Politik Agroekologi, Perang Tanding Petani Versus Korporasi

Diskusi tematik terkait politik agroekologi (dok. villagerspost.com/usi nuraprita)
Diskusi tematik terkait politik agroekologi (dok. villagerspost.com/usi nuraprita)

Bogor, Villagerspost.com – Sebagai sebuah pengetahuan, praktik dan gerakan, agroekologi tak bisa dilepaskan dari sejarah sebuah perlawanan. Agroekologi lahir dari gerakan sosial di Amerika Latin seperti di Brasil dimana rezim pangan dikuasai oleh korporasi pangan yang mencekik petani. Pada gilirannya, kepentingan korporasi yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa melahirkan kebijakan atau politik pangan yang yang hanya menguntungkan korporasi.

“Jadi mengapa agroekologi muncul adalah karena adanya rezim korporasi yang memberi pengaruh pada kekuasaan dan sistem pangan dan pertanian secara global. Tekanan rezimpangan yang berpihak pada korporasi ini yang memunculkan gerakan agroekologi,” kata peneliti dari Yayasan Nastari David Ardian, dalam diskusi tematik seminar “Agroekologi Nusantara” yang berlangsung di kampus IPB, Bogor, Selasa (29/11).

Di kancah perpolitikan nasional, seperti diungkapkan Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, lahirnya kebijakan pembangunan pertanian dimulai tahu 1960-an yang ditandai dengan revolusi hijau dengan tujuan peningkatkan produktivitas pertanian yang bertumpu pada input berupa pemberian pupuk, pestisida kimiawi, pembangunan infrastruktur dan mekanisasi pertanian. “Kebijakan ini belakangan menggeser paradigma pertanian dari agrikultur ke agribisnis yang melibatkan korporasi,” kata Said.

Kebijakan pertanian pemerintah pun kemudian lebih mengarah pada pemberian subsidi kepada korporasi dengan dalih subsidi pertanian. “Dari tahun 60-an, impor pestisida meningkat. Dari 2003-213 meningkat signifikan. Dalam kurun 10 tahun peningkatan impor pestisida meningkat luar biasa,” kata Said.

Level konsumsi pestisida di Indonesia, mulai tahun 1983 adalah 1,5 liter per musim dan tahun 2014 konsumsi pestisida meningkat jadi 11 liter per musim. Dari rezim ke rezim, pembangunan pertanian yang berbasis peningkatan produksi tidak berubah. Di era kepemimpinan Jokowi misalnya, kebijakan pertanian masih didominasi oleh optimalisasi budidaya dan peningkatan produksi, pembangunan infrastruktur pertanian, dan lain lain. “Ketiga rezim kebijakan tetap sama, menggunakan high input,” kata Said.

Kebijakan ini juga berdampak pada meningkatnya anggaran pertanian yang tetap tidak dinikmati petani. Di era Jokowi anggaran pertanian naik dari Rp16 triliun menjadi Rp32 triliun. Namun postur anggaran pertanian, 22% difokuskan pada prasarana dan sarana pertanian. Kelembagaan dan daya dukung pertanian pangan menjadi bagian yang kurang dimaksimalkan.

Upaya khusus padi, jagung, kedele (Upsus Pajale) misalnya, hampir sama dengan kebijakan rezim soeharto. “Dari subsidi pupuk 36 juta ton, hanya 1 juta ton yang dialokasikan untuk pupuk organik,” ujar Said.

Pada gilirannya, kebijakan ini menimbulkan berbagai masalah yang merugikan petani sehingga muncul wacana agroekologi sebagai tandingan pertanian konvensional yang didorong oleh kepentingan korporasi. Sebenarnya di era Soeharto tahun 80-an sempat muncul gagasan tentang Pengendalian Hama Terpadu yang menjadi basis agroekologi. “Tetapi, itupun dalam praktiknya tidak mampu mengatasi letupan hama, degradasi lahan, dan konversi lahan,” ujarnya.

Penyebabnya belum ada kerangka aturan yang utuh mengenai peraturan perundangan-undangan tentang agroekologi. “Maka, jika ingin mendorong agroekologi perlu penataan ulang kebijakan agroekologi, karena selama ini aturan terkait agroekologi masih terserak. Kerangka agroekologi perlu didorong dan dimainstreamkan terlebih dahulu,” tegas Said.

Hanya saja, Said mengingatkan, diskursus dan kebijakan agroekologi jangan sampai dibajak oleh korporasi. “Agroekologi menarik di tengah situasi saat ini, dia bisa menjadi jawaban tetapi juga bisa sama dengan nasib pertanian organik dan kedaulatan pangan yang isunya dibajak korporasi. Kebijakan tentang agroekologi tetapi substansi sebenarnya bukan untuk kedaulatan petani tetapi untuk korporasi,” ungkap Said.

Karena itu, untuk mengawal kebijakan agroekologi agar tak dibajak korporasi, dari diskusi tersebut muncul empat rekomendasi. Pertama, menegaskan agroekologi sebagai gerakan budaya yang dilakukan secara bersama-sama. Agroekologi berangkat dari situasi lokal yang berbeda-beda, tidak homogen dan ada keterkaitan antara sains, praktik dan gerakan sosial. Agroekologi memperkuat kepemimpinan petani dan petani pemimpin.

Kedua, agroekologi diletakkan dalam tata ruang dan perencanaan pembangunan. Ketiga, agroekologi mampu mengatasi persoalan yang nyata atas persoalan yang dihadapi petani. Keempat, agroekologi ditempatkan sebagai gerakan sosial baru, menggabungkan kekuatan praktik-praktik baik di petani, sains dan kebijakan. “Ciri agroekologi yaitu diversitas dan lokalitas,” tegas Said.

Ikuti informasi terkait agroekologi >> di sini <<

Laporan: Ulil Ahsan, Tim Jurnalis Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.