Ambisi Selesaikan Banyak Perjanjian Perdagangan Bebas Tahun Ini, Pemerintah Dinilai Ceroboh

Koalisi masyarakat sipil menentang klausul di perjanjian perdagangan bebas Asia-Pasifik yang sangat memanjakan investor dan mengancam kesejahteraan masyarakat (dok. indonesia for global justice)

Jakarta, Villagerspost.com – Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai, langkah pemerintah untuk menyelesaikan berbagai perjanjian perdagangan bebas dalam tahun ini sebagai sebuah langkah ambisius dan ceroboh. Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti mengatakan, pemerintah saat ini hanya sekadar mengejar target kuantitas tanpa mempertimbangkan kualitas bagaimana Indonesia, khususnya rakyat, akan diuntungkan dari berbagai kerjasama ekonomi tersebut.

Rachmi mengingatkan, pemerintah tidak perlu terlalu ambisius menyelesaikan beberapa perundingan perjanjian perdagangan bebas dalam tahun ini atau tahun depan. Hal ini karena ada banyak yang harus dipertimbangkan dampak luasnya oleh Indonesia mengingat perjanjian perdagangan bebas tidak hanya bicara soal ekspor dan impor.

“Mindset pemerintah sangat sempit melihat kerjasama perdagangan, yaitu hanya ekspor dan impor. Kalau pemerintah hanya mengejar target meningkatkan nilai ekspor dalam waktu dekat, caranya bukan dengan menandatangani banyak FTA. Tetapi selesaikan lah pekerjaan rumah yang masih menghambat daya saing Indonesia,” tegas Rachmi, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (16/11).

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo mendesak agar Regional Comprehensive Partnership Agreement (RCEP) segera diselesaikan perundingannya pada saat kehadirannya dalam KTT ASEAN di Singapura minggu ini. Bahkan, secara ambisius, di sepanjang tahun 2018 ini banyak sekali perjanjian perdagangan yang didesak penyelesaiannya oleh Pemerintah, seperti Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-Europe FTA (IEFTA), dan RCEP sendiri.

Belum lagi terkait dengan pengambil-alihan ratifikasi 6 (enam) perjanjian perdagangan dari DPR ke pemerintah sehingga ratifikasi dapat dilakukan tanpa perlu persetujuan dari DPR. Enam perjanjian itu adalah, Perjanjian Perdagangan Jasa di bawah ASEAN-India FTA (AITISA), Protokol Ketiga untuk Mengubah, dan Perjanjian Perdagangan Barang di bawah ASEAN-Korea FTA (AKFTA).

Kemudian ada pula Protokol untuk Mengubah Perjanjian Kerangka Kerja di bawah ASEAN-China FTA (ACFTA), Perjanjian ASEAN tentang Pedoman Perangkat Medis (AMDD), Protokol untuk Menerapkan Perjanjian Kerangka Kerja ASEAN ke-9 tentang Layanan (AFAS-9), dan Protokol untuk Mengubah PTA Indonesia-Pakistan (IP-PTA).

Menurut Rachmi, penyelesaian perundingan FTA tahun ini belum tentu memberikan dampak langsung terhadap kinerja perdagangan Indonesia. Bahkan tidak ada jaminannya setelah perjanjian itu entry into force dapat segera dinikmati secara positif oleh Indonesia. Bisa jadi, kata dia, hasil dari pengikatan komitmen pembukaan pasar domestik malah akan semakin meningkatkan potensi defisit bagi neraca perdagangan Indonesia akibat isi perjanjian yang sangat ambisius dari kedua pihak dalam perjanjian.

“Apa jaminannya ekspor kita akan meningkat karena FTA? Apakah pemerintah punya perhitungan yang presisi soal dampak dari FTA baik dari sisi ekonomi ataupun sosial? Di dalam RCEP saja, Indonesia terus mengalami defisit sejak 2015,” ujar Rachmi. (lihat lampiran tabel 1)

Menurut catatan IGJ, rata-rata pemanfaatan FTA1 oleh Indonesia dalam mendorong kinerja ekspor Indonesia masih sangat rendah yakni hanya sebesar 30% sampai 35%. Hal ini dikarenakan persoalan daya saing Indonesia yang sangat rendah.

