Mengenal Dusun Gantang, Dusun Berdikari Ekonomi Lewat Arisan (Bagian II-Habis)

Pak Tuwar dengan tiga sapi yang dikembangkannya dari pinjaman dana Kelompok Buruh Tani (dok. krkp)
Pak Tuwar dengan tiga sapi yang dikembangkannya dari pinjaman dana Kelompok Buruh Tani (dok. krkp)

Pada kesempatan yang sama mereka juga akan menghitung kas kelompok yang diperoleh dari arisan tenaga. “Saat itu teman-teman tahunya hanya bekerja sama-sama. Karena kita sama-sama miskin jadi ya manut saat diminta untuk gerakan (bekerja secara kelompok),” ungkap Tuwar, Ketua Kelompok Buruh Tani.

Menjelang tahun 2005, kelompok ini berhasil membeli satu kambing yang lantas diundi ke salah satu anggota. Terbelinya satu kambing untuk undian ini menjadi semangat bagi para anggota kelompok untuk lebih giat mengikuti gerakan. “Kadang setiap tahun bisa membeli satu kambing, bahkan sebelum satu tahun saja sudah terbeli,” demikian tambah Tuwar.

Kambing pertama yang dibeli pada tahun 2005 bernilai Rp150.000. Saat itu kambing yang ada belum diundi, hanya digaduh kepada penggaduh yang merupakan anggota kelompok. Selama kambing dirawat, para buruh tani ini semakin semangat bekerja untuk kelompok.

Mereka hanya memiliki harapan bahwa keduabelas orang ini harus mampu menggaduh kambing. Keuntungan dari kambing pertama masih dibagihasil dengan penggaduh. Hingga jumlah kambing mencapai lima ekor, maka pada tahun 2006 kelima kambing dijual dari penggaduh. Uang hasil penjualan digunakan untuk membeli satu ekor sapi jawa senilai Rp2.800.000. “Kita awalnya tidak membayangkan bahwa dengan gerakan bisa membeli sapi,” ungkap Tuwar.

Gara-gara sudah mampu membeli satu sapi, maka para anggota yang lain pun semakin giat untuk mencarikan uang bagi kelompok. Saat itu rata-rata per minggu mereka bisa memperoleh uang lima ratus hingga delapan ratus ribu. Di samping sapi satu sedang digaduh, maka teman-teman yang lain giat bekerja. Pada tahun 2007, saat kegiatan kelompok sudah mampu menghasilkan uang Rp3,5 juta maka sapi yang sedang digaduh pun dijual.

Maka mulai tahun 2007, Kelompok Buruh Tani melakukan undian untuk dua orang. Setiap orang mendapatkan undian Rp3,5 juta rupiah. Berhubung kelompok terdiri dari petani berlahan sempit dan buruh tani maka pengembalian pun dilakukan maksimal 15 bulan dengan menambah uang kas sejumlah Rp50.000. Dari kelonggaran inilah maka setiap individu yang memperoleh undian mampu memaksimalkan usaha penggemukan sapi.

Seperti ilustrasi yang digambarkan oleh Tuwar berikut: “Jika ada anggota mendapatkan modal senilai 3,5 juta. Dari pengalaman salah satu anggota, ia menggunakan 2,9 juta dari total undian 3,5 juta untuk membeli pedet mosin. Harga tersebut memang murah karena dia hanya mendapatkan sapi yang berbadan kurus, sisanya digunakan untuk perawatan. Setelah dipelihara selama 10 bulan, sapi tersebut mampu ditukar dengan pedet mosin dengan harga serupa dan uang senilai 4,1 juta. Bila penerima undian ingin mengembalikan modal, maka ia bisa mengembalikan sebelum waktu yang telah ditentukan. Dengan begitu hanya dalam waktu 10 bulan, si penerima undian bisa mengembalikan pokok pinjaman sebesar Rp 3.550.000,- dan memiliki satu pedet serta uang sebesar 1,1 juta.”

Bagi Kelompok Buruh Tani, potensi untuk penyalahgunaan penggunaan modal memang bisa dimungkinkan. Namun mereka selalu mengantisipasinya melalui mekansime sosial di kelompok. Setiap anggota yang memperoleh undian, keesokan harinya selalu ditanya mengenai penggunaan dana: “Sudah dibelikan sapi belum?”. Dengan cara inilah kelompok melakukan kontrol terhadap anggota agar modal yang berputar tidak disalahgunakan untuk hal lain.

Dampak Sosial Arisan

“Mulanya hanya ingin mengurangi beban menyewa buruh,” demikian ungkap Tuwar saat ditanya manfaat arisan tenaga yang telah dilakukan di Dusun Gantang.

Bagi Kelompok Buruh Tani, biaya mengolah ladang merupakan beban tertinggi. Bagaimana tidak, kini untuk mengolah ladang, mencangkul dan mengangkat pupuk kandang, seluas 1000 m2 dibutuhkan waktu 15 hari untuk satu buruh. Padahal upah buruh tani di Dusun Gantang sebesar Rp25.000. Maka bisa dipastikan bahwa untuk satu kali masa tanam, seorang petani berlahan 1000 m2 membutuhkan biaya sebesar Rp375.000.

Melihat jumlah rupiah yang tinggi, maka Tuwar bersama petani lainnya memilih untuk berkelompok untuk mengurangi biaya pengolahan ladang. Masyarakat Gantang menyebutnya sebagai gerakan gotong royong. Dengan gerakan tersebut, para petani bisa menghemat waktu kerja.

Jika 1000 m2 dikerjakan selama 12-15 hari oleh satu orang dengan menyediakan dana sampai Rp375.000. Namun jika dikerjakan oleh 12 orang, maka pengoalahan tanah seluas 1000 m2 bisa selesai dalam waktu satu hari. Selain itu berdasarkan kesepakatan kelompok, setiap kali gotong royong si pemilik tanah, yang juga anggota kelompok, hanya membayar Rp25.000. Uang tersebut akan dikumpulkan untuk kas kelompok.

Selain meningkatkan rasa kebersamaan dan memudahkan penyediaan tenaga murah untuk pengolahan tanah. Melalui kelompok arisan, petani yang sebelumnya tidak memiliki aset finansial bisa mendapati “tabungan”. Aset finansial, artinya petani mampu mengembangkan modal seperti ternak yang bisa menjadi “tabungan” jangka panjang.

Selain itu arisan tenaga mampu menjadi “tabungan” yang sewaktu-waktu bisa diambil ketika dibutuhkan sesuai kesepakatan kelompok. Semisal, setelah letusan Merapi 2010 Kelompok Buruh Tani memilih untuk menjual sapi agar teman-teman sekelompok bisa makan.

“Lha masak membiarkan anggota kelaparan, butuh makan. Jadi ya sapi dijual karena tidak ada yang bekerja,” kenang Tuwar menutup pembicaraan mengenai manfaat berkelompok. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.