Menata Ulang Arah Kebijakan Kedaulatan Pangan

Para pemateri memaparkan strategi untuk kembali menata program kedaulatan pangan yang dinilai salah arah (dok. krkp)

Jakarta, Villagerspost.com – Kedaulatan pangan esensinya adalah menempatkan petani sebagai tujuan akhir pembangunan pertanian-pangan. Kedaulatan tidak semata berbicara soal kenaikan produksi. “Namun alih-alih memuliakan dan menyejahterakan petani, program dan kebijakan kedaulatan pangan yang ada justru meminggirkan petani,” kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, pada acara Seminar Nasional Kedaulatan Pangan, di Swiss Bell Residence, Jakarta, Selasa (6/11).

Dalam diskusi yang mengambil tajuk “Beyond Food Security: Menakar Ulang Kedaulatan Pangan” tersebut, Said mengungkapkan, KRKP memperhatikan, arah kebijakan program Nawacita Presiden Jokowi masih memberikan pemaknaan dan implementasi kedaulatan pangan tidak seperti yang dicita-citakan.

Kedaulatan pangan yang diterjemahkan dalam program dan kebijakan oleh pemerintah telah salah arah dan berhenti pada urusan peningkatan produksi semata. Program kebijakan yang disusun justru belum menyentuh dan menjawab persoalan dasar kedaulatan pangan, yaitu soal kedaulatan dan kesejahteraan petani.

“Salah arah yang terjadi mungkin muncul karena belum ada pemahaman yang sama dari berbagai stakeholder terkait kedaulatan pangan. Dengan demikian menjadi sulit menerjemahkan kedaulatan pangan pada tataran praktis sementara tidak ada indikator atau penanda kedaulatan pangan yang menjadi acuan semua pihak,” kata Said.

Dalam dokumen nawacita dengan tegas Jokowi-JK menyatakan, pencapaian kedaulatan pangan dilakukan dengan lima pedekatan. Pertama, membangun kedaulatan pangan berbasis agribisnis kerakyatan. Kedua, stop impor pangan khusus untuk beras, jagung dan daging sapi. Ketiga, stop impor pangan khusus untuk komoditas kedelai, bawang merah dan cabe merah.

Keempat, reforma agraria, dimana solusi untuk reforma agraria terdiri atas 3 program yaitu: (a) peningkatan redistribusi tanah 1,1 juta ha untuk 1 juta KK petani kecil dan buruh tani tiap tahun, (b) distribusi 9 juta ha tanah untuk petani dan buruh tani, dan (c) meningkatnya akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian.

Kelima penanggulangan kemiskinan pertanian dan regenerasi petani, berupa 4 solusi yaitu: (a) 1.000 desa berdaulat benih hingga tahun 2019, (b) peningkatan kemampuan organisasi petani dan pelibatan aktif perempuan petani sebagai tulang punggung kedaulatan pangan, (c) rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak pada 3 juta ha pertanian, dan (d) dukungan regenerasi petani muda Indonesia.

Tahun 2018, genap empat tahun sudah Jokowi-JK menjalankan roda pemerintah mengejar cita-cita kedaulatan pangan. Pun demikian dengan anggaran yang dialokasikan. Tak tanggung-tanggung, dalam kurun tiga tahun saja (2014-2017) anggaran naik hingga 53,2 persen. Jika tahun 2014, anggaran kedaulatan pangan sebesar Rp67,3 triliun, maka pada 2017 mencapai Rp103,1 triliun. Lebih dari 59,5 persennya anggaran kedaulatan pangan tersebut dialokasikan untuk Kementerian Pertanian, Kementerian PU PERA, Subsidi Pupuk dan Subsidi Benih.

Sayangnya peningkatan anggaran dan berbagai kebijakan dan program, belum mampu menempatkan petani sebagai subjeknya. Setidaknya kita bisa menelusuri dari berbagai data dan fakta yang ada. “Misalnya, fakta masih maraknya konflik lahan yang melibatkan petani. Kantor Staf Presiden (KSP) mengungkapkan bahwa hingga 2 Mei 2018, mereka menerima aduan 334 kasus konflik agraria yang melibatkan 96 ribu lebih kepala keluarga dan dengan total lahan konflik seluas 233 ribu hektare,” lanjut Said.

