Merti Dusun: Dusun Krekah Berharap Berkah Tuhan, Wujudkan Ketahan Pangan
|
Bantul, Villagerspost.com – Terkisah, Prabu Duryodana, putra tertua dari keluarga Kurawa yang memimpin kerajaan Astina, sedang gundah gulana. Pasalnya, dia harus memenuhi janjinya untuk menyerahan sebagian kerajaan yang menjadi hak sepupu mereka dari keluarga Pandawa. Namun, Duryodana berkeras hati tidak mau menyerahkan hak para Pandawa.
Untuk meredakan ketegangan, maka turunlah Semar yang menyamar sebagai seorang pandito untuk menasihati Duryodana agar mampu berbuat adil. Apa daya, semua nasihat Semar tidak diterima Duryodana yang tidak mau menyerahkan hak para Pandawa. Akhirnya, pecahlah perang besar yang berakibat pada gugurnya seluruh keluarga Kurawa, dan para Pandawa akhirnya memperoleh haknya atas Kerajaan Astina.
Demikianlah, alur cerita pagelaran wayang kulit dengan lakon “Wahyu Sekar Jagat” yang dipentaskan Ki Dalang Sigit Menggolo Seputro, di Dusun Krekah, Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Sabtu malam (19/5) lalu. Pagelaran wayang semalam suntuk itu merupakan puncak acara “Merti Dusun” yang digelar di hampir semua dusun di kawasan Desa Gilangharjo, termasuk Dusun Krekah.
Merti Dusun (atau Merti Desa, jika diselenggarakan di tingkat desa) sendiri secara harfiah berarti “bersih dusun”. Ritual ini mengandung makna simbol rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan karunia yang diberikan kepada para petani di dusun. Karunia tersebut bisa berwujud apa saja, seperti kelimpahan rezeki berupa hasil panen yang baik, keselamatan, serta ketentraman dan keselarasan hidup masyarakat.
“Makna lakon wayang yang dimainkan ini sendiri merupakan harapan agar wahyu dari Tuhan sampai ke masyarakat Krekah, khususnya dan Gilangharjo secara keseluruhan sehingga mendapatkan keberkahan serta terjauh dari musibah,” kata Ki Sigit Menggolo Putro kepada Villagerspost.com.
“Ini tradisi adat Jawa terutama Yogya yang dilestarikan sampai sekarang. Asalnya dari kata ‘memerti’ yang berarti bersih atau memohon doa kepada Tuhan untuk dibersihkan dari segala musibah,” tambah Ki Sigit.
Dalam acara puncak Merti Dusun di Krekah itu, Ki Sigit tidak tampil sendirian. Dalang yang pernah memperdalam ilmu pedalangan kepada Ki Timbul Hadiprayitno itu, juga membawa kedua putrinya Sinta Dewi Purwati, dan Rizki Rahma Nurwahyuni yang tampil berdua membawakan kisah wayang dengan lakon Wahyu Cakraningkat. Sinta dan Rahma tampil bergantian membawakan lakon yang berkisah tetang Raden Abimanyu yang harus menghadapi berbagai rintangan untuk dapat mewarisi Kerajaan Astina sebagai raja itu.
Kepala Desa Gilangharjo Pardiyono mengatakan, Merti Dusun adalah tradisi perayaan setelah panen. “Selama ini ditinggalkan, padahal tradisi ini penuh filosofis dan petuah yang baik. Kami ingin generasi muda kembali mengadakan tradisi ini,” katanya.
Seturut cerita Pardiyono, tradisi Merti Dusun ini mulai ditinggalkan warga desa di kawasan Bantul, sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI. Dampak dari hilangnya tradisi ini sendiri, di Gilangharjo, cukup besar. “Akhirnya, masyarakat kehilangan pegangan, lingkungan rusak, pertanian yang dulunya alami, mulai digempur bahan kimia, merusak tanah dan akhirnya gagal panen,” terangnya.
Semangat untuk menghidupkan tradisi ini sendiri, menurut Kepala Seksi Pemerintahan Desa Gilangharjo Supriyanto, dilakukan sejak tujuh tahun terakhir. “Awalnya buat acara adat, mengembangkan nilai mencintai pesan leluhur, yang mengandung filosofi yang mendalam untuk kebaikan,” ujarnya.
Di bawah kepemimpinan Lurah Pardiyono, kegiatan ini kemudian mulai diagendakan untuk diadakan setiap tahun. Menurut Supriyanto dengan menggelar Merti Dusun, masyarakat desa juga kembali menyadari hubungannya dengan Tuhan, dengan alam dan dengan sesama manusia. Kesadaran itu terejawantahkan dalam bentuk pengembangan pertanian organik atau pertanian yang selaras alam.