Bahkan IGJ mencatat, ada 3 hal yang menjadi penyebab rendahnya daya saing Indonesia. Pertama, ekspor Indonesia masih mengandalkan ekspor bahan mentah dan komoditas yang tidak memiliki nilai tambah. Kedua, produk komoditas unggulan Indonesia masih didominasi dengan produk rendah teknologi. Ketiga, trade creation pada liberalisasi perdagangan terus menciptakan ketergantungan yang tinggi pada produk impor. (Lihat lampiran tabel 2-4)

“Kita masih punya banyak kendala dalam menyelesaikan persoalan daya saing nasional. Perlu ada keseriusan dari Pemerintah Indonesia dalam menyusun strategi jangka panjang dalam rangka memperkuat fundamental ekonomi Indonesia melalui agenda Industrialisasi nasional dan substitusi impor,” jelasnya.

Menurut Rachmi perjanjian FTA akan berlaku tanpa batas waktu, tetapi aturannya telah mengunci negara saat itu juga tanpa ada ruang untuk dapat melakukan penyesuaian aturan berdasarkan kondisi di masa yang akan datang. “Ratifikasi terhadap perjanjian perdagangan bebas harus dilakukan secara hati-hati. Harus dihitung dampak jangka panjangnya. Sekali kita ratifikasi, maka kita harus mengharmonisasi seluruh regulasi nasional dan sulit sekali menarik diri ataupun meminta negosiasi ulang tanpa resiko politik dan ekonomi,” tambahnya.

Rachmi menjelaskan, di dalam isi perjanjian FTA tidak hanya sekadar merundingkan akses pasar, tetapi pemerintah juga merundingkan “rules” yang berisi mengenai prinsip-prinsip atau aturan hukum mengenai bagaimana negara menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan perjanjian. Bahkan “rules” juga dianggap berpotensi menimbulkan dampak sosial dan HAM serta bertentangan dengan konstitusi.

Misalnya, soal prinsip transparansi, non-diskriminasi, regulation coherence (harmonisasi hukum nasional), apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan negara dalam membuat aturan sehingga tidak mendistorsi perdagangan, mekanisme penyelesaian sengketa, ratchet mechanism, standstill, larangan performance requirement, termasuk rules yang berkaitan dengan bab perjanjian terkait perdagangan lainnya seperti perlindungan HAKI dan investasi asing.

“Terkadang, pembuat kebijakan, tidak hanya pemerintah tetapi juga DPR, tidak mengerti mengenai ‘rules’ yang disusun di dalam perjanjian. Karena bagian ‘rules’ inilah yang memiliki dampak sosial lebih luas bahkan potensi dampak terhadap kedaulatan negara. Terkadang, isi perjanjian FTA ini dapat menghilangkan tanggung jawab negara dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya pemenuhan atas hak ekonomi, sosial, dan budaya. The Devil is in details,” terang Rachmi.

Untuk diketahui, ketentuan ‘standstill’ mengandung makna bahwa negara-negara anggota perjanjian–dalam jangkauan semaksimal mungkin konsisten dengan regulasi domestik–tidak akan mengambil kebijakan atau mengeluarkan peraturan yang tidak konsisten dengan isi perjanjian.

Sedangkan ‘ratchet mechanism’ mengandung makna bahwa setelah berlaku efektifnya perjanjian liberalisasi unilateral/mandiri/otonom yang terakhir secara otomatis diikat sebagai titik terendah pembatasan liberalisasi negara yang bersangkutan. Dengan demikian negara yang bersangkutan tidak diperbolehkan mundur kembali ke pembatasan liberalisasi sebelumnya.

Oleh karena potensi dampaknya yang diklaim akan sangat luas, tidak hanya ekonomi tetapi juga akan terjadi dampak terhadap sosial dan hak asasi manusia, Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak pemerintah bahkan DPR untuk melakukan analisis dampak FTA sebelum dilakukan ratifikasi perjanjian.

Beberapa perjanjian yang sudah selesai dibahas tahun 2018 seperti Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-Europe FTA (IEFTA), dan Indonesia-Singapura Bilateral Investment Treaty. “Sebelum ratifikasi, perlu kiranya DPR dan pemerintah melakukan analisis dampak FTA yang sudah selesai dirundingkan. Ini untuk menghitung secara presisi dampak apa yang memang betul-betul akan dirasakan oleh Indonesia ke depan,” pungkas Rachmi.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.