Proyek Food Estate Ancam Kelestarian Lingkungan
|
Bogor, Villagerspost.com – Selain isu kesejahteraan petani dan pangan berkelanjutan, proyek food estate yang digelar pemerintah di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur juga dikritik karena dinilai mengancam kelestarian lingkungan. Hal itu mengemuka dalam webinar tematik bertajuk: “Food Estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, Sekadar Proyek atau Bermanfaat secara Berkelanjutan bagi Petani?”, yang digelar Lembaga Keumatan Peduli Lingkungan, Rabu (3/3) lalu.
Salah satu contoh yang dikemukakan adalah terkait proyek food estate untuk komoditi singkong yang sedang berjalan di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Safrudin dari Save Our Borneo mengungkapkan, wilayah yang dibuka untuk proyek itu adalah kawasan berstatus Hutan Produksi (HP) dengan tutupan hutan masih bagus dengan potensi kayu yang besar.
“Ketika hutan ini dibuka, yang menjadi pertanyaan ke mana kayu-kayu yang memiliki nilai ekonomi ini akan dibawa? Siapa yang akan mendapatkan keuntungan ini?” ujarnya.
Permasalahan lain yang mengemuka terkait isu lingkungan ini, kata Safrudin, adalah proses pembukaan lahan yang sudah hampir 600 hektare ini dilakukan tanpa didahului dengan kajian lingkungan sebagai dasar. “Hingga saat ini publik bertanya-tanya bagaimana menyampaikan sejumlah persoalan atau pengaduan jika terjadi pelanggaran terkait program ini. Mekanisme seperti ini yang belum ada,” tambah Safrudin.
“Saya pribadi melihat kawasan hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian (Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan) hanya akal-akal licik penguasa dan pengusaha yang tidak bertanggungjawab untuk menguasai lahan dan kawasan khususnya di Kalimantan Tengah. Yang mana harusnya wilayah ini dilindungi untuk kepentingan bersama,” tegas Safrudin.
Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Eksekutif Yayasan Petrasa, Sumatera Utara Ridwan Samosir. “Kami melakukan kunjungan ke lokasi food estate di Desa Ria-ria, Kabupaten Humbang Hasundutan,” kata Ridwan.
Tim Yayasan Petrasa menemukan, di antara lahan food estate ternyata masuk ke lahan yang dikuasai perusahaan swasta besar. “Hasil pemetaan yang kami lakukan, kawasan food estate masuk ke dalam konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL),” ungkapnya.
Senada dengan itu, kata dia, program food estate yang akan diusulkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi juga masuk ke dalam konsesi PT Gruti. “Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa penggunaan lahan food estate masuk ke konsesi perusahaan besar? Ini patut dikritisi karena Sumatera Utara termasuk salah satu provinsi yang sangat rentan terjadinya konflik agraria,” ujar Ridwan.
Selain itu, kasus yang terjadi di Humbang Hasundutan, dari 1.000 hektare program food estate, 215 Ha di antaranya diserahkan pengelolaannya kepada petani, namun sisanya akan diserahkan kepada pihak ketiga (785 Ha). Ada 10 perusahaan yang akan kemudian melakukan pengolahan ini.
“Jadi, kalau selama ini sumber pangan kita berasal petani, maka dengan program food estate akan ada pergeseran aktor, penyedia pangan nasional mulai dialihkan kepada industri dan korporasi,” terang Ridwan.
Ketika program food estate berjalan, ujar Ridwan, maka perusahaan besar akan bersaing dengan petani lokal. Hal ini berpotensi menimbulkan kesenjangan antara petani lokal yang masih manual dengan korporasi yang memiliki infrastruktur dan sumber daya yang besar.
“Lalu, bagaimana dengan pasar? Bagaimana dengan petani lokal ketika mereka memasarkan produknya? Apakah hasil pertanian dari food estate tidak akan berdampak pada mereka? Pemerintah harus menjelaskan kepada publik khususnya kepada petani tentang akses pasar terhadap hasil produksi mereka. Pemerintah juga harus mempertimbangkan potensi perubahan dari petani mandiri menjadi buruh tani di masa depan,” papar Ridwan.
Terkait isu lingkungan, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Jimmy Sormin, M.A., mengatakan, program ini hanyalah sebuah kebohongan yang akan menciptakan kebohongan lain serta menciptakan dosa berulang dengan daya rusak yang semakin bertambah. “Berangkat pula dari kegagalan proyek nasional jauh sebelumnya di Kalimantan dan Papua,” tegasnya.
Menanggapi berbagai masukan itu, Tim Ahli KLHS Food Estate Kalimantan Tengah Muhammad Wahyu Agang mengatakan, pada dasarnya tim menjalankan proses KLHS Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan di Kalteng, sesuai dengan tahapannya berdasarkan kebijakan yang ada. “Tentunya dengan tidak meninggalkan proses partisipatif masyarakat,” kata Wahyu.
“Sejumlah fakta implementasi food estate di sejumlah daerah ini sangat bermanfaat bagi kami. Kami sangat terbantu dengan laporan dan data dari lapang karena dapat kami tuangkan dalam proses penyusunan KLHS. Harapannya proses deliberatif melalui KLHS ini dapat kita kawal bersama sehingga menjadi pembelajaran. Kegagalan masa lalu akan menjadi masukan bagi kita ke depan,” ujar Wahyu.
Senator DPD asal Kalteng Agustinus Teras Narang mengatakan, program food estate menjadi penting dan perlu untuk didukung, namun dengan catatan adanya prinsip keberlanjutan di dalamnya. Artinya program ini harus memenuhi aspek keselamatan ekologi, sosial budaya dan ekonomi masyarakat di lokasi pengembangannya.
“Selain itu, karena program ini melibatkan lintas kementerian, saya mencoba mendorong ada payung hukum yang jelas untuk mengatur semua pihak,” pungkasnya.
Editor: M. Agung Riyadi