Lurah Pardiyono sendiri saat ini menyediakan lahan seluas 3,5 hektare untuk ditanami padi secara organik sebagai lahan percontohan. “Harapannya seluruh petani di Gilangharjo jadi petani organik, sehingga desa kami sentral organik, petani harus langsung action hasilnya jelas, cepat,” terang Supriyanto.

Menurut Supriyanto, tradisi yang sudah eksis sejak zaman Mataram Kuno dan kemudian Mataram Islam dan terus eksis hingga sekarang ini, masyarakat diajarkan untuk menghormati dan bersyukur kepada Tuhan atas kenikmatan yang diberikan. “Kemudian juga hormat dan bakti kepada guru, orang tua, dan leluhur. Kemudian, terkait hubungan dengan semesta, kita diajarkan untuk menjaga alam sekitar untuk diselamatkan, agar memproduksi hal baik dan tradisi ini diwariskan kepada anak cucu,” katanya.
Selain ungkapan rasa syukur atas karunia Tuhan, acara Merti Dusun juga dijadikan ajang silaturrahmi antar keluarga yang selama ini terpisah. “Biasanya kalau digelar acara Merti Dusun, keluarga yang tinggal berjauhan datang atau pulang ke dusun untuk merayakan bersama-sama, istilahnya ngumpulke balung pisah (mengumpulkan tulang–keluarga–yang terpisah),” ujar Supriyanto.
Masyarakat sendiri menyambut baik digalakkannya kembali upacara Merti Dusun ini. Mulyono, seorang petani penggerak pertanian organik di Krekah dan Gilangharjo mengatakan, upacara Merti Dusun adalah upaya petani mengingat sejarah jaman dulu. “Agar tradisi tak punah, dilakukan kembali seperti dulu,” ujarnya.
Tradisi ini, kata Mulyono, dilakukan setiap habis panen raya sebagai wujud rasa syukur para petani kepada Tuhan. “Dulu, budaya ini hampir punah, sekarang pesan-pesan leluhur untuk merawat pemberian Tuhan diterjemahkan kembali lewat Merti Dusun dan melalui pertanian organik yang ramah lingkungan,” ujarnya.
“Harapannya, ini sebagai cara membagi rezeki kami kepada alam, agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kami keberkahan, bagi petani ya mendapatkan hasil tanam yang baik, ketahanan pangan terwujud, dan dijauhkan dari penyakit, juga rezeki dilimpahkan,” tambah Mulyono.
Soal gelaran wayang kulit sebagai puncak acara, menurut Mulyono, wayang kulit digunakan sebagai media untuk tidak hanya sebagai tontonan juga mengandung tuntunan. “Agar warga bisa mengambil hikmah dari lakon yang dimainkan dalang, sehingga desa kami aman, tentram, lestari, terlebih warga sekarang bertani ramah lingkungan,” pungkasnya.
Anggota DPRD Bantul Heru Sudibyo menyambut baik terlaksananya kembali tradisi Merti Dusun di desa-desa di kawasan Kabupaten Bantul. “Merti Dusun itukan bagian bagian dari budaya kita, khususnya di Jawa, di Yogya, oleh karena itu kami dari DPRD Bantul, karena ini adalah kepentingan warga, ya harus kita respons,” ujarnya.
Nantinya, kata Heru, setiap tahun Merti Dusun akan digelar secara rutin. “Itu selalu kita dorong agar masyarakat bersama dengan warga yang lain melaksanakan kegiatan ini. Disamping itu, juga Yogya kan istimewa, jadi ini bagian dari kebudayaan Yogya,” tegasnya.
Ke depan, kata dia, Merti Dusun akan dikemas secara modern, seperti memadukan pertunjukan wayang dengan hiburan menampilkan bintang tamu yang berkolaborasi dengan dalang. Dengan demikian, diharapkan, kaum muda akan tertarik dan pagelaran wayang bisa menjadi medium edukasi bagi generasi muda. “Kita tidak melulu pada tradisi tetapi juga ada unsur edukasi kepada anak-anak agar mereka tau ini lho budaya kita,” terang Heru.
DPRD Bantul sendiri bekerjasa dengan Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul memasukkan Merti Dusun dalam program tahunan agar pihak pemerintah kabupaten bisa menyisihkan anggaran. “Porsi kita di DPRD bersama Bupati kita coba diskusikan, dalam perencanaan kita alokasikan dana melalui kabupaten dengan dinas pendidikan sebagai pengampu,” ujarnya.
Dana yang dianggarkan, kata Heru, mencapai Rp5-6 miliar per tahun. “Itu tidak hanya untuk kesenian wayang tetapi juga kesenian lainnya seperti ketoprak, jathilan, reog, angklung, juga untuk kerajinan seperti pembuatan gamelan, wayang. Dana diturunkan sesuai dengan usulan masyarakat dan kita sesuaikan usulan itu dengan dana yang tersedia,” pungkas Heru. (*)
Laporan: Tim Jurnalis Desa Gilangharjo