World Animal Protection Luncurkan The Pecking Order 2020, Pastikan Waralaba Restoran Cepat Saji Mengelola Kesejahteraan Ayam
|
Jakarta, Villagerspost.com – World Animal Protection meluncurkan The Pecking Order 2020. Tools ini adalah alat untuk melakukan pemeringkatan tahunan dari beberapa merek makanan cepat saji terbesar di dunia yang menyoroti komitmen publik dan melaporkan kemajuan dalam meningkatkan kesejahteraan ayam dalam rantai pasokan mereka.
Perusahaan-perusahaan tersebut adalah McDonald’s, Burger King (dimiliki oleh Restaurant Brands International), KFC (dimiliki oleh Yum!), Pizza Hut (dimiliki oleh Yum!), Subway (dimiliki oleh Doctor’s Associates Inc.), Starbucks, Domino’s dan Nando’s.
The Pecking Order 2020 memberikan peringkat bagaimana kinerja restoran cepat saji atas komitmen, ambisi, dan transparansi mereka mengenai kesejahteraan ayam dalam rantai pasokan global mereka, mengungkapkan beberapa temuan yang mengkhawatirkan. Standar kesejahteraan bagi banyak restoran cepat saji tersebut adalah “buruk” atau “sangat buruk”, yang berarti konsumen tanpa disadari mungkin membeli daging dari ayam yang mengalami penderitaan dan kekejaman yang tidak perlu.
Jonty Whittleton, Kepala Kampanye Global di World Animal Protection mengatakan, puluhan miliar burung tidak pernah mendapat kesempatan untuk melihat sinar matahari, atau tumbuh dengan kecepatan yang sehat atau berperilaku alami. Sebaliknya, hidup mereka seringkali dipenuhi dengan rasa sakit, ketakutan, dan stres. “Tidak ada alasan-perusahaan ikonik ini memiliki kekuatan untuk mengakhiri penderitaan yang mereka sebabkan demi keuntungan mereka sendiri,” ujarnya, dalam konferensi pers yang dilaksanakan secara daring pada Kamis (29/10) lalu.
Saat ini, diperkirakan 40 miliar ayam di seluruh dunia setiap tahun mengalami kekejaman yang signifikan di pabrik peternakan. Mereka diberi waktu sekitar 40 hari untuk hidup sampai mereka disembelih, ketika mereka masih bayi. Saat itu, mereka tinggal di gudang yang padat, tandus, dan gelap. Tumbuh dengan sedikit, jika ada, pertimbangan bagi mereka sebagai hewan yang hidup, bernapas, dan penuh rasa ingin tahu, mereka secara genetik dipilih untuk berkembang dengan cepat secara tidak wajar, yang memberikan tekanan besar pada jantung, paru-paru, dan kaki mereka.
Akibatnya, mereka sering menjalani seluruh hidup mereka dalam rasa sakit kronis, menderita ketimpangan, lesi kulit, dan bahkan gagal jantung. Perusahaan makanan yang terus menutup mata terhadap kekejaman ini semakin ditekan untuk mengubah cara mereka.
World Animal Protection mengungkapkan, standar kesejahteraan ayam di waralaba makanan cepat saji di Indonesia sangat rendah. Sebagian besar ayam yang disajikan di restoran ini dibesarkan di lingkungan yang sempit dan tandus tanpa sinar matahari, dan banyak yang akan menderita ketimpangan dan lesi kulit. Selain itu, sebagian besar perusahaan tidak menunjukkan ambisi apa pun untuk meningkatkan standar mereka.
Jonty memaparkan, di negara seperti Indonesia, ayam sangat dihargai, tapi hewan diperlakukan dengan sangat minim untuk kesejahteraannya. Perusahaan di Indonesia harus meniru komitmen yang kami lihat di Eropa dan Amerika Utara. “Konsumen menjadi semakin peduli tentang kesejahteraan hewan, dan kami akan terus berbicara untuk menekan perusahaan untuk membuat perubahan nyata yang melindungi hewan dan konsumen,” jelasnya.
Merek-merek besar –termasuk Burger King, Starbucks, dan Subway di Inggris dan Eropa– telah berkomitmen untuk mendukung model produksi ayam dengan kesejahteraan tinggi, meskipun hanya di pasar tertentu dan tidak ada di Indonesia. Model ini akan memperkenalkan cahaya alami, pengayaan, dan lebih banyak ruang, serta keturunan ayam yang mampu tumbuh dengan lebih alami.
