Bahaya Liberalisasi Pasar Tanah, Tolak Rancangan Undang-Undang Pertanahan

Jakarta, Villagerspost.com – Kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari para akademisi, aktivis agraria dan lembaga advokasi agraria menentang pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan karena dinilai mengandung muatan liberasiliasi pasar tanah. Kelompok yang terdiri di antaranya dari pakar agraria Prof. Gunawan Wiradi (IPB), Achmad Sodiki (UNIBRAW)Ida Nurlinda (UNPAD), Laksmi Adriani Savitri (UGM),
Muhammad Maksum Mahfoedz (PB NU) , dan Busyro Muqoddas (PP Muhammadiyah) itu menilai, RUU Pertanahan dibahas tanpa mempertimbangan kualitas RUUP dan situasi agraria saat ini.
Kelompok yang juga terdiri dari beberapa lembaga advokasi masyarakat sipil seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Aliansi Petani Indonesia (API) dan Walhi itu menegaskan, RUU Pertanahan tidak pantas disahkah karena Indonesia tengah mengalami pokok krisis agraria. Pertama, ketimpangan struktur agraria yang tajam. Kedua, maraknya konflik agraria struktural.
Ketiga, kerusakan ekologis yang meluas. Keempat, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian. Kelima, kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas. “Oleh karena itu, RUU Pertanahan seharusnya menjawab lima krisis pokok agraria di atas yang dipicu oleh masalah-masalah pertanahan,” ujar Sekjen KPA, Dewi Kartika, dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Rabu (14/8).
“Merujuk pada naskah RUU Pertanahan yang terakhir, kami memandang bahwa RUUP gagal menjawab kelima krisis agraria yang terjadi,” tambahnya.
Dewi menegaskan UU terkait pertanahan seharusnya menjadi basis bangsa dan negara kita untuk mewujudkan keadilan agraria sebagaimana dicita-citakan pasal 33 UUD 1945, Tap MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (PA-PSDA) dan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).
Ada beberapa persoalan mendasar dari RUU Pertanahan saat ini, yang membuat beleid tersebut tidak seharusnya disahkan. Pertama, RUU Pertanahan bertentangan dengan UUPA 1960. “Meskipun dalam konsiderannya dinyatakan bahwa RUUP hendak melengkapi dan menyempurnakan hal-hal yang belum diatur oleh UUPA, akan tetapi substansinya semakin menjauh dan bahkan bertentangan dengan UUPA 1960,” jelas Dewi.
Kedua, masalah Hak Pengelolaan (HPL) dan Penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN). “HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domein verklaring, yang tegas dihapus UUPA 1960,” ujar Dewi.
“Hak menguasai dari negara yang telah ditetapkan oleh Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 telah diterjemahkan RUUP secara menyimpang dan powerful menjadi jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan (HPL),” tegasnya.
Ketiga, masalah Hak Guna Usaha (HGU). Dalam RUUP, HGU tetap diprioritaskan bagi pemodal skala besar, pembatasan maksimum konsesi perkebunan tidak mempertimbangkan luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan.
“Masalah lainnya, RUUP mengatur impunitas penguasaan tanah skala besar (perkebunan) apabila melanggar ketentuan luas alas hak. RUU Pertanahan juga tidak mengatur keharusan keterbukaan informasi HGU sebagaimana amanat UU tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Putusan Mahkamah Agung,” papar Dewi.
Keempat, kontradiksi dengan agenda dan spirit reforma agrarian (RA). Terdapat kontradiksi antara semangat reform di dalam konsideran dan ketentuan umum RUUP dengan isi (batang tubuh) RUUP itu sendiri. RA dalam RUUP dikerdilkan menjadi sekadar program penataan aset dan akses.
RUUP juga tidak memuat prinsip, tujuan, mekanisme, lembaga pelaksana, pendanaan untuk menjamin RA yang sejati, yakni operasi negara untuk menata ulang struktur agraria Indonesia yang timpang secara sistematis, terstruktur dan memiliki kerangka waktu yang jelas. Tidak ada prioritas obyek dan subyek RA untuk memastikan sejalan dengan tujuan-tujuan RA di Indonesia.
