Merajut Asa Sejahtera Lewat Budidaya “Santapan Para Dewa”

Seorang petani kakao di Hamonggrang, Kabupaten Jayapura, memeriksa kebun kakao miliknya (Dok. Villagerspost.com)
Seorang petani kakao di Hamonggrang, Kabupaten Jayapura, memeriksa kebun kakao miliknya (Dok. Villagerspost.com/M. Agung Riyadi)

Jayapura, Villagerspost.com – Peluh masih mengucur dari sekujur tubuh Salmon Sanggrangbano (54 tahun), seorang petani kakao (coklat) dari kampung Hamonggrang, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Ketika Villagerspost.com menemuinya, siang itu, Kamis (28/1), matahari memang sedang bersinar cerah setelah dua hari sebelumnya, cuaca di sekitar Kabupaten Jayapura selalu dirundung mendung.

Namun justru cuaca yang cerah dengan panas matahari yang menyengat itulah yang memang dinanti-nanti Salmon. Terik matahari sangat dia perlukan untuk bisa menjemur biji-biji kako hasil panen terakhirnya di pekan itu. Sebuah terpal biru dia gelar di sebuah hamparan rumput tak jauh dari gubuk yang sengaja dia dirikan di dekat kebun miliknya. Gubuk itu berguna bagi Salmon baik untuk sekadar beristirahat melepas penat sesuai mengurus kebun atau memanen hasil kebun seluas 2 hektare miliknya maupun tempat berteduh sembari mengawasi biji-biji kakao yang sedang dijemur.

Seperti hari itu, Salmon sengaja mengawasi biji-biji kakao yang sudah mulai mengering dari gubuk peristirahatannya. Sesekali dia membolak-balikkan biji-biji kakao itu dengan garu miliknya, agar kering merata hingga siap untuk dijual. Sewaktu-waktu hujan turun pun, dia bisa dengan segera datang “menyelamatkan” benda berharga miliknya itu dari guyuran air hujan.

Seperti julukannya, “emas hitam”, biji-biji kakao milik Salmon itu memang berharga bak logam mulia. Dari hasil bertanam kakao itulah, Salmon bisa menghidupi istrinya, Marietje Yewi dan kesembilan anaknya. “Selain untuk kebutuhan sehari-hari, makan, membeli garam dan gula, juga untuk biaya sekolah anak-anak,” kata Salmon sembari menyunggingkan senyum.

Jika harga sedang bagus, para pengepul yang biasa datang membeli biji kakao kering dari para petani, bisa membelinya dengan harga sebesar Rp22.000 per kilogram. Salmon mengaku dalam sebulan dia bisa menghasilkan biji kakao sebanyak tiga karung ukuran 50 kilogram. Biji kakao sebanyak itu, menurut dia bisa memberikan penghasilan sebesar Rp3 juta rupiah sebulan. “Saya tidak tahu tidak pernah ukur berapa beratnya, tetapi hasilnya ya seperti itu,” katanya kepada Villagerspost.com.

Memang selain dari bertanam kakao, Salmon juga mendapat penghasilan tambahan dari hasil menanam tanaman seperti pisang dan pinang di antara ruas-ruas pohon kakao di kebunnya. Dari situ dia bisa mendapat penghasilan ekstra sebesar Rp300-400 ribu per bulannya. Hanya saja, dengan harganya yang lumayan tinggi, kakao merupakan andalan penghasilan utama bagi Salmon dan keluarganya.

Menanam kakao sendiri, kata Salmon, merupakan kegiatan turun-temurun yang diwariskan orang tuanya sejak zaman Belanda dahulu. Kakao (Theobroma cacao L.) di bawa Belanda ke Papua pada tahun 1955 dan dikembangkan di beberapa wilayah termasuk Kabupaten Jayapura. Saat ini, lahan produksi kakao di Papua sendiri mencapai luas 34,400 hektare dengan hasil sebesar 9530 ton.

Tanaman yang juga dijuluki “santapan para dewa itu” sejak ditanam dapat dipanen dalam waktu tiga tahun. Ketika pohon Kakao berbuah, proses pematangan buahnya bisa mencapai enam bulan. Namun panen Kakao tidak mengenal musim, sehingga petani dapat panen Kakao setiap bulan. Pohon Kakao dapat bertahan hingga umur 20 tahun, setelahnya perlu diganti.

Keluarga Sanggrangbano sendiri terlibat dalam penanaman kakao sejak tahun 1970-an, mewarisi pokok-pokok pohon tua peninggalan perkebunan Belanda. Sejak masa itu, segala pahit-manis yang terjadi di dunia per-kakao-an ikut dirasakan oleh keluarga yang terdiri dari enam bersaudara itu.

Selain Salmon, keluarga Sanggrangbano lain yang ikut terjun ke bisnis budidaya kakao adalah Thidores Sanggrangbano (45) dan adik perempuan mereka Alfonsina Sanggrangbano (43). Total luas lahan yang dikelola keluarga ini mencapai 6 hektare. Sejak tahun 1970-an keluarga Sanggrangbano sudah merasakan fluktuasi harga kakao.

Thidores bercerita, di tahun 1970-an, harga kakao per kilogram masih berada di kisaran Rp200-Rp250. “Hanya saja harga segitu saat itu sudah bagus, uang masih ada harganya,” ujarnya kepada Villagerspost.com.

Memasuki tahun-tahun akhir 1970-an harga kakao terus bergerak naik ke angka Rp500 per kilogram dan kemudian menyentuh Rp1000 per kilogram di tahun 1980-an. “Sejak itu harga cenderung stagnan,” kata Thidores.

Harga kakao mulai bergerak naik seiring inflasi yang semakin meninggi dipicu krisis ekonomi tahun 1998-1999. Harga saat itu, mulai bergerak ke angka Rp20.000 per kilogram. “Hanya saja ketika itu uang memang hampir tidak ada harganya,” ujar Thidores.

Meski begitu, keluarga Sanggrangbano masih setia menggantungkan hidupnya dari bertanam kakao. Salmon sendiri sudah sedikit banyak menikmati “buah” manis dari bertanam kakao ini.

Lima dari sembilan anak Salmon yang sudah dewasa, kini sudah mampu mandiri dan mendapatkan pendidikan tinggi. “Satu anak saya sudah lulus fakultas pertanian di Jayapura dan kini bertugas di Jakarta, dua lagi masih menempuh pendidikan tinggi dan yang dua masih bersekolah di tingkat SMU,” kata Salmon.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.