100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK, Nelayan Belum Menjadi Subjek Pembangunan

Nelayan Menolak Proyek Giant Sea Wall (Dok. KIARA)
Nelayan Menolak Proyek Giant Sea Wall (Dok. KIARA)

Jakarta, Villagerspost.com – Musyawarah Nasional II Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), 26 Januari 2015, di Jakarta, menghasilkan tiga rekomendasi kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk segera memperkuat strateginya dalam mensejahterakan nelayan. Ketua Umum KNTI yang baru saja terpilih Riza Damanik mengatakan, pihaknya memberikan apresiasi kepada pemerintah telah meletakkan agenda kemaritiman sebagai fokus 5 tahun ke depan.

Namun, Riza menyayangkan bilamana nelayan dan petambak ikan skala kecil belum dilibatkan dalam inisiasasi, implementasi, dan hingga pengawasan pembangunan kelautan. “Hal ini akan kontraproduktif. Partisipasi nelayan adalah kunci keberhasilan pengelolaan perikanan,” kata Riza kepada Villagerspost.com, Kamis (29/1).

KNTI mendukung pemerintah memberantas pencurian ikan, mencabut izin bongkar-muat ikan di tengah laut (transshipment), melarang penggunaan alat tangkap merusak, dan menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan dengan memilah dan memilih komoditas ikan yang boleh diperdagangkan. Namun, kebijakan ini harus diikuti dengan strategi komprehensif untuk memastikan nelayan dan pembudidaya ikan kecil tidak justru dirugikan.

“Pemerintah dapat intervensi pasar untuk memberikan disinsentif terhadap produk-produk perikanan yang ditangkap ataupun diperdagangkan dengan cara yang tidak adil dan merusak,” kata Riza.

KNTI meminta kepada pemerintah untuk memperkuat aktivitas perikanan budidaya dengan memastikan tidak terjadinya monopoli swasta dan asing dalam penyediaan faktor-faktor produksi, baik itu benur, pakan ikan dan udang.

KNTI juga menyerukan kepada seluruh organisasi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, untuk fokus memperkuat koperasi dan inovasi hilirisasi produk-produk perikanan guna mewujudkan kemandirian ekonomi dan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Sebelumnya KNTI juga mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak melibatkan nelayan dalam penyusunannya. Salah satunya adalah terkait transshipment. Riza mengatakan, transshipment bukanlah barang haram dalam aktivitas usaha perikanan tangkap.

“Tidak saja di negara lain, bahkan dalam Peraturan Menteri KKP tentang Usaha Perikanan Tangkap sekalipun aktivitas ini dimungkinkan dengan menyertakan definisi penangkapan ikan dalam satu kesatuan dengan aktivitas pengangkutan ikan. Maka melarang seluruh aktivitas transshipment menciptakan konflik di dalam kebijakan itu sendiri,” kata Riza.

Dia mengaku setuju dan mendukung pemerintah untuk memberantas transshipment ‘abal-abal’ yang merugikan negara, terutama untuk komoditas tuna. Namun perlu diingat, kepentingan mendasar dari transshipment adalah efektivitas dan efisiensi dalam penggunakan faktor-faktor produksi, utamanya Bahan Bakar Minyak. “Di sinilah tantangan pemerintah, memilah dan memilih, hingga menutup rapat praktik transshipment abal-abal tadi,” tambah Riza. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.