Spirit RA di RUUP juga dinilai sangat parsial (hanya sebatas bab RA), namun tidak tercermin di bab-bab lain terkait rumusan-rumusan baru mengenai Hak atas tanah (Hak Pengelolaan, HM, HGU, HGB, Hak Pakai), Pendaftaran Tanah, Pengadaan Tanah dan Bank Tanah, dan Pengadilan Pertanahan.
Kelima, kekosongan Penyelesaian Konflik Agraria. “RUUP tidak mengatur bagaimana konflik agraria struktural di semua sektor hendak diselesaikan. RUUP menyamakan konflik agraria dengan sengketa pertanahan biasa, yang rencana penyelesaiannya melalui mekanisme ‘win-win solution’ atau mediasi, dan pengadilan pertanahan,” ujar Dewi.
Padahal, karakter dan sifat konflik agraria struktural bersifat extraordinary crime, yakni berdampak luas secara sosial, ekonomi, budaya, ekologis dan memakan korban nyawa. “Dibutuhkan sesegera mungkin, sebuah terobosan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka RA. Bukan melalui pengadilan pertanahan,” jelasnya.
Keenam, permasalahan Sektoralisme Pertanahan dan Pendaftaran Tanah. Pendaftaran Tanah dalam RUUP bukan merupakan terjemahan dari pendaftaran tanah yang dicita-citakan UUPA 1960 tentang kewajiban pemerintah mendaftarkan seluruh tanah di wilayah Indonesia, dimulai dari pendaftaran desa ke desa sehingga Indonesia memiliki data agraria yang akurat dan lengkap untuk penetapan arah strategi pembangunan nasional dan pemenuhan hak-hak agraria masyarakat.
Pendaftaran tanah di dalam RUUP semata-mata untuk percepatan sertifikasi tanah dan diskriminatif terhadap wilayah konflik agraria, wilayah adat, dan desa-desa yang tumpang tindih dengan konsesi kebun dan hutan. Masalah lain, cita-cita administrasi pertanahan yang tunggal (satu pintu, single land administration) akan sulit dicapai, apabila RUUP tidak diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia
Ketujuh, pengingkaran terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat. Konstitusi sudah dengan jelas mengakui keberadaan Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, RUUP tidak memiliki langkah konkrit dalam administrasi dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat atau yang serupa dengan itu.
Kedelapan, bahaya Pengadaan Tanah dan Bank Tanah. Keinginan RUUP yang bermaksud membentuk Bank Tanah, nampaknya hanya menjawab keluhan investor soal hambatan pengadaan dan pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur. Bank Tanah yang akan dibentuk pemerintah adalah lembaga profit yang sumber pendanaannya tidak hanya berasal dari APBN bahkan dapat berasal dari penyertaan modal, kerjasama pihak ketiga, pinjaman, dan sumber lainnya.
“Jika dibentuk, Bank Tanah berisiko memperparah ketimpangan, konflik, melancarkan proses-proses perampasan tanah atas nama pengadaan tanah dan meneruskan praktik spekulan tanah,” tegas Dewi.
Ironisnya, sumber tanah Bank Tanah justru berasal dari tanah negara sehingga berpotensi menghalangi agenda RA. “Berdasarkan kedelapan masalah pokok di atas, maka dengan ini kami perwakilan gerakan masyarakat sipil, gerakan tani, masyarakat adat, nelayan, akademisi dan pakar agraria menyimpulkan bahwa RUU Pertanahan tidak memenuhi syarat secara ideologis, sosiologis dan bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Bahkan RUU Pertanahan nyata-nyata berwatak kapitalisme neoliberal,” jelasnya.
Dengan pertimbangan tersebut, kami menolak RUU Pertanahan yang saat ini tengah digodok oleh DPR RI dan Pemerintah, serta mendesak Ketua DPR dan Presiden RI untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Pertanahan,” pungkas Dewi.
Editor: M. Agung Riyadi
Related Posts
-
KKP Kembangkan Kebun Bibit Mangrove di Pasuruan
No Comments | Feb 1, 2021 -
Tenangkan Warga, Koperasi Tambang Indonesia Rehabilitasi Hutan Wonogoro
No Comments | Mar 19, 2015 -
Konflik Agraria, Petani Jambi Jadi Korban Kriminalisasi
No Comments | Jun 15, 2020 -
KNTI: Hentikan Reklamasi Tunjukkan Marwah Negara Kepulauan
No Comments | Oct 31, 2017