Neraka Buruh di Kebun Sawit (Bagian III)

Para buruh perempuan di PT Satu Sembilan Delapan (dok. sawit watch)
Para buruh perempuan di PT Satu Sembilan Delapan (dok. sawit watch)

Di bagian pertama dan kedua telah diceritakan bagaimana nasib para buruh perkebunan sawit yang menderita akibat diperlakukan sebagai budak oleh perusahaan. Buruh yang tak tahan menghadapi siksaan fisik dan batin akhirnya memilih satu dari dua jalan: melarikan diri atau melawan! Berikut adalah kisah perlawanan buruh terhadap para majikan mereka yang menindas.

Buruh Menderita, Buruh Melawan

Perempuan berjilbab itu terlihat lugas menceritakan persoalan yang dihadapinya. “Nama saya Ranti. Tidak pernah bersekolah formal tapi bisa baca dan berhitung. Hanya mengalami kesulitan kalau diminta menulis. Jangankan usia, tanggal lahir saja sendiri saja, saya tidak tahu…tapi setengah bayalah. Mungkin 50 tahun. Tapi rasanya lebih dari itu,” ujarnya.

Ibu tujuh anak dan nenek dari tujuh cucu ini tinggal di desa Gunung Sari, kecamatan Segah, Kabupaten Bulungan. Awalnya dia begitu bersemangat ketika PT Hutan Hijau Mas (perusahaan Malaysia) membangun kebun sawit di desa leluhurnya itu. Selain menjanjikan penduduk setempat menjadi petani plasma, PT HHM juga menawarkan pekerjaan di kebun sawit kepada penduduk lokal.

Ketika seorang mandor bertandang ke rumah Ranti menawarkan pekerjaan, secara sigap perempuan berjilbab ini langsung menyetujuinya. Dengan gaji dijanjikan sebesar Rp32.700 per hari dan lama bekerja 5 hari dalam seminggu, Ranti pun mulai mempersiapkan diri dengan membeli peralatan kerja seperti kaos tangan, sepatu bot,topi dan handuk. Sejak 2006 Ranti mulai bekerja jadi buruh harian lepas (Harian kerja sementara) di PT HHM.

Ranti bilang, dia melakukan banyak pekerjaan selama 3 tahun jadi buruh hari kerja sementara (HKS). Segala pekerjaan mulai dari mencangkul, merintis, menyemprot dan memupuk, dia lakukan. “Perusahaan hanya menyediakan alat penyemprot dan satu masker selama masa kerja tadi. Alat-alat kerja lain saya beli sendiri,” ujarnya.

Sama seperti buruh lainnya, Ranti juga diinapkan diinapkan di barak kayu. Satu barak disekat menjadi sepuluh kamar. Satu keluarga yang terdiri dari 3-4 orang tinggal di kamar berukuran 1,5 x 2 m. Bilik bagi yang belum menikah bisa dihuni sampai 5 orang. Apabila dihitung secara keseluruhan, satu barak itu bisa dihuni antara 40-50 jiwa. “Saya tinggal di barak bersama suami dan seorang anak saya,” kata Ranti.

Dari pekerjaan tersebut, Ranti bisa mendapat upah setiap bulannya rata-rata Rp500-600 ribu. “Hampir semua buruh juga mendapat upah yang sama. Jumlah sekecil itu mesti mampu mencukupi kebutuhan hidup dalam sebulan. Bagaimana tidak kecil, kalau dalam seminggu kami hanya bekerja 5 hari. Itupun tidak akan penuh karena kalau hari hujan, kami diliburkan. Tidak pernah mendapat lembur. Dalam sebulan hari kerja maksimal kami hanya 20 hari. Tapi itu juga jarang. Rata-rata hanya 17-18 hari kerja dalam sebulan,” ujarnya.

Selain persoalan hari kerja, Ranti kerap mendapati teman kerjanya mengalami kecelakaan kerja seperti patah tulang tangan dan kaki akibat bekerja di kebun sawit. Malangnya para buruh yang cedera itu mesti mengeluarkan uang sendiri untuk berobat. Melihat itu, Ranti merasa PT HHM melepaskan tanggung jawabnya untuk melindungi kesehatan para pekerjanya.

