Bank Jepang Siap Batalkan Pendanaan PLTU Batang

Nelayan Batang menolak PLTU Batang. JBIC Bank Jepang yang akan danai proyek ini, mempertimbangkan untuk membatalkan (dok. greenpeace)
Nelayan Batang menolak PLTU Batang. JBIC Bank Jepang yang akan danai proyek ini, mempertimbangkan untuk membatalkan (dok. greenpeace)

Jakarta, Villagerspost.com – Perwakilan warga Batang yang tergabung dalam Paguyuban UKPWR terus berupaya untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap proyek pembangunan PLTU Batang yang bakal merusak lingkungan hidup dan penghidupan mereka sebagai petani dan nelayan. Untuk itu mereka kembali berkunjung ke Jepang untuk menyuarakan penolakan mereka secara langsung penolakan mereka itu perusahaan dan pemerintah Jepang yang mendukung proyek tersebut.

Rencana pembangunan PLTU batubara Batang telah mengalami penundaan selama hampir tiga tahun lamanya karena adanya penolakan dari warga lokal. Perjuangan tanpa mengenal lelah serta kegigihan warga Paguyuban UKPWR dalam mempertahankan lahan pertanian dan kawasan tangkap ikan mereka yang subur, merupakan kunci utama dari keberhasilan mereka menahan pembangunan megaproyek energi kotor ini.

Abdul Hakim, Cayadi, dan Karomat adalah tiga orang perwakilan warga Batang yang baru saja kembali dari kunjungan ke Jepang. Tujuan utama dari kunjungan warga Batang kali ini adalah mengajukan surat gugatan dan penolakan mereka terkait rencana pendanaan pembangunan PLTU Batang secara resmi kepada JBIC (Japan Bank for International Cooperation) melalui sebuah mekanisme internal yang dimiliki Bank Jepang tersebut.

“Kami berkunjung ke Jepang dengan tujuan utama untuk menyuarakan penolakan kami terhadap PLTU Batang secara langsung pada JBIC, J-Power, Itochu, dan Pemerintah Jepang, Kami terpaksa melakukan ini karena suara kami tidak lagi didengar oleh Pemerintah kami sendiri” Kata Abdul Hakim, Perwakilan Warga Paguyuban UKPWR dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Senin (3/8).

Dalam kunjungan kali ini, warga Batang kembali mendapat dukungan dari beberapa anggota parlemen Jepang, antara lainĀ  Mr. Motoyuki Odachi, Ms. Akiko Kurabayashi dan Mr. Yukihiro Shimazu. Tiga anggota parlemen Jepang ini menyaksikan secara langsung penyerahan surat gugatan warga Batang kepada JBIC.

Dalam sambutannya Ms. Akiko Kurabayashi menyatakan bahwa pihaknya akan mendesak JBIC agar menghormati hak masyarakat UKPWR, dan membatalkan rencana JBIC untuk mendanai pembangunan proyek raksasa senilai Rp53 triliun. Alasannya menurut Kurabayashi, karena dalam prosesnya JBIC telah melanggar pedoman investasinya sendiri.

Mr. Kuniyasu Kikuchi, salah satu direktur JBIC yang menerima secara langsung surat gugatan warga, menyatakan bahwa sampai saat ini JBIC belum memutuskan untuk mendanai atau tidak mendanai PLTU Batang. JBIC akan membawa surat gugatan warga ini ke dalam rapat dewan pertimbangan mereka, dan dari hasil rapat itulah keputusan JBIC ditentukan.

Kuniyasu juga menyatakan bahwa JBIC akan mempertimbangkan untuk membatalkan rencana pendanaan PLTU Batang ini jika fakta-fakta yang ada dalam surat gugatan warga terbukti benar.

“Dalam pertemuan kami dengan JBIC, atas nama warga Paguyuban UKPWR saya menyerukan pada JBIC untuk membatalkan rencana mereka mendanai pembangunan PLTU Batang. Proyek ini telah melakukan berbagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, saya adalah salah satu korban kriminalisasi dari proyek ini, saya dipenjara tujuh bulan karena saya menolak untuk menjual lahan saya,” kata Cayadi, Perwakilan Warga UKPWR dari Desa Karanggeneng.

PLTU Batang diklaim akan menjadi PLTU batubara terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 2000 megawatt. Jika jadi beroperasi PLTU ini akan melepaskan emisi karbon sumber penyebab perubahan iklim sebesar 10,8 juta ton pertahun, setara dengan emisi seluruh negara Myanmar pada tahun 2009. Selain itu puluhan ribu ton polutan beracun juga akan dilepaskan setiap tahun.

Juru Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto mengatakan, Presiden Jokowi harus mempertimbangkan ulang rencana pembangunan PLTU Batang. “Jika dipaksakan PLTU ini bukan hanya akan mengancam komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi karbon penyebab perubahan iklim, tetapi juga tidak sejalan dengan visi Jokowi untuk mewujudkan kedaulatan pangan di negeri ini, karena proyek ini berpotensi menghancurkan salah satu sentra penghasil pangan dan sumber perikanan terbaik di Jawa Tengah,” tegas Arif. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.