Anggaran Responsif Gender Bagi Perempuan Nelayan Masih Minim

Perempuan nelayan. Penganggaran progresif gender untuk perempuan nelayan masih minim (dok. rembang.org)
Perempuan nelayan. Penganggaran responsif gender untuk perempuan nelayan masih minim (dok. rembang.org)

Jakarta, Villagerspost.com – Tanggal 8 Maret dirayakan sebagai Hari Perempuan Internasional oleh masyarakat dunia, tidak terkecuali perempuan nelayan yang tersebar di 10.666 desa pesisir di Indonesia. Apalagi pasca disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam pada 15 Maret 2016.

Pasal 45 UU Perlindungan Nelayan menyebutkan: “Kegiatan pemberdayaan harus memperhatikan keterlibatan dan peran perempuan dalam rumah tangga nelayan, rumah tangga pembudidaya ikan, dan rumah tangga petambak garam“. Pasal ini mempertegas kewajiban negara untuk meningkatkan keterlibatan dan peran perempuan nelayan di dalam usaha perikanan dan usaha pergaraman skala kecil lebih baik.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, terbitnya UU Perlindungan Nelayan merupakan langkah maju dalam upaya pembelaan hak-hak konstitusional perempuan nelayan di sektor perikanan dan pergaraman skala kecil. “Agar keberadaan UU tersebut memberi manfaat luas kepada perempuan nelayan di rumah tangga nelayan, rumah tangga pembudidaya ikan, dan rumah tangga petambak garam, maka kinerja bidang kemaritiman harus disertai dengan alokasi anggaran yang diorientasikan untuk mengatasi adanya perbedaan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan bagi perempuan nelayan,” kata Halim dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Rabu (8/3).

Seperti diketahui, kinerja kemaritiman pemerintah terbagi ke pelbagai bidang, yakni (1) kelautan dan perikanan; (2) pariwisata dan ekonomi kreatif; (3) energi dan sumber daya mineral; dan (4) perhubungan. Di tingkat nasional, program pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional dilembagakan melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000. Mandat utamanya adalah mempercepat pengarus-utamaan gender melalui perencanaan dan penganggaran responsif gender (PPRG).

Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mencatat, kebijakan PPRG belum dijalankan secara sistematis dalam rangka mengatasi adanya perbedaan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan bagi perempuan nelayan di sektor perikanan dan pergaraman skala kecil. “Kami masih menemukan adanya program kerja pemerintah untuk perempuan nelayan yang dijalankan secara sporadis. Hal ini disebabkan oleh minusnya data mengenai sebaran dan keterlibatan perempuan nelayan di sektor perikanan dan pergaraman skala kecil yang bisa dijadikan sebagai acuan kinerja pembangunan kemaritiman nasional,” tambah Halim.

Pada tahun 2016, misalnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri No. 28 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Program/Kegiatan Responsif Gender Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Agustus 2016. Meski terbilang lambat, mestinya aturan ini menjadi acuan perencanaan dan penganggaran responsif gender. “Sayangnya, kinerja kelautan dan perikanan yang dilakukan masih belum sistematis,” tegas Halim.

Di dalam Peraturan Menteri No. 28 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Program/Kegiatan Responsif Gender Kementerian Kelautan dan Perikanan, sasaran dari pelaksanaan PPRG sudah dijelaskan dengan baik, yakni: Pertama, meningkatnya efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pelaksanaan program/kegiatan serta anggaran pembangunan kelautan dan perikanan yang responsif gender di semua jenjang pelaksanaan.

Kedua, meningkatnya koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan program/kegiatan dan anggaran antara pusat dan daerah khususnya untuk program/kegiatan dan anggaran yang responsif gender. Ketiga, tepat dan terukurnya output dan outcome yang dihasilkan sesuai sasaran pelaksanaan program/kegiatan serta anggaran pembangunan kelautan dan perikanan yang responsif gender yang telah ditetapkan.

“Untuk itu, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mendesak kepada pemerintah pusat untuk memprioritaskan kinerja PPRG di kementerian/lembaga negara yang bekerja di bidang kemaritiman dan pemerintah daerah melalui pendataan sebaran dan peran perempuan nelayan yang dimanifestasikan ke dalam rencana kerja dan alokasi anggaran responsif gender agar kesejahteraan mereka tercapai,” pungkas Halim. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.