Tied at Sea: Mengungkap Neraka Buruh Migran di Kapal Perikanan Korea (Bagian III)
|
Jakarta, Villagerspost.com – Bagian terdahulu, telah dipaparkan, kasus-kasus kekerasan, kerja paksa dan eksploitasi pekerja migran di kapal perikanan Korea Selatan, terjadi sejak proses rekrutmen yang tidak transparan. Hal itu diperparah dengan kondisi pekerja yang rata-rata adalah mereka yang berpendidikan rendah, terjerat kemiskinan dan telah lama menganggur di daerah asalnya.
Kondisi ini semakin membuat buruk situasi karena para pekerja migran tak memiliki daya tawar apapu terhadap pihak agensi maupun pemilik kapal. Salah satu persoalan utama dalam kontrak yang tidak adil ini adalah, tidak adanya kejelasan terkait persoalan jam kerja. APIL menemukan, dalam undang-undang terkait pekerja laut di Korea Selatan memang tidak mengatur secara tegas soal batasan jam kerja.
Hal inilah yang menjadi celah terjadinya eksploitasi atas para pekerja migran di atas kapal, khususnya kapal yang beroperasi di laut lepas (DWF). Umumnya para pekerja migran yang diwawancara APIL, mengaku bekerja dalam rentang antara 18-20 jam sehari dan terkadang pada jam sibuk mencapai 22 jam sehari.
Neraka Jam Kerja di Atas Kapal
Jam kerja pada kapal yang beroperasi di lepas pantai dengan bobot di atas 20 ton pun juga sangat problematik. Laporan Komnas HAM Korea Selatan menyebutkan, bahwa 67 persen dari 167 responden, bekerja lebih dari 72 jam per pekan.
Lama waktu jam kerja yang harus dilaksanakan para pekerja migran memang bervariasi tergantung pada jenis kapal ikan di mana mereka bekerja. Namun laporan APIL mengungkapkan, kebanyakan para pekerja perikanan ini, bekerja selama 15 jam sehari. Beberapa pekerja migran yang diwawancara mengaku bekerja antara 20-21 jam sehari dan tidur tidak ebih dari 3-4 jam sehari.
Pekerja migran yang diwawancara, yang bekerja pada kapal ikan yang beroperasi di lepas pantai dengan bobot di bawah 20 ton mengatakan, jam kerja rata-rata mereka adalah 12 jam dan terkadang hingga 15 jam sehari. Namun sebagian pekerja lainnya memberikan kesaksian, pada situasi dimana cuaca tidak memungkinkan dilakukan aktivitas menangkap ikan, mereka dipaksa untuk bekerja di luar kewajiban seperti yang tertera pada kontrak, semisal bekerja di ladang milik pemilik kapal.
“Saya bekerja, antara 19-20 jam sehari. Saya minum 10 cangkir kopi setiap hari karena saya selalu erasa lelah dan kurang tidur. Seluruh badan saya sakit. Saya khawatir saya akan cacat secara fisik jika terus menerus bekerja seperti ini,” kata seorang buruh migran.
“Saya bekerja menangkap ikan sejak jam 3 dini hari hingga jam 7 malam, keluar dari kapal dan kemudian bekerja memperbaiki jaring dan peralatan hingga jam 11 malam sampai tengah malam. Saya hanya mendapat libur sehari setiap sepuluh hari kerja,” ujar pekerja migran lainnya.

“Kami umumnya bekerja 20-22 jam sehari. Kami mendapatkan jam tidur sebanyak enam jam sehari jika pekerjaan tak begitu sibuk, tetapi kondisi seperti itu sangat jarang terjadi, mungkin dari 30-40 hari kerja, hari-hari dimana kami dapat tidur selama enam jam, hanya sekitar lima hari atau enam hari saja,” kata pekerja migran lain.
Satu hal lagi yang menjadi perhatian atas nasib pekerja di atas kapal yang beroperasi di lepas pantai, adalah saat musim tak melaut (off season) yang bisa berlangsung selama satu hingga enam bulan. Selama off season ini, kebanyakan pekerja kapal ikan diliburkan tanpa digaji dan terpaksa bekerja di tempat pengolahan ikan untuk mendapatkan gaji bulanan.