Hasilnya adalah ayam dapat berperilaku lebih normal seperti seharusnya serta mampu menjalani hidup yang layak. Saat ini Burger King Indonesia juga telah mengikrarkan komitmennya pada ayam bebas kandang baterai. Perusahaan waralaba makanan cepat saji saat ini sudah mulai mengembangkan kebijakan kesejahteraan ayam, tetapi mereka tidak melangkah cukup jauh-cakupan geografis dan kontennya terbatas. Tidak jelas apakah komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan ayam diterjemahkan ke dalam tujuan dan target yang nyata.
Perusahaan merek yang sama memiliki kebijakan yang berbeda di setiap negara, termasuk di Indonesia. Konsumsi daging ayam di Indonesia menurut survey terakhir adalah 12,79 kg/kapita/tahun. Permintaan ayam broiler hingga Mei 2020 diperkirakan mencapai 1,45 juta ton, membuat permintaan ayam broiler di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan, sehingga menghasilkan lebih banyak lagi pabrik peternakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Karenanya, World Animal Protection akan mengikutsertakan Indonesia untuk The Pecking Order berikutnya yang akan dirilis pada 2021.
Manajer Kampanye Hewan Ternak untuk Indonesia Rully Prayoga, mengatakan, terkait kesejahteraan hewan, di Indonesia telah ada RUU No 18/2009 tentang Peternakan yang secara jelas menyebutkan kesejahteraan hewan ternak.
Beleid itu menyatakan kesejahteraan hewan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan fisik dan mental hewan berdasarkan tingkah laku hewan yang alami dan harus dilaksanakan dan ditegakkan oleh semua pihak. “RUU ini jelas menjunjung tinggi kesejahteraan hewan ternak dan tidak ada alasan untuk ketidaktahuan restoran cepat saji merek besar terhadap RUU ini,” jelasnya.
Hal ini, kata Rully, termasuk standar halal. Dia mengatakan, ada 5 kriteria kesejahteraan hewan, yang semuanya itu sebetulnya termasuk dalam adab terhadap hewan dalam Islam misalnya soal ruang gerak, sampai penyembelihan. “Hanya ada beberapa hal yang masih jadi diskusi terutama penggunaan stunning (alat listrik) untuk penjagalan. MUI memberikan fatwa membolehkan,” ujarnya.
Jonty Whittleton mengatakan, di Eropa dan AS memingsankan hewan ternak sebelum disembelih dengan alat sengat listrik telah menjadi standar kesejahteraan hewan, namun di beberapa negara Islam hal ini ditolak karena dinilai bertentangan dengan standar halal. “Hal ini memang merupakan pesoalan yang kompleks, sehingga memerlukan diskusi lebih jauh,” tegasnya.
Sementara itu, International Corporate Engagement Advisor World Animal Protection Rafel Servent mengatakan, kampanye ini memang hanya difokuskan pada perusahaan besar. “Karena akan membawa dampak yang besar,” ujarnya.
Namun bukan berarti kampanye ini juga mengabaikan peternak kecil. Dia mengatakan, dalam keseluruhan rantai pasok, peternak besar yang bekerjasama dengan peternak kecil diharuskan memberikan berbagai support seperti dukungan finansial. “Peternak besar yang bekerjasama dengan peternak skala kecil harus memberikan bantuannya,” jelasnya.
Rully menjelaskan, sosialisasi kesejahteraan hewan di Indonesia, berbasis riset. “Beberapa riset menunjukkan masyarakat kita peduli pada isu kesejahteraan hewan, juga peduli pada apa yang mereka makan,” tegasnya.
Dengan adanya standardisasi kesejahteraan hewan, Rully mengatakan, tidak hanya sekadar menjamin dilaksnakannya Undang-Undang terkait kesejahteraan hewan, dan tidak hanya bermanfaat untuk kesejahteraan hewan, tetapi juga untuk masyarakat. “Dengan memenuhi standar kesejahteraan hewan, dapat memenuhi standar ekspor dan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jangan dianggap standardisasi menyulitkan dan mengurangi kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.
Editor: M. Agung Riyadi