Berjuang 17 Tahun, PPLP Kulon Progo Tegaskan Tolak Tambang Pasir di Wilayah Pesisir
|
Kulonprogo, Villagerspost.com – Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) menegaskan, perjuangan mereka selama 17 tahun ini untuk menolak pertambangan pasir di wilayah pesisir selatan Yogyakarta. Hal itu terungkap dari surat terbuka yang diterima redaksi Villagerspost.com, Minggu (7/5).
“Kami, Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, menyatakan hari ini telah 17 tahun kami bersepakat membangun persatuan dan kekuatan. Kami akan terus melawan rencana tambang pasir besi di lahan pertanian. 17 tahun kami belajar, selalu sadar mempertahankan Hak kami, memahami kebutuhan kami di atas bumi Indonesia,” demikian salah satu kutipan dari surat terbuka yang dikirimkan dalam rangka ulang tahun ke-17 PPLP-KP.
PPLP-KP menegaskan, mereka akan terus menentang kehadiran perusahaan PT Jogja Magasa Iron, tambang milik Keluarga Keraton Yogyakarta, atau perusahaan apapun lainnya. “Kami akan terus berjuang mempertahankan kedaulatan ruang hidup sejak nenek moyang kami. Harga mati, kami selalu Menolak Rencana Tambang Pasir Besi di Pesisir Kulon Progo!” tegas pihak PPLP-KP.
Seperti diketahui, sejak tahun 2005 lalu, pihak Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta, menerbitkan konsesi penambangan pasir di wilayah pesisir selatan Yogyakarta. Konsesi itu meliputi sepanjang pesisir pantai selatan Kulonprogo, yang membujur dari arah barat (muara Sungai Bogowonto) ke timur (muara Sungai Progo) yang dibatasi Jl Daendels.
Konsesi diberikan kepada PT Jogja Magasa Iron yang merupakan sebuah konsorsium yang erafiliasi dengan pembesar Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Maret 2021, pemilik saham terbesar perusahaan ini adalah Indo Mine Ltd, perusahaan tambang asal Australia yang mayoritas sahamnya dimiliki Rajawali Group.
Perusahaaan tersebut menguasai 210 lembar saham dari 300 lembar saham yang diterbitkan. Sementara, sejumlah 90 lembar saham lainnya–sekitar 30 persen, dimiliki PT Jogja Magasa Mining (JMM). Diketahui, di JMM inilah keluarga keraton Yogyakarta dan Pakualaman memiliki andil.
Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Mangkubumi, menguasai 75 lembar saham PT JMM. Adik Pakualam X, BRMH Hario Seno juga menguasai 75 lembar saham PT JMM. Sejumlah 50 lembar saham PT JMM lainnya dimiliki oleh kemenakan Sri Sultan Hamengku Buwono X, RM Sumyandharto.
Terkait konsesi tambang pasir itu, PT Jogja Magasa Iron mendapatkan kontrak karya hingga tahun 2038. PT JMI berencana membangun peleburan pasir besi berkapasitas produksi 1 juta pig iron per tahun. Area konsesi PT JMI mencakup Desa Karangwuni di sisi barat hingga kawasan Pantai Trisik di Banaran, Kecamatan Galur, di sisi timur yang juga lokasi pelepasliaran penyu dan permukiman warga relokasi beserta sejumlah tambak.
Namun rencana ini ditentang keras oleh para petani. Pasalnya wilayah itu merupakan wilayah pertanian yang subur. Wilayah pesisir Kulonprogo misalnya, terkenal sebagai penghasil cabai. Para petani itu juga bercocok tanam semangka, melon, dan sayuran. Selain itu, wilayah tersebut merupakan wilayah peternakan dan perkebunan.
Koordinator PPLP-KP Widodo mengatakan, para petani menolak penambangan pasir karena dapat merusak kesuburan tanah dan produktivitas lahan pertanian. “Kami sudah sejahtera tanpa tambang,” kata Widodo.
“Kepada para sedulur dari manapun. Kita di sini berkumpul dalam perjuangan dan harapan sama. Misi kita membangun dunia yang adil dan setara. Surat ini juga untuk setiap orang yang tertindas. Juga untuk siapapun yang sadar, bangkit dan melawan penindasan,” demikian tegas pihak PPLP-KP.