Secara perlahan Ranti menggalang solidaritas teman-teman kerjanya untuk menuntut tanggung jawab perusahaan. “Memang perusahaan segera memenuhi tuntutan kami. Dipojok barak dibuatkan pos kesehatan dengan mempekerjakan seorang mantri. Tapi anehnya siapapun yang berobat ke sana dengan pelbagai penyakit yang diidap, obat yang diberikan Mantri Bambang hanya itu-itu saja. Pak Mantri juga mesti melayani kesehatan penduduk desa-desa di dekat barak. Jadi butuh waktu untuk bisa menemui pak mantri,” ujarnya.

Suatu hari Ranti pernah melihat zonder (alat angkut mini) yang dipenuhi pupuk juga dijadikan alat angkut buruh. Akibat tak kuat menahan beban, zonder tadi terbalik dan seorang buruh meninggal akibat kecelakaan itu. “Tapi dimana tanggung jawab perusahaan? Saya tidak tahu,” ucapnya lirih.

Selain itu, Ranti juga pernah mendapati seorang sahabatnya bernama Acok, mengalami kecelakaan kerja dilindas mesin penyemprot air hingga kakinya patah. Setelah menjalani pengobatan dan diberikan santunan sebesar Rp6 juta, Acok dipecat dari pekerjaannya.

Organisasi buruh SBSI sempat ingin melakukan pembelaan terhadap hak-hak Acok yang tidak dibayarkan perusahaan selama ia bekerja dan mengalami kecelakaan hingga diPHK. Namun proses panjang yang membutuhkan banyak pengorbanan membuat Acok mengambil keputusan menerima pesangon dari perusahaan.

Buruh Memulai Perlawanan

Melihat buruknya kondisi buruh di perkebunan sawit milik PT HHM itu, Ranti memberanikan bertemu DPRD dan pemerintah kabupaten Berau. Ranti secara terbuka menuntut agar jaminan sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK) dan pengangangkatan buruh menjadi Harian Kerja Tetap (HKT).
Akibat pengaduan Ranti, pihak perusahaan mulai melakukan intimidasi terhadap dirinya. Tapi ada hal baik yang melegakan hatinya ketika bertemu Suyadi, ketua DPC SBSI kabupaten Berau. Bersama Suyadi, Ranti berjuang untuk memperbaiki kondisi buruh PT HHM.

“Permintaan kami sederhana, tolong tambahkan hari kerja kami dari 5 hari menjadi 6 hari. Selain itu, tolong juga daftarkan para buruh menjadi peserta jamsostek. Seperti janji awal perusahaan bahwa kehadirannya akan mensejahterakan penduduk. Tolong buktikanlah itu,” ujar Ranti.

Tuntutan buruh tadi semakin menguat ketika SBSI ikut melakukan pendampingan terhadap kelompok rentan perkebunan sawit ini. Ratusan orang buruh dari 3 anak perusahaan Malaysia tadi melakukan aksi unjuk rasa di kantor pusat perkebunan di Berau. Pihak perusahaan segera mengancam akan mem-PHK-kan buruh yang ikut dalam demo dan mogok kerja tersebut. Ancaman tadi membuat sebagian besar buruh kecut dan memilih kembali masuk barak untuk selanjutnya bekerja seperti biasa.

Namun Ranti yang didukung suaminya Ramli (45 tahun), beserta dua puluhan buruh lainnya tetap melakukan demo dan mogok kerja selama 10 hari. Melihat aksinya, pihak PT HHM segera mengeluarkan surat PHK terhadap Ranti dan suaminya Ramli, juga terhadap peserta aksi lainnya.
Mendapati dirinya di-PHK, Ranti dan kawan-kawan segera melakukan tuntutan hukum ke Pengadilan Hubungan Industrial di Berau. Mereka dinyatakan bersalah dan tidak berhak mendapat uang pesangon.

