Ada Permainan Data, Impor Gula tak Terkendali

Petugas bea cukai mengamankan gula selundupan (dok. beacukai.go.id)
Petugas bea cukai mengamankan gula selundupan (dok. beacukai.go.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Ketiadaan data akurat soal produksi dan kebutuhan gula nasional ditengarai menjadi pangkal tak terkendalinya impor gula. Parahnya, impor gula berlebih ini kemudian merembes ke pasar-pasar dan merusak harga gula nasional sehingga merugikan para petani tebu. DPR pun meminta agar benang kusut masalah importasi gula ini diakhiri.

Anggota Komisi IV DPR Akmal Pasluddin, menyayangkan pemerintah selama ini membuat regulasi soal gula hanya berdasarkan kira-kira. Dia meminta, pemerintah ke depan harus mengetahui persis jumlah produksi dan kebutuhan gula nasional baik untuk rumah tangga maupun industri.

“Dari situ bisa diketahui berapa kekurangannya, sehingga setiap tindakan kebijakan yang dikeluarkan terarah dan tepat sasaran,” kata Akmal dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Selasa (4/10).

Akmal mengatakan, Badan Pusat Statistik hingga sekarang sudah bekerja dan beberapa Kementerian memiliki pusat penelitian dan pengembagan serta pusat data dan informasi (pusdatin) termasuk Kementerian Pertanian yang seharusnya mampu mensuplai data secara berkesinambungan. Dengan demikian tidak ada alasan bagi pemerintah mengelak tidak memiliki data.

Permainan data ini jika semakin liar, akan digunakan oknum tertentu untuk mengendalikan kuota impor bukan berdasar kebutuhan, melainkan untuk kepentingan mencari keuntungan. “Gejolak impor gula terjadi mulai tahun 1999 ketika krisis ekonomi memasuki tahun ke dua,” ujar Akmal.

Sebelum tahun 1998, impor gula masih dibawah 500 ribu ton. Lonjakan drastis kemudian terjadi di tahun 1999, dimana impor gula mencapai 2 juta ton. “Tingginya impor gula terus menerus berlanjut hingga tahun 2013 melonjak kembali hingga 3 juta ton,” paparnya.

Menurut Akmal, alasan pemerintah selama ini terus menerus meninggikan impor raw sugar adalah karena tingginya permintaan industri makanan dan minuman serta spesifikasi gula industri mensyaratkan pada kualitas yang tinggi yang belum mampu diproduksi dalam negeri. “Dengan alasan-alasan itu, impor gula menjadi sebuah keharusan dan wajar,” katanya.

Padahal kebutuhan gula untuk industri tidak ada hubungannya dengan kebutuhan impor. Hal ini terlihat dari data BPS yang menunjukkan bahwa sejak tahun 1985 hingga 2010, tiap unit output industri dalam negeri yang menghasilkan makanan dan minuman olahan menggunakan gula makin kecil.

“Silakan pemerintah melakukan audit kebutuhan gula nasional baik rumah tangga maupun industri, setelah itu kami meminta dengan segera pada Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian duduk bareng untuk menyelesaikan polemik importasi gula,” ujarnya.

Membuka Lapangan Kerja

Karena itu, kata Akmal, pemerintah harus menghentikan importasi gula yang berlebihan. Dia menghitung, pada jumlah importasi yang mencapai 3 juta ton, jika mampu diproduksi dalam negeri, maka akan mampu memberikan lapangan kerja baik on farm maupun off farm sebesar 3,1 juta orang. Sebab dengan asumsi produksi 5 ton gula per hektare, maka 3 juta ton gula setara luasan lahan 600 ribu hektare yang jumlahnya melebihi total luasan lahan tebu di Indonesia.

“Saya berharap, pemerintah dapat semakin bijak mengambil keputusan berkaitan dengan importasi gula ini. Kebijakan yang diambil bukan berdasarkan kemauan pemerintah dan para importir, namun lebih melihat pada kebutuhan konsumsi dalam negeri dan kemampuan produksi petani tebu,” pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan anggota Komisi VI DPR RI Nasril Bahar. Dia menilai Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak mampu memperbaiki permasalahan gula nasional.

Buktinya adalah persoalan impor gula yang terus menerus menjadi permasalahan dalam negeri. Menurutnya hal ini harus segera diakhiri, apalagi jumlah impor gula yang makin tinggi bisa mematikan industri gula dalam negeri. “Tidak ada niat sesungguhnya dari kaca mata saya untuk memperbaiki persoalan gula di republik ini,” tegas Nasril.

Nasril menegaskan, DPR tidak mengharapkan ada yang menkondisikan Indonesia menjadi negara importir gula. “Saya minta data importir, yang telah direkomendasikan atas raw sugar. Siapa saja, perusahaan mana saja, karena saya menangkap kehadiran pabrik-pabrik gula swasta yang sesungguhnya tidak mendapat fasilitas impor ini diberikan juga. Meminta data yang berhak melakukan impor ke Indonesia, apa dasar hukumnya,” paparnya.

Ke depan, pemerintah harus mengetahui persis berapa jumlah produksi gula nasional, berapa kebutuhan gula nasional, baik konsumsi rumah tangga maupun industri, dan berapa kekurangannya. Dengan begitu, setiap tindakan kebijakan yang dikeluarkan terarah dan tepat sasaran.

Permainan data ini jika semakin liar akan digunakan oknum tertentu untuk mengendalikan kuota impor bukan berdasar kebutuhan, tapi melainkan untuk kepentingan mencari keuntungan. “Kita minta konkret hasil survei, berapa kebutuhan nasional, dari tahun ke tahun sejak 2013 sampai 2016. Ini harus clear terhadap data base gula kita,” pungkas Nasril.

Ikuti informasi terkait impor gula >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.