“Kami para ahli waris sejati lahan pesisir. Kami hidup di sini, tumbuh di sini, mengakari kebudayaan dan martabat kami. Ruang hidup ini milik nenek moyang kami. Turuntemurun diwariskan, menjadi milik kami. Kemudian milik generasi anak cucu kami dimasa depan,” tambah mereka.
PPLP-KP mengatakan, pihak Kesultanan Yogyakarta, telah membuat aturan akal-akalan demi memuluskan usaha pengambilalihan lahan petani untuk pertambangan. “Upaya pendataan dan sertifikasi lahan yang dibuat-buat, hanya demi mengubah kepemilikan tanah menjadi milik Keraton dan Paku Alaman, mereka paksa sebut itu SG dan PAG,” tegas pihak PPLP-KP.
Praktik itu, dinilai PPLP-KP merupakan praktik ‘negara dalam Negara Republik Indonesia’. “Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria Republik Indonesia, telah melandaskan tanah tempat ruang hidup warisan nenek moyang kami secara hukum adalah hak milik kami, para petani pesisir Kulon Progo,” tegas petani yang tergabung dalam PPLP-KP.
“Kami menolak upaya pendataan dan sertifikasi yang mengandung tipu muslihat. Cara-cara menjerat, memojokkan, sengaja menjebak kemudahan menjual tanah, membuat surat berharga untuk diperjualbelikan dan gadaikan, itu tindakan korup yang membahayakan hidup petani. Bahkan ada pendataan yang mengubah tahun penerbitan di sertifikat baru, cara merampas kepemilikan sah kami. Semua itu upaya melawan hukum di Negara Republik Indonesia,” tambah mereka.
Pihak PPLP-KP menegaskan, menolak pendataan manipulatif apapun di seluruh Desa Desa Trisik, Desa Karang Sewu, Desa Bugel, Desa Pleret, Desa Garongan, Desa Karang Wuni dan tempat hidup saudara kami di Propinsi Yogyakarta lainnya. “Karena upaya manipulatif itu bagi kami melawan hukum yang berlaku di Negara Indonesia,” tegas mereka.
Pihak PPLP-KP juga menilai, Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja berisi lebih banyak aturan yang menguntungkan korporasi. Mereka menilai, lewat perangkat hukum tersebut, Pemerintahan Negara Indonesia telah disusupi kepentingan pemodal dan oligarki. “Kami menuntut bahwa seharusnya Pengurus Publik Negara di tingkat Nasional sampai daerah Yogyakarta berpihak pada rakyat, petani, nelayan, buruh, pekerja dan seluruh kaum marginal,” tegas pihak PPLP-KP.
“Kejahatan korporasi dan negara demi memperbesar kekayaan kelompok elit, hanya akan memperbesar krisis bagi bumi, alam, mahluk hidup sekitar dan kehidupan manusia. Upaya para penindas rakyat untuk mengeksploitasi alam, mengabaikan hak warga negara menentukan ruang hidupnya, mengancam dan menakut-nakuti petani adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia,” ujar Mereka.
Praktik ini, menurut pihak PPLP-KP juga terjadi di wilayah lain di Indonesia seperti terhadap para petani di Jawa Timur, Desa Pakel dan di Tumpang Pitu yang dikriminalisasi dan dipaksa masuk jeruji besi. “Itu adalah kejahatan kemanusiaan, yang dilakukan persekongkolan korporasi, aparat hukum dan penguasa dzolim. Kami mendoakan dan menyerukan pembebasan para petani,” demikian pernyataan pihak PPLP-KP.
Karenanya pihak PPLP-KP menegaskan sikap mereka untuk:
1. Menolak Rencana Tambang Pasir Besi di Pesisir Kulon Progo!
2. Menolak SG/PAG dan Segala Rencana Sertifikasi dan Pendataan Tanah Pesisir Kulon Progo oleh Kesultanan dan Pakualaman!
3. Menolak Perampasan Ruang Hidup dalam bentuk apapun di Indonesia!
4. Hentikan tindak Kriminalisasi Warga yang Berjuang Mempertahankan Ruang Hidup!
5. Bebaskan para Petani yang dipenjarakan dengan secara tidak adil!
6. Menolak Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja!
“Salam dari Kami. Cita-cita kami adalah kehidupan bersama yang tentram, damai dan sejahtera jiwa raga, bersama tanah dan mahluk di ruang hidup kami,” pungkas pihak PPLP-KP.
Editor: M. Agung Riyadi