Perdagangan Bebas, Privatisasi Benih dan Hilangnya Hak Petani
|
Bogor, Villagerspost.com – Indonesia for Global Justice (IGJ) bersama Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan BEM KM Institut Pertanian Bogor mendesak Pemerintah Indonesia agar tidak mengikatkan komitmen dalam perjanjian perdagangan bebas yang memberikan perlindungan varietas tanaman dan pertanian untuk sektor bisnis. Pasalnya, perjanjian perdagangan bebas akan berdampak serius bagi kedaulatan pangan dan petani di Indonesia,
Dari perjanjian perdagangan bebas yang sudah disepakati oleh Pemerintah Indonesia di tahun 2018, yakni Perjanjian Indonesia-EFTA, terdapat kewajiban harmonisasi aturan perlindungan varietas tanaman yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia agar sesuai dengan aturan Union Internationale Pour la Protection des Obtentions Vegetales (UPOV) 1991. Perjanjian tersebut adalah rejim internasional perlindungan hak Pertanian dan Varietas Tanaman yang dibuat oleh negara-negara maju, yang disusun untuk memenuhi kepentingan pertanian skala komersial.
Saat ini Indonesia sedang merundingkan bahwa perjanjian perdagangan bebas yang mengatur mengenai perlindungan varietas tanaman dan pertanian dibawah bab HaKI. Beberapa diantaranya adalah General Review Indonesia-Japan FTA, Indonesia-EU CEPA, RCEP, dan Indonesia-Korea CEPA.
Koordinator Advokasi Kedaulatan Pangan IGJ, Rahmat Maulana Sidik, menyatakan dalam ketentuan UPOV 91 mengharuskan pemerintah untuk melindungi pemilik paten selama 20 hingga 25 tahun mencakup benih, ekosistem, dan keanekaragaman hayati. “Jika demikian, maka pengetahuan dan pengalaman petani kecil akan diberangus. Perempuan petani yang pada umumnya bertanggung jawab atas benih akan kembali diekslusi seperti pada masa Revolusi Hijau. Ini sama saja dengan menghancurkan sumber penghidupan dan ruang hidupnya,” ungkap Maulana, di Bogor, Kamis (4/7).
Adopsi UPOV 1991 dalam perjanjian perdagangan bebas akan menghilangkan hak-hak petani untuk dapat berdaulat atas benih. Aturan UPOV1991 membatasi hak petani untuk menyimpan, mempertukarkan dan menanam kembali benih yang telah “dimiliki” perusahaan yang mendapatkan perlindungan UPOV atas kepemilikan benih tersebut. “Jika Indonesia mengadopsi aturan UPOV 1991 atau menjadi anggota UPOV hal ini akan berpotensi semakin menggerus keanekaragaman hayati pangan yang ada di negara ini,” papar Kartini Samon, Peneliti dari GRAIN.
“Petani akan semakin tergantung pada industri benih dan pengetahuan tradisional para petani dalam mengembangkan benih akan semakin hilang, bahkan dapat meningkatkan kriminalisasi terhadap petani pemulia benih,” ungkap Kartini lebih lanjut.
Lily Batara dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menegaskan, benih itu kecil secara fisik. Tetapi benih adalah sumber kehidupan. Siapa yang menguasai benih, menguasai kehidupan. Dalam benih akan ditemukan sesuatu yang besar. Tak mungkin negara ini bicara kedaulatan pangan tanpa adanya kedaulatan benih.
“Menyepakati FTA yang mewajibkan kita untuk meratifikasi UPOV ataupun mewajibkan penerapan standar perlindungan yang tinggi untuk kegiatan komersial berarti menegasikan program kedaulatan pangan di bawah pemerintahan Jokowi itu sendiri,” tegas Lily.
Perjanjian RCEP Menghilangkan Ketentuan Standard UPOV
Lutfiyah Hanim, Peneliti Senior IGJ menyampaikan dalam perundingan ke-26 RCEP di Melbourne, Australia, negara anggota perundingan telah sepakat untuk menghilangkan ketentuan mengenai perlindungan benih dan varietas tanaman dengan standar yang tinggi dengan mengacu pada UPOV Convention 1991.
“Kami menyambut baik kabar positif ini dari perundingan RCEP yang berlangsung sejak 28 juni-3 juli di Australia. Selama ini isu tersebut terus disuarakan penolakannya oleh kelompok masyarakat sipil di berbagai forum,” terang Lutfiyah.
Namun, Lutfiyah mengingatkan masih banyak perundingan yang dilakukan oleh Pemerintah yang harus terus dipastikan agar ketentuan tersebut dihilangkan dalam perjanjian perdagangan bebas. “Masih ada General Review Indonesia-Japan FTA yang sedang juga membahas revisi mengenai komitmen Indonesia soal UPOV, dan termasuk Indonesia-EU CEPA yang ikut mendorong aturan perlindungan dengan standar yang tinggi. Jadi kemenangan RCEP harus menjadi kemenangan yang terus digaungkan,” ungkapnya lagi.
Hak Atas Benih
Salah satu konsep kedaulatan pangan adalah petani berdaulat atas benihnya. Hal tersebut tertera dalam HAP atau Hak Asasi Petani yang pada tahun 2018 sudah di sahkan dalam konvensi PBB. Konvensi tersebut di galang La Via Campesina dengan perwakilan dari Indonesia yaitu Serikat Petani Indonesia yang merupakan coordinator La Via Campesina asia tenggara.
Selain itu wacana ratifikasi UPOV menjadi kekhawatiran yang luar biasa bagi para petani Indonesia. Hal tersebut di akui dengan perizinan penyebaran dan pemanfaatan benih di Indonesia sendiri sudah termasuk rigid serta hanya mampu dilakukan oleh segelintir orang. Sehingga apabila masuknya UPOV memberikan beban baru akan penguasaan benih bagi para petani kecil.
Selain itu wacana kriminalisasi bagi petani kecil untuk menyebarkan benihnya dikhawatirkan semakin menjadi jika dilakukan ratifikasi. Peran mahasiswa pertanian dalam menyikapi isu UPOV beragam dan keberpihakan akan petani kecil sudah seharusnya dilakukan.
Mar’ie Al Fauzan selaku Menteri Kebijakan Agrikompleks Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM IPB 2019 mengatakan, sudah seharusnya dalam pengambilan keputusan baik di ranah nasional maupun Internasional sepenuhnya mempertimbangkan aspek keberlangsungan dan kebermanfaatan bagi khalayak.
Dia menegaskan, petani kecil dalam aspek sosiologis selalu mengartikan benih sebagai bayi yang harus mereka rawat dengan baik sehingga mampu tumbuh dan memberikan penghidupan bagi petani. Kebijakan UPOV akan menjauhkan petani dari nilai-nilai budaya perbenihan sebagai aspek dalam kedaulatan pangan.
“Keberpihakan mahasiswa tentu kepada khalayak terutama petani kecil yang akan terdampak. Sehingga sudah sepatutnya kita menolak kebijakan UPOV,” tegasnya.
Editor: M. Agung Riyadi