BPPT Kembangkan Beras Analog
|
Jakarta, Villagerspost.com – Kisruh soal beras plastik dijawab pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dengan sebuah ide cemerlang. BPPT saat ini tengah mengembangkan beras tiruan alias beras analog yang terbuat dari bahan bahan baku lokal (bukan impor). Beras analog ini, menurut pihak BPPT menyehatkan dan tidak mengandung bahan kimia seperti beras plastik.
“Beras ini berasal dari jagung, ubi kayu dan atau sagu sehingga dijamin aman bahkan mempunyai manfaat kesehatan seperti indeks glikemik rendah,” kata Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) Listyani, Senin (25/5) seperti dikutip setkab.go.id.
Menurut Listyani produk ini jelas berbeda dari beras plastik yang diduga mengandung polyvinyl chloride, suatu produk petrokimia yang bila dikonsumsi tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan dan menimbulkan reaksi penolakan dari dalam tubuh. “Beras plastik, berbahaya karena dalam jangka pendek menyebabkan keracunan dan dalam jangka panjang akan merusak organ-organ tubuh seperti ginjal dan organ pencernaan,” ujarnya.
Sementara beras analog yang dikembangkan BPPT, disamping teknik proses produksinya juga dikembangkan atau peralatan produksinya. Diseminasi teknologi juga telah dilakukan melalui pelaku usaha (UKM) di beberapa daerah.
“Yang paling penting, beras analog ini menggunakan bahan baku lokal, sehingga mengurangi ketergantungan akan pangan impor, termasuk impor beras,” kata Listyani.
Sebagai informasi, sebelumnya media memberitakan hasil analisa PT Sucofindo bahwa selain mengandung polyvinyl chloride, beras plastik juga mengandung bahan bersifat plastisizer plastik seperti benzyl butyl phtalate (BBT), Bis 2-ethylhexyl phtalate (DEHP), dan diisononyl phtalate (DNIP). Ketiga bahan tersebut merupakan pelembut yang biasa digunakan bersamaan dengan polyvinyl chloride.
Listyani menjelaskan bahwa ketiga bahan tersebut digunakan untuk membuat (mencetak) beras yang mengandung senyawa polyvinyl chloride sehingga mirip seperti aslinya. Bahan-bahan tersebut adalah jenis produk turunan dari hasil tambang minyak bumi atau produk petrokimia yang peruntukannya untuk pembuatan barang-barang plastik contohnya pipa, yang tentu saja sangat tidak layak dan berbahaya bila dikonsumsi.
Beras plastik, jelasnya lagi, dibuat dari pati atau tepung yang yang dicampur dengan bahan dan bahan pembantu dari produk petrokimia diperkirakan untuk mendapatkan harga yang murah. “Patut diduga bahwa motivasi produsennya adalah untuk meraup keuntungan semata. Kasus ini mengingatkan kita akan kasus susu yang mengandung melamin,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan pun meminta pemerintah untuk mengusut secara tegas dan tuntas terhadap pelaku pengedar beras plastik karena membahayakan kesehatan masyarakat. Kios di Bekasi, Jawa Barat tempat ditemukan beras plastik tersebut menjual beras plastik dengan harga Rp8.000 per liter.
Heri menegaskan pemerintah telah lalai dalam mengawasi perizinan kegiatan impor beras yang telah beredar dipasar-pasar tradisional. “Hal ini jelas bertentangan dengan semangat Program Ketahanan Pangan yang menjadi salah satu visi Presiden Jokowi,” kata Heri beberapa waktu lalu.
Peredaran beras plastik ini menjadi masalah yang cukup serius, karena mencakup kebutuhan sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. “Oleh karena itu, diperlukan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan pengawasan terhadap peredaran beras plastik di Indonesia,” tegasnya. (*)