Tiga Tahun Sustainable Development Goals: Ketimpangan Masih Jadi Tantangan
|
Jakarta, Villagerspost.com – Menyambut tiga tahun pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan OXFAM di Indonesia, didukung oleh Uni Eropa mengadakan Seminar Nasional Masyarakat Sipil Indonesia untuk Sustainable Development Goals (SDGs). Seminar dengan tema Konsolidasi Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan dan Pencapaian SDGs di Indonesia itu, dilaksanakan di Jakarta, Kamis (20/9).
Dalam satu sesi dari seminar tersebut, INFID memaparkan hasil surveinya terkait persepsi warga terhadap ketimpangan sosial, yang merupakan salah satu tujuan dari SDGs yaitu untuk menurunkan jurang ketimpangan sosial. Sayangnya, hasil survei justru menggambarkan, selama tiga tahun implementasi SDGs, persepsi warga terhadap ketimpangan masih tinggi. Hal ini merupakan hasil survei yang dilakukan INFID pada 34 provinsi di mana hasilnya menyimpulkan, indeks ketimpangan meningkat dari 5,6 pada 2017 menjadi 6 pada 2018.
“Ini berarti warga menilai ada ketimpangan pada enam dari 10 ranah ketimpangan,” kata peneliti INFID Bagus Takwin, dalam pemaparannya.
Indeks ketimpangan sosial ini mengindikasikan berapa banyak ranah dari 10 ranah sumber ketimpangan yang dinilai timpang oleh seluruh responden. Rentang indeks adalah antara 1-10 dimana indeks 0 sama dengan tidaka ada ranah yang timpang, sementara indeks 10 menyatakan ada ketimpangan di seluruh ranah.
Ke-10 ranah sumber ketimpangan itu adalah: kesehatan, kesempatan mendapatkan pekerjaan, penghasilam, harta benda yang dimiliki, rumah/tempat tinggal, pendidikan, kesejahteraan keluarga,, hukum, keterlibatan dalam politik, dan lingkungan tempat tinggal.
Ketimpangan sosial sendiri di sini dimaknai sebagai ketidakmerataan distibusi sumber daya dalam masyarakat. “Ketimpangan sosial memberikan gambaran perbedaan antara rata-rata sumber daya yang diperoleh orang miskin dan kaya atau kelompok-kelompok dalam masyarakat,” kata Aten–panggilan akrab Bagus Takwin.
Untuk mengukur persepsi ketimpangan sosial ini, INFID secara khusus melakukan survei di tiga daerah tertinggal yaitu Kabupaten Dompu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Hasilnya, persepsi warga terhadap ketimpangan di dua kabupaten tertinggal yaitu di Kabupaten Dompu, dan Kabupaten TTS lebih tinggi dari angka nasional.
Vahkan warga memersepsi ada ketimpangan di 9 ranah dari 10 ranah di TTS (91%). Di Dompu, warga memersepsi ada ketimpangan di 8 ranah dari 10 ranah (89%) dan Pangkep memersepsi ada ketimpangan di 3 ranah dari 10 ranah (31%).
Menurut Aten, tiga sumber ketimpangan paling tinggi di tiga daerah tertinggal tersebut adalah penghasilan, kesempatan mendapatkan pekerjaan, dan harta benda yang dimiliki. “Warga di TTS juga menilai ketimpangan gender masih tinggi (79%), diikuti Dompu dengan 38% dan Kepulauan Pangkajene yang hanya 1% menilai ada ketimpangan gender,” papar Aten. Tingginya ketimpangan gender di TTS ini, menurut Aten salah satunya tergambar dari jumlah anggota DPRD perempuan yang hanya 2 orang dari total 40 orang anggota.
Siti Khoirun Ni’mah, Program Manajer INFID menambahkan, merujuk hasil survei INFID mengenai masih tingginya persepsi warga terhadap ketimpangan, dibutuhkan kerja bersama dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk mendorong penurunan ketimpangan. “Salah satunya dengan mencapai tujuan dan target SDGs. Mengatasi ketimpangan menjadi salah satu tujuan SDGs kesepuluh dari 17 Tujuan yaitu, menurunkan ketimpangan antar dan di dalam negara,” ujarnya.
SDGs menargetkan penurunan ketimpangan melalui pertumbuhan pendapatan 40 persen penduduk termiskin lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. “Juga dengan menghilangkan segala bentuk kebijakan, hukum maupun peraturan perundangan yang diskriminatif,” kata Ni’mah.
Kerja bersama mencapai SDGs tercermin di dalam bekerjanya tim pelaksana SDGs, bersamasama menyusun peta jalan pencapaian SDGs, tersedianya data terpilah beserta dukungan pembiayaan untuk pelaksanaan dan pencapaian SDGs, juga melibatkan seluruh kelompok kepentingan termasuk masyarakat yang terpinggirkan dan kelompok rentan.
Odi Shalahuddin, Anggota Dewan Pengurus INFID dan Direktur Yayasan SAMIN, yang empat tahun terakhir bekerja untuk anak yang dilacurkan di lima kota melihat faktor-faktor risiko anak terjebak dalam prostitusi karena adanya suplai dan permintaan. Faktor kunci mengapa mereka terjebak dalam prostitusi karena faktor kemiskinan.
Menurut Odi, anak-anak korban prostitusi terstigma dan tereksklusifkan sehingga makin terjebak dalam dunia yang penuh kekerasan dan eksploitasi. “Pada konstruksi sosial yang demikian, mengubah stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap kehidupan anak-anak yang dilacurkan menjadi syarat utama bagi upaya menyelamatkan kehidupan anak-anak di masa depan,” jelas Odi.
Menghapus segala bentuk dan praktik kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu target SDGs di Tujuan Kelima tentang pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.