Wawancara Aloysius Suratin, Deputy Country Director Oxfam: “Skill Saja Tidak Cukup, Harus Ada Perubahan Budaya!”

Deputy Country Director Oxfam Aloysius Suratin (Dok. Oxfam)
Deputy Country Director Oxfam Aloysius Suratin (Dok. Oxfam)

Jakarta, Villagerspost.com – Sejak bergulir tahun 2011 lalu, program Papua Enterprise Development (PDEP), khususnya program pengembangan kakao di Papua, yaitu di Kabupaten Jayapura, seharusnya sudah berakhir pada tahun 2014 kemarin. Seiring berakhirnya program itu, diharapkan, para petani kakao khususnya di Hamonggrang, Distrik Nimbokrang dan di Kwansu, Distrik kemtuk, sudah mampu menjalankan tata laksana budidaya kakao yang baik untuk meningkatkan produktivitas kakao.

Apa yang dilakukan Oxfam bersama mitranya termasuk pemerintah daerah Kabupaten Jayapura, khususnya Dinas Pertanian di dua desa itu, diharapkan juga bisa diterapkan di daerah lain. Hanya saja, menurut Deputy Country Director Oxfam Aloysius Suratin yang juga menjadi Supervisor program PDEP Papua, setelah dilakukan evaluasi, ternyata masih ada beberapa hal yang masih harus diperbaiki dari program tersebut agar hasilnya benar-benar maksimal.

Karena itu, Oxfam memutuskan untuk memperpanjang program tersebut hingga enam bulan ke depan. Apa saja yang akan dilaksanakan Oxfam pada masa perpanjangan enam bulan tersebut? Berikut penuturan Aloysius Suratin kepada Villagerspost.com yang menemuinya Minggu (2/2) lalu.

Sebenarnya bagaimana prospek dan hasil dari pelaksanan program PDEP untuk kakao di Jayapura ini?

Baik. Karena sudah ada peningkatan kapasitas, jaringan dengan penyuluh. Dengan itu, ketika Oxfam sudah tidak ada lagi di sana mereka tahu harus bertanya kemana ketika ada persoalan.

Namun mengapa program ini kemudian diperpanjang hingga enam bukan ke depan?

Program ini dimulai sejak tahun 2011 lalu dan seharusnya berakhir pada 2014, fokus kita saat itu adalah untuk meningkatkan kapasitas petani dalam memelihara kebun. Kita memberikan pengetahuan terkait teknik pengelolaan kebun. Itu merupakan hal yang mendasar bagaimana membersihkan kebun, melakukan peremajaan dengan teknik sambung samping, sambung pucuk, mengelola kelompok untuk bekerja secara terorganisir untuk kerja di kebun.

Target ini tercapai? Dan apa setelah itu?

Secara umum iya, tetapi ternyata setelah dievaluasi, kami sadari penguasaan skill dasar belum cukup. Di Papua kultur berkebun atau merawat kebun berbeda dengan di daerah lain. Curahan waktu untuk bekerja di kebun masih sangat minimal hanya dua kali dalam satu minggu. itupun hanya 2 jam mereka di kebun pergi secara berkelompok bergiliran.

Apa dampak kultur ini bagi produktivitas kakao?

Meskipun terampil tetapi jika curahan waktu kerja sedikit, maka skill tidak akan memperbaiki keadaan, produksi tetap tidak baik.

Mengapa mereka tidak antusias untuk bekerja di kebun, apakah tak ada rangsangan misalnya dari faktor harga atau ada faktor lain?

Ada hubungan budaya dengan faktor-faktor lain, akumulasi kondisi yang kurang mendukung, harga tidak terlalu baik, sehingga banyak hal yang harus mereka kerjakan karena tidak bisa menggantungkan hidup semata pada kakao. Jadi saling berhubungan, kapasitas petani masih kurang, harga rendah, mereka tak bisa menggantungkan hidup pada kakao dan harus bekerja lain di luar kebun kakao. Ini yang akan kita perbaiki, dari segi skill mereka belum bisa misalnya melakukan fermentasi biji, padahal harga biji kakao yang terfermentasi lebih baik. Jika dijual kering saja harganya bisa mencapai Rp17.000 per kilogram. Jika sudah terfermentasi bisa mencapai Rp22.000 per kilogram bahkan Rp25.000 per kilogram.

Terkait harga apakah juga karena ada posisi yang kurang adil dimana petani terpaksa menjual sesuai keinginan pengepul?

Memang dalam perdagangan kakao ada monopoli, petani tidak punya pilihan untuk menjual, untuk menjual biji pada perusahaan besar di sini hanya ada PT Purni Jaya. Jika tidak petani menjualnya ke pengepul-pengepul kecil di desa-desa yang kadang kala ketika petani terdesak secara ekonomi produk harus dilepas dengan harga murah. Terkadang masih hijau sudah dijual dan nanti saat masak, panen baru diambil. Petani hilang daya tawar.

Apa solusi atas permasalahan ini?

Faktor-faktor tadi harus dilihat secara proporsional. Kita lihat faktor utama adalah kegagalan panen yang masih besar, satu pohon misalnya, buah yang gagal dipanen masih mencapai 90 persen. Bayangkan dari satu pohon misalnya ada 100 buah yang bisa dipanen hanya 10 buah. Ini faktor dominan.

Kenapa itu bisa terjadi?

Karena ada faktor motivasi petani, seperti dikatakan tadi mereka ke kebun hanya 2 kali seminggu dan tiap kali hanya bekerja dua jam. Itu tidak mencukupi, sehingga lantai kebun kotor, tutupan atap kebun terlalu rapat sehingga matahari tidak masuk, ini yang menimbulkan banyaknya penyakit seperti busuk buah. Inilah fokus yang harus diperbaiki sehingga petani mau termotivasi pergi ke kebun setiap hari agar produksi dan kualitas buah meningkat.

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.