Anggota DPR Ungkap Upaya Menghapus UU Kehutanan
|
Jakarta, Villagerspost.com – Dualisme dalam pengelolaan lahan dalam UU Agraria dan UU Kehutanan selama ini terus menimbulkan kontroversi. Selama ini khusus kawasan hutan, rejim yang berlaku adalah rejim UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dimana kewenangannya berada di tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sementar, untuk lahan di luar areal kehutaan di bawah rejim Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Terkait hal ini, anggota Komisi IV DPR Darori Wonodipuro mengingatkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) akan adanya indikasi atau rencana beberapa pihak yang ingin menghapus UU Kehutanan. Penghapusan itu akan membuat kewenangan pengaturan lahan ada di bawah rejim UU Agraria yang pelaksanaanya adalah Badan Pertanaha Nasional.
“Saya ingin mengatakan sesuatu yang cukup krusial. Nampaknya ada keinginan dari pemerintah maupun DPR untuk menghapus Undang-Undang Kehutanan. Kewenangan kemudian akan diambil alih dalam Undang-Undang Pokok Agraria,” ungkap Darori dalam Rapat Kerja dengan Menteri LHK Siti Nurbaya, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (18/9).
Darori mengaku, dalam pembahasan ini, pihaknya dan pihak Kementerian LHK memang tak dilibatkan, sehingga dikhawatirkan, rencana itu bisa berjalan mulus. “Saya yakin teman-teman di Kehutanan akan keberatan terhadap hal ini. Namun karena kami tidak dilibatkan dalam pembahasannya, maka kami khawatir hal tersebut akan kebobolan,” ujar Darori.
Politikus Partai Gerindra ini menilai, ada usaha pemerintah yang ingin mengurangi kawasan hutan, tinggal 70 persen atau sekitar 30 juta hektare akan dikeluarkan dari kawasan hutan. Hal itu sudah terbukti dari adanya beberapa pertemuan di daerah-daerah, Kalimantan Timur misalnya.
“Mereka itu tidak mengerti manfaat hutan apa. Mereka hanya melihat secara ekonomi. Mereka melihat penelantaran saja. Di sini saya katakan pemerintah sekarang tidak perhatian pada hutan. Buktinya tidak ada anggaran yang cukup dialokasikan untuk hutan Indonesia. Pemerintah Korea Selatan saja yang hutannya habis dijajah oleh Jepang, namun dalam kurun waktu 10 tahun membiayai penuh hutan, sehingga menjadi hijau kembali,” paparnya.
Menurutnya, hal itu terjadi karena Pemerintah Korsel perhatian kepada hutan dan tahu manfaat hutan. Sehingga membiayai hutannya agar kembali hijau. Ia menilai, hal ini tidak terjadi pada Pemerintah Indonesia. “Anggaran sedikit dibanding dengan jumlah hutan yang sangat banyak dan besar, sehingga KLHK terlihat tidak bekerja,” ujar Darori.
Untuk itu, Darori berharap agar masukan-masukan tersebut dapat ditindaklanjuti oleh KLHK. “Ini semata untuk mewarisi hutan Indonesia yang lebih baik lagi bagi generasi penerus bangsa,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi menilai Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan sudah tidak sesuai dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan. Yoga mengatakan, dalam perkembangannya, banyak permasalahan dalam pengimplementasian Undang-Undang tersebut, seperti berkurangnya luas hutan, alih fungsi kawasan hutan, kebakaran hutan, perubahan hutan dan konflik dengan masyarakat hukum adat.
Selain itu Undang-Undang kehutanan itu juga ada dis harmonis dengan Undang-Undang lainnya. Serta adanya beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang perlu disesuaikan dengan keberlakuan UU Kehutanan ke depan.
“Segala permasalahan, perkembangan dan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan kebutuhan tersebut harus direspons dan diakomodasi dalam bentuk Peraturan Perundangan Kehutanan yang lebih komprehensif dan mampu menjawab kebutuhan penyelenggaraan kehutanan. Oleh karena itu, Komisi IV DPR RI bersama pemerintah telah menyepakati revisi RUU Kehutanan tersebut untuk masuk dalam program legislasi nasional periode Tahun 2018-2019 pada Nomor Urut 66 dari 169 RUU Prolegnas yang ada,” ujar Viva beberapa waktu lalu.
Politikus PAN ini menjelaskan, hutan sebagai salah satu sumber daya alam dalam pengelolaannya harus sejalan dengan sesuai konstitusi. Artinya penyelenggaraan kehutanan harus mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, keadilan, dan berkelanjutan.
“Oleh karena itu pengelolaan hutan perlu dilakukan atas azas manfaat, lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, keadilan dengan dilandasi oleh akhlak mulia dan bertanggung jawab,” tegasnya.
Menurut Yoga, penguasaan hutan oleh negara bukan suatu kepemilikan. “Tetapi negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Ia berharap revisi Undang-Undang Kehutanan kelak dapat mengakomodir seluruh azas tersebut dan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat luas,” ujarnya.
Editor: M. Agung Riyadi