Bank Dunia dan Permainan Penghindaran Pajak
|
Jakarta, Villagerspost.com – Menghindari pajak bukan sekadar permainan pihak swasta untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Laporan terbaru Oxfam menyebutkan, ternyata lembaga seperti Bank Dunia pun ikut “bermain” dalam skema permainan penghindaran pajak ini. Caranya, lewat berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang beralamat di negara-negara surga pajak.
Oxfam mengungkapkan, mayoritas investasi Bank Dunia dikucurkan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Sejumlah 51 dari 68 perusahaan yang diberi pinjaman oleh sayap usaha swasta Bank Dunia di tahun 2015 untuk berinvestasi di negara-negara sub Sahara Afrika, menggunakan fasilitas dari negara surga pajak.
“Tak masuk akal bagi grup Bank Dunia untuk mendanai sebuah perusahaan untuk berinvestasi dalam ‘pembangunan’ sementara menutup mata pada fakta bahwa perusahaan-perusahaan itu mencurangi negara miskin terkait pendapatan pajak yang dibutuhkan untuk memerangi kemiskinan dan ketidakadilan,” kata Penasihat Kebijakan Pajak Oxfam Susana Ruiz dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (11/4).
Analisis Oxfam berfokus pada International Finance Corporations (IFC) yang menjadi sayap swasta Bank Dunia, terkait investasi mereka di negara-negara Sub-Sahara Africa. Dari analisis tersebut terungkap, ke-51 perusahaan yang menggunakan fasilitas negara bebas pajak dan tidak memiliki keterkaitan jelas dengan usaha intinya, mendapatkan 84 persen pinjaman IFC di kawasan tersebut pada 2015.
Studi itu juga mengungkapkan, IFC juga meningkatkan investasinya lebih dari dua kali lipat kepada perusahaan yang menggunakan fasilitas negara bebas pajak hanya dalam 5 tahun. Angka itu berkembang dari sebesar US$1,20 miliar menjadi sebesar US$2,87 miliar di tahun itu.
Temuan itu terungkap menjelang pertemuan musim semi antara IMF dan Bank Dunia di Washington DC pada 13-15 April dan di tengah merebaknya isu skandal Panama Papers yang mengungkapkan para individu berkuasa dan perusahaan menggunakan negara bebas pajak untuk menyembunyikan kekayaan dan menghindari pajak.
Dalam studi Oxfam juga terungkap, negara surga pajak yang menjadi favorit perusahaan klien IFC adalah Mauritius. Sebanyak 40 persen klien IFC yang berinvestasi di negara Sub Sahara Afrika memiliki keterkaitan ke sana. Mauritius diketahui memberikan fasilitas “round tripping”.
Itu adalah fasilitas dimana perusahaan menempatkan uangnya di “offshore company” sebelum uang itu masuk kembali ke negara asal dengan disamarkan sebagai investasi asing yang mendapatkan fasilitas bebas pajak dan insentif finansial lainnya.
Ini menjadi ironis mengingat negara-negara sub Sahara Afrika adalah kawasan termiskin di dunia. Kawasan itu sebenarnya sangat membutuhkan pendapatan pajak untuk menyediakan layanan umum dan pembangunan infrastruktur. Kawasan tersebut mengalami kekurangan dana untuk menyediakan layanan bidan terdidik, air bersih atau kelambu anti nyamuk, yang berakibat pada tingginya angka kematian bayi. Satu dari 12 anak mati sebelum mencapai usia 5 tahun.
“Grup Bank Dunia tidak bisa mengambil risiko mendanai perusahaan yang menggelapkan pajak di negara sub Sahara Afrika dan di seluruh dunia. Mereka harus menempatkan prinsip keamanan secara tepat untuk meyakinkan bahwa klien mereka membayar bagian yang adil dari kewajiban pajak mereka,” ujar Susana Ruiz.
IFC menginvestasikan lebih dari US$86 miliar uang publik di negara berkembang antara 2010 dan 2015. Sebesar 18,6% diantaranya diinvestasikan di negara-negara sub Sahara Afrika. IFC memiliki fokus siginifikan pada pasar keuangan, infrastruktur, pertanian dan kehutanan.
Sementara IFC memimpin sektor swasta terkait soal keterbukaan atas standar lingkungan dan sosial, publik masih tidak memiliki akses atas informasi soal dimana dana separuh dari uang pendanaan lembaga itu berakhir. Sulitnya data itu diakses lantara IFC menggunakan perantaraan tangan yang tak jelas.
IFC juga terus menghadapi tantangan besar untuk mengukur dampak pembangunan secara keseluruhan dan meyakinkan bahwa proyek yang didanainya tidak berdampak buruk pada masyarakat lokal. Riset terbaru Oxfam ini menunjukkan bahwa organisasi itu masih harus menempuh jalan panjang untuk menjamin klien mereka bahwa mereka adalah pembayar pajak yang bertanggung jawab.
Oxfam mendesak IFC untuk membangun standar baru yang menjamin mereka hanya berinvestasi pada perusahaan yang memiliki tanggung jawab dalam urusan pajak. Sebagai contoh perusahaan harus transparan terkait aktivitas ekonominya sehingga jelas apakah mereka membayar pajak secara adil pada negara dimana menjalankan bisnisnya.
Bank Dunia dan IMF harus bekerja dengan semua pemerintahan untuk melakukan reformasi atas sistem pajak internasional dan mencegah terjadinya penggelapan pajak oleh individu kaya dan perusahaan. “Ini termasuk aksi untuk mengakhiri era surga pajak,” pungkas Susana. (*)