Ancam Rakyat Kecil, Pemerintah Didesak Keluar Dari Perjanjian RCEP
|
Jakarta, Villagerspost.com – Sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak menandatangani Regional Comprehensive Economic Partnership atau Perjanjian RCEP. Alasannya, mekanisme sengketa investasi yang diatur di dalamnya hanya akan melindungi kepentingan investor ketimbang kepentingan rakyat kecil.
“Untuk itu, perlindungan hak rakyat akan semakin diabaikan oleh negara,” ujar Ketua Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) Herman Abdulrohman, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Jumat (2/8).
Apalagi, kata Herman, prioritas Presiden Jokowi dalam Visi Indonesia lima tahun mendatang difokuskan pada peningkatan investasi asing untuk pembangunan infrastruktur dan industrialisasi.
Hal ini setidaknya terlihat dari agenda legislasi nasional yang kejar tayang mengesahkan beberapa rancangan undang-undang yang berpihak pada kepentingan investasi, seperti RUU Minerba, RUU Air, RUU Pertanahan, dan lainnya.
Dia memamaparkan, selama ini, banyak sekali pelanggaran hak rakyat yang dilakukan oleh Negara hanya untuk memfasilitasi dan melindungi investasi yang masuk ke Indonesia. Bahkan, penegakan hukum lebih tajam ke bawah ketimbang ke atas.
“Saat ini, Pemerintah Indonesia mendorong revisi UU Ketenagakerjaan untuk menjamin investasi. Tentu revisi ini akan lebih kental dengan kepentingan investor dari pada perlindungan hak buruh. Bagaimana nasib buruh ke depan, jika keberpihakan negara tidak kepada rakyat?” tegas Herman Abdulrohman.
Koordinator Program Solidaritas Perempuan Arieska Kurniawaty mengatakan, mekanisme sengketa investasi dalam RCEP dikenal dengan istilah Mekanisme ISDS (Investor-State Dispute Settlement), juga sangat mengancam hak rakyat kecil dan memanjakan investor. Dengan adanya mekanisme ISDS, negara bisa digugat oleh investor asing ke lembaga arbitrase internasional.
Gugatan ini dilakukan oleh investor jika dianggap kebijakan nasional yang dikeluarkan pemerintah merugikannya. Oleh karena itu, agar tidak digugat, Pemerintah Indonesia akan membuat kebijakan nasional yang pro terhadap investor ketimbang pro terhadap rakyat.
“Pemerintah Indonesia sesat pikir dengan memberikan jaminan perlindungan investasi asing akan linier dengan peningkatan investasi asing,” ujar Rieska.
Padahal Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan/OECD menyatakan tidak ada bukti yang jelas menunjukkan fakta tersebut. Justru ketakutan akan digugat oleh investor asing menjadikan Pemerintah Indonesia mengabaikan tanggung jawabnya untuk melindungi hak rakyat.
Hal ini terlihat setidaknya pada kasus privatisasi air di Jakarta, di mana Pemerintah enggan memutus kontrak karena ketakutan akan digugat oleh pihak swasta. “Akibatnya perempuan di Jakarta terus menderita karena harus membayar air dengan mahal dan kualitas buruk,” tegasnya.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menegaskan, perlindungan investasi dalam RCEP akan mengilangkan perlindungan hak rakyat dari kesewenangan investor. Fakta dari agenda pembangunan infrastruktur telah memunculkan banyak kasus perampasan lahan dan kriminalisasi petani, nelayan, dan masyarakat adat yang dilakukan oleh Negara.
“Pembangunan infrastruktur untuk pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional atau KSPN terbukti merampas kehidupan masyarakat pesisir,” ungkapnya.
“Lebih dari 45 ribu nelayan di kawasan pesisir Lombok Tengah dan Lombok Timur akan terampas akibat proyek kawasan pariwisata Mandalika, yang didukung penuh oleh Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB),” tambahnya.
Editor: M. Agung Riyadi