Akal Bulus Pengusaha Pakan Ternak Minta Jatah Impor Jagung

Produk jagung hasil petani dalam negeri (bkpd. jabarprov.go.id)
Produk jagung hasil petani dalam negeri (bkpd. jabarprov.go.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Kementerian Pertanian membantah adanya kelangkaan pakan ternak seperti yang dikeluhkan Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT). Data Kementan menunjukkan, justru produksi jagung yang menjadi bahan dasar pakan ternak mengalami kenaikan.

Dalam konferensi pers di Kementan, Jakarta, Kamis (22/10), Direktur Pakan Ternak Kementan Nasrullah mengatakan, produksi jagung nasional, berdasarkan data badan Pusat Statistik melimpah mencapai 20,6 juta ton atau 1,6 juta ton lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 2014. Angka sebesar itu, kata dia, mampu memenuhi kebutuhan jagung untuk kebutuhan pakan ternak sebesar 14,86 juta ton.

Sisanya untuk konsumsi langsung sebesar 398.000 ton, kebutuhan benih sebesar 105.000 ton, serta kebutuhan lainnya sebesar 4 juta ton. Losses produksi jagung diperkirakan 1 juta ton. “Kalau ditotal semuanya maka kita masih ada surplus 174.000 ton,” kata Nasrullah.

Seperti diketahui, baru-baru ini, Menteri Pertanian Amran Sulaiman disurato GMPT yang mengeluhkan adanya kelangkaan pasokan jagung akibat pengendalian impor oleh Kementan sejak Agustus lalu. Namun menurut Nasrullah kelangkaan itu bisa jadi akibat ulah para pengusaha sendiri.

Pasalnya, Kementan mendapatkan laporan dari Pusat Informasi Pasar (Pinsar) bahwa pasokan jagung masih normal. Namun pasokan itu habis diborong pengusaha pakan ternak. “Ketum Pinsar menyebutkan pabrik pakan memborong jagung petani karena takut tidak mendapat pasokan. Ini kan kontradiktif,” kata Nasrullah.

Soal adanya kesulitan memperoleh jagung lokal, kata Nasrullah, itu lebih disebabkan karena sentra-sentra jagung lokal yang berada jauh dari industri pakan ternak. Inilah yang kerap dijadikan alasan pengusaha melakukan impor jagung.

Nasrullah meminta agar para pengusaha pakan mengusahakan mencari jagung dari petani ketimbang mengimpor sebagai bentuk dukungan pada cita-cita swasembada pangan. Dia menilai selama ini, para pelaku usaha pakan ternak tak serius mendukung program swasembada pangan.

“Pelaku bisnis belum terlalu serius menyerap produksi rakyat. Kalau serius, harusnya 3 bulan (puncak panen) itu titik terendah impor, bukan malah tertinggi. Kalau Agustus ketika mulai musim kering wajar impor meningkat,” ujarnya.

Buktinya, meski produksi jagung meningkat, mereka juga tetap melakukan impor. Misalnya, produksi jagung pada bulan Februari-April mencapai 3 juta ton atau sekitar seperenam produksi setahun. Namun, impor jagung pada periode tersebut mencapai 943 ribu ton atau sekitar sepertiga kebutuhan impor per tahun.

Ini, kata dia mengherankan karena saat produksi meningkat, impor juga mencapai puncak tertingginya. “Di saat yang sama puncak masuknya impor juga tertinggi, 328 ribu ton di Februari, 305 ribu ton di Maret dan pada April 310 ribu ton,” ungkap Nasrullah.

Akibatnya harga jagung di tingkat petani anjlok dan petani pun banyak yang rugi. Harga jagung petani jatuh sampai hanya Rp1.500/kg pada Februari-April lalu, padahal harga idealnya Rp2.700/kg.

“Dalam tiga bulan lalu harga jagung petani kita sangat rendah, hanya Rp1.500 per kg. Kalau produksi ada 1 juta ton saja sudah berapa kerugian petani?” ujarnya.

Jika kondisi ini tak diperbaiki, kata dia, dikhawatirkan petani tak akan mau menanam jagung lagi. Jika itu terjadi, maka cita-cita swasembada pangan khususnya jagung tidak akan tercapai dan lagi-lagi Indonesia akan tergantung pada impor.

Karena itulah kemudian Kementan memutuskan untuk melakukan pengendalian impor. “Kita mempersilakan impor jagung berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Kalau impor berdasarkan kebutuhan tidak segini,” kata Nasrullah. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.