Ancam Karst Hingga Pulau-Pulau Kecil, AMUK BAHARI Tolak Perda Zonasi Kaltim
|
Jakarta, Villagerspost.com – Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan (AMUK) Bahari menyampaikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Kalimantan Timur. Perda zonasi tersebut dinilai akan mengancam kelestarian alam Kalimantan Timur mulai dari gugusan karst hingga kawasan pulau-pulau kecil di provinsi tersebut.
“Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Timur juga wajib ditolak karena dirumuskan bukan untuk kepentingan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan sebaliknya Ranperda ini melayani kepentingan investasi pertambangan migas dan batu bara, reklamasi untuk properti dan terminal khusus eksploitasi industri kayu dan perkebunan skala luas,” kata Koordinator JATAM, sekaligus sekaligus anggota juru bicara Amuk Bahari Merah Johansyah, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Minggu (24/11).
AMUK Bahari mencatat, dokumen rancangan Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Timur disusun untuk mengakomodasi kepentingan investasi. Di dalam dokumen tersebut dicatat sejumlah proyek. Pertama, reklamasi seluas 752,180 ha. Proyek reklamasi berada di dalam zona jasa/perdagangan untuk pembangunan coastal road di pesisir Balikpapan dengan luas sekitar 528,91 ha, lalu reklamasi Kilang Minyak Kecamatan Bontang Selatan Kota Bontang seluas 41,72 ha dan 181,55 hektare.
Kedua, proyek pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi pertambangan minyak dan gas bumi seluas 46 ribu ha. Ketiga, zona pelabuhan yang berkaitan dengan keberadaan terminal khusus dan aktivitas pelayanan untuk kegiatan industri pertambangan migas dan batu bara serta industri perkebunan. Terminal khusus yang tersebar di sepanjang pesisir ini juga menyasar kawasan cagar alam Teluk Apar dengan luas sekitar 3.372 ha dan Teluk Adang di Kabupaten Passer dengan luas sekitar 19 ribuan ha, juga wilayah ekosistem penting Teluk Balikpapan dengan luas sekitar 46 ribu ha.
Keempat, kawasan bentang alam karst pesisir Kaltim juga tak luput dari ancaman industri tambang. Ekosistem Karst yang menjadi sumber bagi pasokan air tawar masyarakat pesisir di kawasan utara Provinsi Kaltim kedepannya akan mendapatkan gangguan besar dengan telah terkaplingnya 65 ribuan hektare untuk izin tambang di atas kawasan karst pesisir Kaltim.
“Kawasan ekosistem karst yang harusnya mendapatkan perlindungan adalah kawasan ekosistem karst yang membentang dari Sangkulirang-Mangkalihat,” tegas Johan. Kawasan tersebut masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Berau dan Kutai Timur yang memiliki garis pantai dengan panjang 1,125 km. Di sana terdapat bentang ekosistem kawasan karst di kawasan Sangkulirang-Mangkalihat dengan 1,9 juta hektare dari total 3,3 juta yang berada dikawasan pesisir (P3EK, 2016).
Kelima, ancaman ini tidak hanya di daratan pesisir tapi juga di perairan sepanjang utara Kaltim hingga menyusuri wilayah selatan. Dari 3,7 juta ha luas perairan Kaltim (12 mil laut), sebanyak 1,3 juta telah dikapling penambangan minyak dan gas. “Ironisnya dari luasan tersebut sebanyak 719 ribu ha menyerobot wilayah tangkapan nelayan tradisional Kaltim,” terang Johan.
“Apakah RZWP3K menjawab dan mengkoreksi persoalan ini? Jika tidak maka sebaiknya pembahasan ini mesti dibatalkan dan ditolak,” tegas Merah Johansyah.
Pada saat yang sama, kawasan permukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 25,22 ha saja. Tak hanya itu, meski luasan kawasan perikanan tangkap dialokasikan seluas 2,6 juta ha, namun keberadaan kawasan tangkap tersebut berada jauh dari jangkauan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil.
Dengan demikian, nelayan akan kesulitan karena harus bersaing dengan kapal-kapal besar pengangkut batu bara. “Ini merupakan bentuk ketidakadilan yang akan dilanggengkan oleh Perda Zonasi Kalimantan Timur,” tegas Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, sekaligus anggota juru bicara Amuk Bahari.
Tak hanya itu, Rancangan Perda Zonasi Kalimantan juga tidak membahas kawasan darat atau kecamatan pesisir sebagaimana dimandatkan oleh Peraturan Menteri KP No. 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Dampaknya, keberadaan ekosistem mangrove primer sebagaimana terdapat di kawasan Teluk Balikpapan akan terancam hilang karena ekspansi industri serta pengembangan untuk kawasan Ibu Kota baru,” kata Susan.
“Dalam konteks pengelolaan hutan mangrove, KIARA mendesak pemerintah untuk menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai area konservasi berbasis masyarakat yang berwawasan berkelanjutan,” tambah Susan.
AMUK Bahari menilai, seluruh proses dan penyusunan RZWP3K Kalimantan Timur ini jelas mengabdi dan melayani kepentingan investasi pertambangan migas, mineral dan batubara bahkan reklamasi untuk bisnis properti. “Perda Zona Kaltim jelas bukan untuk melindungi kepentingan masyarakat rakyat serta ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,” pungkas Susan.
Editor: M. Agung Riyadi