata dia, para guru PAUD ini juga sadar, mendidik anak usia dini justru mengemban tanggung jawab berat, sehingga mereka memang harus punya basis pengetahuan yang memadai. “Jangan sampai kita mengajar tidak tahu basic-nya, kita mendidik anak-anak ini, seperti menulis di kertas yang masih kosong, kita torehkan di situ karakter, akhlak, kita harus benar latih sejak dini, soal kepintaran bisa nomor sekian,” ungkap Made.
Untuk membiayai kuliahnya, Made dan kawan-kawan bekerja keras, di sela waktu mengajar, mengolah kebun, masih menerima pekerjaan menyetrika, mencuci baju dan membersihkan rumah. “Apapun pekerjaan kami lakukan untuk menyelesaikan kuliah,” ujarnya.
Hasilnya tak sia-sia, tahun 2017 lalu, empat dari lima guru PAUD di UPT Arongo ini, termasuk Made, berhasil meraih gelar sarjana pendidikan. Made pun semakin mantap membimbing murid-muridnya yang berjumlah 45 orang. Mereka melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di sebuah gedung tak terpakai yang diperuntukkan bagi transmigran setelah sebelumnya sempat berpindah-pindah hingga tujuh kali, termasuk menggunakan balai desa dan bangunan puskesmas pembantu. “Kadang kala kalau murid-murid penuh, kita belajar di luar, di alam, kalau kondisi sedang tidak hujan,” ujarnya.
Untuk membiaya kebutuhan seperti alat tulis, crayon, kertas dan sebagainya, pihak yayasan mengenakan biaya bulanan sebesar Rp20 ribu per bulan. Sementara untuk kebutuhan buku-buku bacaan, alat permainan edukasi, kata Made, pihaknya mulai mendapatkan sumbangan dari berbagai pihak termasuk jika ada mahasiswa yang melaksanakan kuliah kerja nyata di kawasan itu.
Made sendiri masih punya kegelisahan lain, terhadap masa depan pendidikan anak-anak di UPT Arongo. Salah satunya soal fasilitas pendidikan lanjutan yang masih sangat minim. Untuk menempuh pendidikan sekolah dasar, kata Made, anak-anak UPT Arongo harus menempuh jarak sekira 5-7 kilometer ke sekolah terdekat. Jarak menjadi hambatan besar karena sebagian besar anak-anak tak memiliki fasilitas angkutan yang memadai.
“Bahkan pernah ada anak yang sampai pingsan di sekolah, saking menempuh jaraknya jauh, mungkin juga belum sempat sarapan karena ayahnya keburu berangkat ke kota cari kerja, sementara ibunya sibuk di kebun,” kata Made.
Kesulitan semakin besar bagi anak-anak UPT Arongo untuk menempuh pendidikan SMP dan SMA. Karena jarak tempuhnya bisa dua kali lipat lebih jauh dan tak ada fasilitas angkutan umum yang memadai serta kondisi jalan yang buruk, terlebih di musim penghujan. Terlebih untuk jenjang SMA, mereka tidak bisa lagi sekolah gratis, sementara bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar, tak banyak masuk ke wilayah itu. “Paling hanya beberapa saja yang punya, selebihnya harus bayar sendiri,” kata Made.
Tak heran jika angka putus sekolah anak-anak UPT Arongo, lumayan tinggi. Made sendiri pernah melakukan riset kecil-kecilan di tahun 2016 silam. Hasilnya diketahui, anak putus sekolah hingga tingkat SD-SMP mencapai 20 anak. Sementara anak putus sekolah hingga tingkat SMA mencapai 15 anak. Sementara dari SMA ke tingkat perguruan tinggi lebih banyak lagi yang tak sanggup melanjutkan pendidikan.
“Di sini dari sekian ratus anak, hanya tiga yang yang mampu kuliah ke perguruan tinggi. Itupun mereka setengah mati harus mengatur waktu karena harus sambil bekerja ada yang bekerja di toko, di warung makan demi membiayai kuliah. Anak saya sendiri tidak mau melanjutkan ke bangku kuliah karena merasa kasihan dengan orang tuanya yang tidak mampu secara ekonomi,” kata Made.
Dia berharap, pemerintah selain memperhatikan masalah kejelasan lahan, juga mulai memperhatikan nasib pendidikan anak-anak di UPT Arongo. Baginya, akses anak-anak Arongo terhadap pendidikan sangat penting agar nasib mereka tak semakin buruk ketimbang yang sudah dialami orang tuanya. “Tentu kalau ada bantuan pendidikan, sampai ke masyarakat seperti kartu KIP, bisa membantu anak-anak meraih pendidikan yang lebih baik, sayangnya kami tidak tersentuh,” pungkas Made.
Laporan/Foto: M. Agung Riyadi