Abaikan Hak-Hak Rakyat, Pengesahan RUU Pertanahan Harus Ditunda

Aktivis dan petani menuntut penuntasan konflik agraria (dok. jatam.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat menunda pengesahan RUU Pertanahan karena dinilai substansi RUU Pertanahan semakin jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria dan keadilan ekologis bagi keberlangsungan hajat hidup rakyat Indonesia. Selain itu, proses perumusan RUU oleh Panja Pertanahan/Komisi II DPR, juga dinilai tidak terbuka.

“Kami meminta kepada Panja Pertanahan, Komisi II, termasuk fraksi-fraksi, partai politik dan pemerintah agar dalam proses perumusan dan pembahasan RUU Pertanahan ke depan harus melibatkan secara aktif dan sungguh-sungguh koalisi organisasi masyarakat sipil,” kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, di Jakarta, Minggu (14/7)

Dia menegaskan, masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik agrarian dan perampasan tanah, para pakar dan akademisi yang kompeten serta kredibel di bidang pertanahan serta seluruh sektor terkait, harus dilibatkan dalam penyusunan RUU ini. “Kami dari Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil memandang RUU Pertanahan yang ada saat ini belum lah layak untuk disahkan oleh DPR RI. Oleh karena itu, rencana pengesahannya harus ditunda,” tegas Dewi.

Penyusunan RUU Pertanahan ini sendiri sejatinya merupakan upaya untuk menterjemahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) yang merupakan UU pokok yang memerlukan undang-undang dan regulasi turunan. Pihak koalisi menilai, UU Pertanahan sebagai turunan dari UUPA 1960 ini seharusnya mewakili semangat dasar UUPA tersebut yaitu menghapus UU Agraria Kolonial Belanda, dan memastikan agar bumi, tanah, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diatur oleh Negara sebagai kekuasaan tertinggi rakyat sehingga penguasaannya, pemilikannya, penggunaannya dan pemeliharaannya ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Dengan begitu, maka prinsip-prinsip mendasar dan spirit UUPA 1960 hendaknya secara konsisten menjadi pijakan dalam merumuskan isi RUU Pertanahan,” papar Dewi.

Karena itu, kata dia, penggunaan tanah yang melampaui batas dan monopoli swasta tidak diperkenankan. “Keadilan sosial, kesejahteraan manusianya dan keberlanjutan sumber-sumber agraria menjadi prinsip utama,” ujarnya.

Begitu pula dengan TAP MPR NO. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaam Sumberdaya Alam, penting menjadi acuan mengingat masalah sektoralisme peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling kontradiktif telah kita sadari bersama.

“Akan tetapi, bila merujuk pada naskah RUU Pertanahan per 22 Juni 2019 hasil Rapat Panitia Kerja RUU Pertanahan DPR RI, kami menilai substansi RUU Pertanahan semakin jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria dan keadilan ekologis bagi keberlangsungan hajat hidup rakyat Indonesia,” ujar Dewi

Setidaknya, terdapat sejumlah masalah mendasar dalam RUU Pertanahan. Pertama, hak rakyat atas tanah dan wilayah hidup. “RUU Pertanahan belum menjamin sepenuhnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan masyarakat miskin di pedesaan serta perkotaan atas tanah dan keberlanjutan wilayah hidupnya,” kata M. Nurrudin, dari Aliansi Petani Indonesia (API).

Kedua, masalah Reforma Agraria dan redistribusi tanah kepada rakyat yang. Pihak koalisi menilai, RUU Pertanahan belum secara jelas dan konsisten hendak menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pengelolaan tanah serta sumber-sumber agraria lain yang timpang menjadi berkeadilan.

“Tidak ada rumusan tujuan reforma agraria untuk memperbaiki ketimpangan, menyelesaikan konflik agraria kronis dan mensejahterakan rakyat. Mengingat, petani Indonesia yang jumlahnya mencapai 11,5 juta KK, rata-rata gurem, kecil, miskin,” papar Nuruddin

Dia menjelaskan, dari tahun ke tahun semakin banyak jumlah petani gurem bahkan landless alias tak bertanah atau menjadi buruh tani). Sementara segelintir kelompok pengusaha sawit menguasai tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) dan Ijin lokasi seluas sekitar 14 juta hektare. “Segelintir orang, badan usaha, para elit menguasai tanah dan asset tanah begitu besar,” ujarnya.

