Aktivis dan Petani Ditahan, Represi Ala Orde Baru Hidup Lagi

Aktivis dan petani menuntut penuntasan konflik agraria (dok. jatam.org)
Aktivis dan petani menuntut penuntasan konflik agraria (dok. jatam.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menyesalkan terjadinya penahanan atas Koordinator KPA Wilayah Jawa Timur Ubed Anom pada Sabtu (28/5) kemarin. Ubed ditahan bersama dua peyani yaitu Sugiyo dan Sularno yang tengah mengikuti pelatihan Pelatihan Reforma Agraria dan Pemetaan Partisipatif Anggota KPA se-Jawa Tengah dan Yogyakarta.

“Nampaknya represi ala Orde Baru telah dihidupkan kembali oleh rezim ini. Kebebasan telah dihilangkan,” kata Iwan dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (30/5).

(Baca juga: Kasus Gusti Gelombang, Pertanyaan Besar Soal Pola Kemitraan Sawit)

Dia menerangkan, pelatihan itu sendiri sebenarnya sudah berlangsung sejak Senin (23/5) lalu dan berlangsung lancar. Namun pada Sabtu (28/5) mendadak polisi dari Polsek Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah mendatangi acara itu dan membubarkannya lalu kemudian menahan Ubed dan kedua petani peserta pelatihan.

“Mereka bertiga dijemput paksa. Alat pelatihan seperti GPS, sepeda motor dan alat tulis dan kertas plano juga turut dibawa oleh Polsek Sambirejo,” kata Iwan.

Polisi beralasan, penahanan aktivis KPA dan kedua petani itu, adalah karena mereka mengadakan pelatihan tanpa surat pemberitahuan ke kepolisian setempat. Mereka juga dituding melakukan pemetaan tanpa surat resmi dari kejaksaan. Polisi kemudian bertindak membubarkan pelatihan berlangsung di rumah seorang warga yang menjadi anggota serikat tani Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS) itu, atas laporan dari PTPB IX Sambirejo.

Terkait hal ini, Iwan mengatakan, lokasi pelatihan merupakan basis FPKKS, yang merupakan area konflik agraria seluas 425 hektare. Konflik terjadi antara warga di 8 (delapan) desa di Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah dengan pihak PTPN IX Sambirejo. “Konflik ini sudah berlangsung sejak tahun 1965,” terangnya.

Terkait status tanah konflik itu, sebenarnya, pada 4 Januari tahun 1964 Kepala Inspeksi Agraria Daerah Jawa Tengah (KINAD) telah mengeluarkan surat dengan SK No.2971X1172/DC/64 dan 3891z/173/72/DC164. Kedua surat itu menjadi bukti sah bagi warga untuk mengelola tanah tersebut.

Namun kemudian tragediĀ  1965 terjadi yang mengakibatkan banyak warga terusir dari lahan garapan mereka. Masyarakat yang menolak pengusiran kemudian banyak mengalami teror, rumahnya dibakar serta dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Tanah-tanah di wilayah itu kemudian diklaim ulang oleh para petani sejak 1998 lalu.

Delapan desa yang terlibat konflik meliputi; Sukorejo, Jambeyan, Sambi, Dawung, Sambirejo, Kadipiro, Musuk dan Jetis. “Hingga saat ini konflik tanah di Sambirejo belum menemui titik terang penyelesaian yang adil bagi warga,” kata Iwan Nurdin.

Ikuti informasi terkait konflik agraria >> di sini <<

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.