Selain itu, Ranti dan kawan-kawan juga mengadukan persoalannya ke dinas tenaga kerja Kabupaten berau. Mereka menuntut agar perusahaan membayar upah mogok mereka selama sepuluh hari dan memberikan pesangon apabila mereka memang di-PHK. Di depan dinas tenaga kerja dan pihak kepolisian yang hadir dalam pertemuan tersebut, pihak perusahaan menyepakati membayar upah kerja 10 hari sewaktu buruh melakukan demo.

Kriminalisasi Buruh

Kertas perjanjian di atas halaman folio tanpa tanda tangan saksi dan di atas kertas resmi itupun ditandatangi kedua belah pihak. Tak lama berselang Ranti beserta teman-temanya mendatangi kantor pusat perusahaan untuk menagih upah kerja tersebut. Tentang pesangon PHK, Ranti berucap: “Saya tidak akan menerima karena sedang banding atas putusan PHI Berau. Meski saya tahu ada satu-dua teman saya yang mau menerima pesangon yang besarnya tak lebih dari dua juta rupiah.”

Saat menuntut upah 10 hari, pintu gerbang perusahaan tidak dibukakan oleh satpam perusahaan. Berkali-kali para buruh meminta agar satpam mengijinkan mereka bertemu dengan pihak perusahaan. Namun satpam hanya menjawab tidak ada pimpinan yang hadir di kantor hari itu. Selain itu juga satpam juga beralasan tidak membawa kunci gerbang.

Karena merasa dipermainkan dan letih meyakinkan si satpam, tiba -tiba sebagian buruh mendobrak gerbang hingga roboh. Tak lama berselang, sepasukan polisi telah datang ke kantor pusat PT HHM untuk menangkap Ranti dan teman-temannya. Mereka digiring ke Polres Berau dan ditahan. Dalam surat penahanan, Ranti dikenai tuduhan Pasal 170 Ayat (1) b dan Pasal 406 KUHP.

Mendengar berita penangkapan Ranti, suaminya, Ramli Bin Saidop, segera bergegas menuju tempat kejadian perkara. Kemudian dengan setia mendampingi Ranti diperiksa di kantor polisi.

“Hari itu saya membayar cicilan motor di dealer. Mendengar istri ditangkap, saya langsung bergegas ke kantor pusat PT HHM. Waktu itu sebagian orang sudah dibawa polisi ke kantornya. Sebagai suami saya ikut juga ke kantor polisi. Saya masih sempat duduk menunggu Ranti diperiksa. Bahkan istri saya menyuruh saya pulang, tapi saya tidak tega. Entah kenapa, tiba-tiba polisi memanggil dan memeriksa saya. Apesnya saya kemudian dijadikan tersangka pengrusakan dan ditahan bersama Ranti,” ujar pria asal Sulawesi Selatan yang merantau ke Kalimantan timur sejak tahun 1990 itu.

Perlawan demi Hak dan Keadilan

Selama 17 hari, Ranti, Ramli, anak mereka dan 4 orang keponakan Ranti ditahan di mapolsek Segah. Pada 4 Juni 2009, kapolsek mengeluarkan surat penangguhan penahanan atas jaminan anak Ranti yang lain dan pengeluaran tahanan secara bersamaan. Bertujuh mereka pun segera dibebaskan dengan kewajiban melapor ke kantor polisi. Pihak kejaksanaan tetap melanjutkan kasus ini ke PN Berau. Hingga vonis dikeluarkan dan dinyatakan bersalah oleh PN Berau. Mereka bertujuh sepakat untuk menyatakan banding.

Hingga kini putusan pengadilan banding belum dikeluarkan. Namun untuk menyambung hidup, Ramli kini bekerja menjadi tukang bangunan dan Ranti sebagai pengantar-jemput anak sekolahan. “Ini semua kami lakukan demi menyambung hidup. Namun sejak tahun 2009, oleh paksuyadi saya diminta menjadi bendara SBSI Berau. Saya mau berjuang untuk kehidupan buruh yang lebih baik. Kehadiran Perusahaan sawit bukan mensejahterakan tapi malah membuat melarat. Perlawanan ini demi hak dan keadilan,” kata Ranti mantap. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.