Hanya beberapa pekerja migran yang beruntung saja mengaku mereka mendapatkan tiket pesawat untuk pulang dari pemilik kapal selama musim libur ini. Dan lebih sedikit lagi yang beruntung yang tetap mendapatkan gaji selama musim libur ini.
Gaji yang Rendah
Undang-undang Pekerja Laut Korea Selatan sebenarnya mengatur Kementerian Kelautan dan Perikanan Korea Selatan agar menetapkan gaji minimum per tahun bagi para pekerja kapal perikanan di negara itu. Pada tahun 2016, standar gaji minimum bagi pekerja kapal ikan Korea adalah sebesar US$1.437. Meski demikian, untuk gaji pekerja migran, ditentukan lewat proses yang berbeda.
Proses ini melibatkan kesepakatan pekerja-manajemen antara pemilik kapal dan Serikat Pekerja Kapal Perikanan Korea Selatan, yang keduanya memiliki konflik kepentingan terkait pekerja migran. Di masa lalu, gaji minimum bagi pekerja migran sangat rendah, tetapi saat ini ditetapkan sesuai dengan standar International Labour Organization–ILO (Organisasi Buruh Internasional di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa). Pada tahun 2016, standar ILO menetapkan gaji minimum pekerja migran adalah sebesar US$457 bagi pekerja dengan pengalaman di bawah tiga tahun dan US$614 bagi yang memiliki pengalaman di atas 3 tahun.
Meski demikian, standar ILO tersebut pun, dirasakan APIL masih terlalu rendah mengingat jam kerja yang sangat berat yang harus dijalani pekerja migran. Kebanyakan kapal ikan bahkan tidak mematuhi standar gaji minimum ILO tersebut. Beberapa pekerja migran menyatakan, mereka hanya menerima gaji sebesar US$250 per bulan. Lebih jauh, agen rekrutmen di Filipina dan di Indonesia diketahui masih mengenakan potongan untuk jasa manajemen sebesar US$5 dari gaji tersebut.
“Saya mendapatkan US$880 setiap bulan yang disimpan di rekening saya, ini saja sudah lebih rendah US$1.584, seperti yang dijanjikan dalam kontrak kerja. Tetapi dari jumlah itu pun masih dikurangi sebesar US$317 untuk agen rekrutmen di Korea setiap tahunnya, untuk selama tiga tahun. Gaji saya juga masih dipotong lagi sebesar US$220 untuk agen rekrutmen di Indonesia, selama empat kali, atau totalnya US$880. Agen rekrutmen, lagi-lagi mengambil uang saya sebesar US$880 tanpa sepengetahuan saya,” ujar seorang pekerja migran asal Indonesia.
Selain potongan gaji, para pekerja juga kerap tidak menerima gaji yang seharusnya mereka terima. Beberapa pekerja migran menyatakan, selama masa menangkap ikan, mereka tidak menerima gaji yang seharusnya mereka terima. Satu pekerja migran menyatakan, dia sudah tidak menerima gaji selama tiga bulan sementara pekerja migran lainnya mengatakan dia telah menunggu gajinya dibayarkan selama lima bulan.
Selain gaji tak dibayarkan, para pekerja migran juga mengeluh, ketika akhirnya dibayarkan, gaji mereka banyak yang dipotong tanpa sepengetahuan mereka untuk agen rekrutmen. Terjadinya transfer ilegal ini dimungkinkan karena dokumen seperti paspor dipegang oleh pemilik kapal atau agen rekrutmen, sesaat setelah mereka tiba di Korea Selatan, sehingga memungkinkan pihak agensi melakukan transfer secara otomatis tanpa persetujuan pekerja migran.
Kondisi Kehidupan yang Buruk di Atas Kapal
Jam kerja yang sangat menyiksa dan gaji minim hanyalah satu dari banyak masalah yang menyiksa para pekerja migran. Kehidupan mereka bekerja di atas kapal semakin buruk dengan kondisi kehidupan yang sangat tidak layak, salah satunya adalah kualitas makanan yang buruk. Beberapa pekerja migran yang bekerja di kapal ikan yang beroperasi di laut lepas mengaku, kualitas makanan yang disediakan bagi mereka buruk dan juga tidak mencukupi.