Belum lagi bila dimaknai bahwa kedaulatan pangan yang dimaksud pemerintah itu adalah peningkatan produksi dan diproduksi sendiri oleh petani Indonesia, ternyata juga tidak. Sekalipun klaim produksi gabah nasional meningkat hingga 81 juta ton pada 2017, padahal pada 2015 hanya 75 juta ton, namun nyatanya impor beras terus terjadi. Pada tahun 2015 tercatat impor beras sebesar 861 ribu ton, kemudian meningkat menjadi 1,3 juta ton pada tahun 2016. Walaupun menurun menjadi 256 ribu ton pada 2017, tetapi kembali naik menjadi 2 juta ton pada 2018.

Sementara kehidupan petani juga jauh dari kata baik. Walaupun angka kemiskinan secara agregat menurun dari tahun ke tahun namun rasio keparahan dan kedalam kemiskinan kota dan desa masih cukup memprihatinkan. Pada bulan September 2017 kemiskinan di pedesaan sebesar 13,47 persen yang kemudian turun menjadi 13,20 persen pada Maret 2018. Namun penurunan ini masih kalah jauh dari penurunan angka kemiskinan di perkotaan, yaitu 7,26 persen pada September 2017 menjadi 7,02 persen pada Maret 2018.

Besarnya angka kemiskinan di pedesaan sudah barang tentu dimiliki oleh petani. Dengan menggunakan alat ukur Nilai Tukar Petani (NTP) dapat dilihat bahwa terjadi penurunan pada tahun 2014 dibandingkan tahun 2018. Jika pada Oktober 2014 sebesar 102,87 pada Juli 2018 turun menjadi 101,66. Data tersebut menjadi relevan dengan angka kemiskinan yang dirilis BPS. Walaupun angka kemiskinan secara agregat menurun dari tahun ke tahun namun rasio keparahan dan kedalam kemiskinan kota dan desa masih cukup memprihatinkan.

Pada bulan September 2017 kemiskinan di pedesaan sebesar 13,47 persen yang kemudian turun menjadi 13,20 persen pada Maret 2018. Namun penurunan ini masih kalah jauh dari penurunan angka kemiskinan di perkotaan, yaitu 7,26 persen pada September 2017 menjadi 7,02 persen pada Maret 2018. Besarnya angka kemiskinan di pedesaan sudah barang tentu dimiliki oleh petani.

Impor pangan tidak hanya pada komoditas beras. Hampir seluruh komoditas pertanian terjadi impor walaupun pada beberapa jenis komoditas terjadi penurunan kuantitas impornya. Salah satu komoditas yang jumlah impornya terus meningkat adalah gandum. “Hingga tahun lalu, angka impornya menyentuh 11 juta ton. Pangan berbahan baku gandum perlahan namun pasti mulai menggantikan pangan lokal lainnya,” ujar Said.

Karena itulah, KRKP menilai, perlu dilakukan sebuah pemahaman ulang dari semua pihak atas isu kedaulatan pangan agar kembali pada relnya yaitu membangun kesejahteraan petani dan para produsen pangan skala kecil. Untuk membahas masalah tersebut, hadir dalam seminar ini, Prof. Ahmad Erani Yustika, staf ahli presiden bidang ekonomi, Dr Enny Sri Hartati, peneliti Indef, Dr Hermanu Triwidodo, IPB dan Vanda Ningrum, SE. MGM, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Selain pandangan umum ini, hadir juga pembicara dari para pelaku baik pimpinan daerah maupuan komunitas yang berjuang mewujudkan kedaulatan pangan didaerahnya masing – masing yaitu Bupati Luwu Utara Sulawesi Selatan, Kepada Desa Boru Kedang, Flores Timur dan penggiat komunitas lumbung Bantul.

Dengan adanya kegiatan ini diharapkan pemahaman parapihak menguat dan implementasi kedaulatan pangan sesuai dengan cita-cita awal, yaitu kedaulatan petani. “Sudah saatnya kita kembalikan kedaulatan pangan dengan tujuan akhirnya adalah kedaulatan dan kesejahteraan petani,” pungkas Said.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.