RUU Omnibus Law Cilaka Mempercepat Alih Fungsi Tanah Pertanian di Indonesia

Warga Desa Olak-Olak menentang keberadaan perusahaan sawit PT Sintang Raya, yang dinilai menyerobot lahan mereka (dok. agra kalbar)

Jakarta, Villagerspost.com – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang tengah disusun pemerintah dan DPR malah bakal mempercepat terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Indonesia. “Ini mengkhawatirkan karena tanah pertanian dan jumlah petani akan semakin menyusut,” kata Sekjen KPA Dewi Kartika, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (21/2).

Dewi mengungkapkan, demi investasi non-pertanian RUU Cipta Kerja bermaksud melakukan perubahan terhadap UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian pangan untuk kepentingan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, tol, bandara, sarana pertambangan dan energi. “Kemudahan proses perizinan, seperti dihapusnya keharusan kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah akan mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian di Indonesia,” jelasnya.

Bisa dibayangkan tanpa RUU Cipta kerja saja, tercatat dalam 10 tahun (2003–2013) konversi tanah pertanian ke fungsi non-pertanian per menitnya mencapai 0,25 hektare dan 1 (satu) rumah tangga petani hilang–-terlempar ke sektor non-pertanian. Terjadi penyusutan lahan yang dikuasai petani dari 10,6 % menjadi 4,9 %, guremisasi mayoritas petani pun terjadi dimana 56 % petani Indonesia adalah petani gurem.

Menurut laporan Kementan, berdasarkan hasil kajian dan monitoring KPK terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), menyebutkan luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun non irigasi mengalami penurunan rata-rataseluas 650 ribu hektar per tahun.

“Jika laju cepat konversi tanah pertanian ini tidak dihentikan, bahkan difasilitasi RUU Cipta Kerja maka tanah pertanian masyarakat akan semakin menyusut, begitu pun jumlah petani pemilik tanah dan petani penggarap akan semakin berkurang jumlahnya akibat kehilangan alat produksinya yang utama yakni tanah. Mata pencaharian petani akan semakin tergerus,” papar Dewi.

Selain itu permasalahan lain yang ditemukan KPA terkait Omnibus Law Cilaka adalah, beleid tersebut memperkuat potensi kriminalisasi dan diskriminasi hak terhadap petani dan masyarakat adat Catahu KPA 2019 mencatat, sepanjang tahun 2019 saja terjadi 259 kasus penangkapan petani, masyarakat adat dan pejuang hak atas tanah.

“Jika diakumulasi selama lima tahun terakhir ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya,” papar Dewi.

Melalui RUU Cipta Kerja, ancaman kriminalisasi dan diskriminasi hak atas tanah bagi petani dan masyarakat adat semakin menguat, karena pemerintah hendak memperkuat Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Padahal, dua UU ini terbukti sudah banyak mengkriminalkan petani dan masyarakat adat yang berkonflik dengan kawasan hutan.

Misalnya perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, sengaja atau tidak sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perijinan dari pejabat yang berwenang dalam kawasan hutan dengan ancaman pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Atau denda sebesar Rp500 juta-Rp2,5 miliar.

“Pasal-pasal tersebut dapat dengan mudah digunakan untuk menjerat petani, masyarakat adat, dan masyarakat desa yang masih berkonflik dengan dengan perusahaan atau negara akibat penunjukan atau penetapan Kawasan hutan secara sepihak,” tegas Dewi.

Kemudian perubahan Pasal 15 UU Kehutanan, dalam Pasal 37 RUU Cipta Kerja soal kemudahan proses pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan hanya dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit. “Ini akan menambah daftar panjang desa-desa dan kampung yang ditetapkan begitu saja sebagai Kawasan hutan, tanpa partisipasi masyarakat, sementara masih ada 20 ribu lebih desa diklaim sebagai kawasan hutan,” jelas dewi.

Perubahan UU Kehutanan (Pasal 50 misalnya), berpotensi kuat mengkriminalkan masyarakat karena tuduhan merambah kawasan, melakukan penebangan pohon, memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan karena tidak memiliki hak atau persetujuan dari pejabat yang berwenang dan menggembalakan ternak di kawasan hutan.

Perubahan UU di atas dapat menimbulkan kontradiksi regulasi yang baru dengan putusan MK No. 35/2012, terkait putusan hutan adat bukan lagi hutan negara dan putusan MK No. 95/2014 dimana masyarakat di dalam hutan berhak menggarap tanah dan memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu UUPA 1960 pun menjamin hak dan akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan. RUU Cipta Kerja jika disahkan akan meningkatkan praktik-praktik kriminalisasi petani dan masyarakat adat di sektor agraria, utamanya kehutanan.

Dari berbagai persoalan yang ditemukan KPA terkait Omnibus Law Cilaka, KPA menyimpulkan, Omnibus Law Cilaka bertentangan dengan UUD 1945, UUPA 1960 dan TAP MPR IX/2001. KPA menilai, RUU Omnibus Law Cilaka hanya fokus pada kemudahan bagi perusahaan dan investor skala besar di seluruh sektor agraria (pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, properti dan infrastruktur), sehingga abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria yang telah dijamin Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

Lebih lanjut, RUU ini akan melahirkan kontradiksi baru dengan prinsip-prinsip mendasar dari Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). Sebab, sebagai terjemahan langsung dari Pasal 33 Ayat (3), UUPA mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun secara gotong royong.

“Sementara semangat Omnibus Law yang terpusat semata pada kepentingan investasi skala besar dapat menyingkirkan hak-hak atas tanah petani, masyarakat adat dan masyarakat miskin dari wilayah hidup mereka,” jelas Dewi.

Persoalan tumpang-tindih UU bukan masalah baru di Indonesia. Di bidang agraria dan SDA saja, sebenarnya sudah ada mandat sejak dulu berdasarkan TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menugaskan Presiden dan DPR untuk melakukan pengkajian ulang dan sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan pembaruan agraria (reforma agraria) dan pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Termasuk keadilan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pengelolaan sumber-sumber agraria. Belum juga dilaksanakan mandat TAP tersebut, pemerintahan saat ini malah berkehendak mendorong satu produk UU yang justru bertentangan dengan mandate sebagaimana digariskan TAP.

“Kami memandang RUU Cipta Kerja adalah kemunduran jauh dari political will pemerintah saat ini yang tengah berjanji menjalankan reforma agraria untuk keadilan dan kemakmuran rakyat kecil,” tegas Dewi.

Dengan pertimbangan tersebut, KPA menolak RUU Omnibus Law Cilaka yang saat ini tengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah karena menciptakan ketimpangan penguasaan tanah yang semakin tajam antara yang kaya dan miskin, antara petani dengan perusahaan perkebunan, dan tentu saja akan memperparah konflik agraria di Tanah Air. KPA juga mendukung perjuangan kaum buruh untuk melindungi hak-hak pekerja dari dampak RUU Cipta Kerja.

“Oleh sebab itu, kami mendesak Ketua DPR dan Presiden untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Cipta Kerja. Jangan sampai RUU Cipta Kerja justru menghilangkan mata pencaharian petani, masyarakat adat dan budaya agraris Indonesia,” ujar Dewi.

“Pembangunan nasional penting diperkuat secara gotong-royong dengan cara memajukan sentra-sentra perekonomian dan investasi berbasiskan kerakyatan demi kemakmuran bersama. Jalankan reforma agraria sejati dan selesaikan konflik-konflik agraria struktural di Tanah Air,” pungkasnya.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.