Dalam beberapa kasus, para pemilik kapal menyediakan makanan berupa makanan sisa yang tidak dihangatkan buat para pekerja migran. Untuk minuman, umumnya para pekerja migran mengaku mereka memang disediakan air bersih, namun beberapa mengaku mereka harus menyaring air laut atau mempergunakan ulang air tawar sisa yang tidak lagi bersih, untuk minum.
“Makanannya benar-benar buruk, menunya selalu nasi dengan satu potong ikan dan kimchi. Kadang-kadang mereka memberikan kami makanan sisa sehari sebelumnya, dan bahkan makanan itu tidak dihangatkan,” kata seorang pekerja migran asal Indonesia.
“Untuk 24 bulan, kami hanya makan ikan sisa umpan untuk makanan,” ujar seorang pekerja migran asal Vietnam.
Dalam hal pekerja migran di kapal ikan lepas pantai, umumnya mereka mengaku mendapatkan makanan yang lebih baik seperti air tawar yang selalu tersedia, dan juga mereka bisa menyiapkan sendiri perbekalan makanan mengingat waktu melaut mereka tidak begitu panjang. Namun ada juga ditemukan kasus pada kapal jenis ini, dimana pekerja migran mengaku mereka terpaksa mengabaikan kehalalan makanan yang mereka makan karena terpaksa.
Selain makanan yang buruk, juga diperparah kondisi keamanan kerja yang sangat tidak terjamin. Pada kapal yang beroperasi di laut lepas banyak pekerja migran yang mengalami cedera seperti jari terpotong oleh peralatan memancing, retak tulang, lebam akibat terjatuh akibat goyangan kapal yang dihempas ombak, dan hipotermia (suatu kondisi di mana mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin).
Saat mengalami cedera, mereka sangat jarang dibawa ke rumah sakit dan sangat jarang menerima pengobatan yang memadai. Dalam banyak kasus, kapten kapal enggan untuk berlayar kembali ke pelabuhan terdekat karena alasan biaya. Akibat jarak yang jauh dari daratan dan kesulitan komunikasi dengan orang-orang di kapal, bagai pihak otoritas atau keluarga juga sangat sulit untuk mengetahui apa pengobatan yang diterima oleh para pekerja migran yang mengalami cedera atau kecelakaan kerja.
Salah satu kasus yang ditemukan adalah, seorang pekerja migran asal Filipina yang meninggal di kapal akibat mengalami pericarditis (radang pada jaringan otot di sekitar jantung) yang tidak diobati selama lebih dari sebulan. Kondisi serupa juga terjadi di kapal ikan yang beroperasi di lepas pantai. Pelatihan keselamatan kerja, peralatan dan kewaspadaan sangat minim, sehingga para pekerja selalu berada dalam ancaman bahaya.

Banyak pekerja migran di kapal jenis ini yang terluka akibat terkena mata pancing (kail), peralatan pancing atau tali. Tidak seperti pekerja kapal ikan di kapal laut lepas, sangat mudah bagi pekerja di kapal ikan yang beroperasi di lepas pantai untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit karena akses yang lebih mudah. Tetapi, beberapa pemilik kapal menyembunyikan kecelakaan kerja ini dan memaksa pekerja kapal untuk pulang ke rumah untuk menjalani perawatan.
Tahun 2012 Komnas HAM Korea Selatan (NHRCK) melaporkan temuan bahwa 36 persen pekerja migran mengalami kecelakaan kerja, namun hanya 21 persen mendapatkan perawatan melalui asuransi kecelakaan kerja. Sebagai tambahan, NHRCK juga menemukan dari 44 persen pekerja migran yang mengalami sakit saat kerja, hanya sekitar 15 persen yang dilaporkan menjalani perawatan di rumah sakit. (bersambung)
Editor: M. Agung Riyadi