Ketiga, persoalan penyelesaian konflik agraria (struktural). Pihak koalisi menilai, RUU Pertanahan tidak disusun untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik agraria struktural di seluruh sektor pertanahan. Dalam 11 tahun terakhir saja (2007-2018) telah terjadi 2.836 kejadian konflik agraria di wilayah perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir kelautan, pulau-pulau kecil dan akibat pembangunan infrastruktur seluas 7.572.431 hektar (KPA, 2018).

Ada puluhan ribu desa, kampung, pertanian dan kebun rakyat masih belum dikeluarkan dari konsesi-konsesi perusahaan. “Tidak ada satu pasal pun dalam RUU ini kehendak untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria tersebut. Pembentukan Pengadilan Pertanahan untuk sengketa pertanahan bukanlan jawabannya,”ujar Nuruddin.

Keempat, persoalan inkonsistensi dan kontradiksi. RUU Pertanahan juga mengandung banyak inkonsistensi dan kontradiksi antara konsideran dengan isi RUU, antara niatan menjalankan reforma agraria untuk menata ulang strukur agrarian menjadi berkeadilan dengan rumusan-rumusan baru terkait HGU, HGB, Hak Pengelolaan, dan Bank Tanah.

Kelima, hak-hak atas tanah. Proses perumusan dan masalah-masalah mendasar terkait hak atas tanah. RUU pertanahan perlu secara matang dan penuh kehati-hatian dalam merumuskan hak-hak atas tanah, baik itu hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, termasuk hak pengelolaan. Mengingat hak-hak yang selama ini diterbitkan, terutama hak dan ijin bagi perusahaan besar telah banyak mengakibatkan pelanggaran hak-hak warga, melahirkan ketimpangan struktur agraria, konflik agraria, kemiskinan hingga rusaknya lingkungan.

Keenam, masalah sektoralisme pertanahan. RUU Pertanahan belum menjawab masalah ego-sektoral pertanahan di Indonesia (hutan dan non-hutan). “RUU masih bias dan terbatas pada tanah dalam jurisdiksi Kementerian ATR/BPN RI, sementara masalah-masalah pertanahan bersifat lintas sektor; tanah di perkebunan, tanah di kehutanan, tanah di pertanian, di wilayah pesisir kelautan, pulau-pulau kecil, pedesaan dan perkotaan. Banyak tumpang tindih antar sektor,” kata Nurhidayati, dari Walhi.

Ketujuh, persoalan Bank Tanah. RUU mengatur kewenangan Bank Tanah secara berlebihan tanpa mempertimbangkan dampak dan tumpang tindih kewenangan antara Bank Tanah dan kementerian/lembaga. Beresiko terjadinya komoditisasi tanah secara absolut melalui Bank Tanah, yang akan memperparah ketimpangan dan konflik. “Sebaiknya rencana ini dicabut dari draf,” ujar Dewi Kartika.

Kedelapan, aarat kepentingan investasi dan bisnis. RUU ini kuat mengakomodasi kepentingan bisnis dan investasi perkebunan skala besar. “Monopoli swasta, perampasan tanah, penggusuran, termasuk impunitas bagi para pengusaha perkebunan skala besar banyak diatur dalam RUU Pertanahan. Ini tercermin kuat, melalui Hak Pengelolaan instansi pemerintah dan rencana Bank Tanah,” tambah Dewi.

Kesembilan, persoalan pengakuan wilayah adat. Rukka Sombolonggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, RUU Pertanahan tidak memiliki sensitivitas terhadap penyelesaian masalah agraria pada wilayah adat. RUU Pertanahan mengatur bahwa pengukuhan keberadaan hak ulayat dimulai dari usulan Pemerintah Daerah dan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalav negeri.

“Skema seperti ini sama sekali tidak menjawab persoalan yang ada selama ini, yaitu bahwa pengakuan hak ulayat sulit dilakukan karena sangat politis melalui tindakan-tindakan penetapan pemerintah bukan berdasarkan usulan masyarakat adat sendiri,” tegasnya.

Karena itu, pihak koalisi yang di antaranya juga terdiri dari lembaga seperti Solidaritas Perempuan, Rimbawan Muda Indonesia, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Sajogyo Institute, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, YLBHI dan Bina Desa menilai, RUU Pertanahan tidak akan menjawab masalah ketimpangan, konflik agraria, perampasan tanah, laju cepat konversi tanah pertanian, kerusakan ekologis akibat desakan investasi.

“RUU juga berpotensi menambah daftar panjang regulasi pertanahan dan UU sektoral lainnya yang saling tumpang tindih dan kontradiktif,” pungkas Dewi Kartika.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.