Budidaya Udang Vaname SII, Tarik Minat Pengusaha
|
Jakarta, Villagerspost.com – Teknologi budidaya udang vaname Supra Intensif Indonesia (SII) yang diterapkan di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan ternyata berhasil mencatatkan produktivitas tertinggi di dunia. Karena itu, para pengusaha anggota Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Banyuwangi dan Situbondo, Jawa Timur, tertari untuk mereplikasi teknologi tersebut.
“Pengusaha di Banyuwangi dan Situbondo tampak sangat antusias. Saya diundang khusus oleh Kadin setempat untuk memaparkan teknologi SII ini kepada sekitar 100 pengusaha beberapa hari lalu,” kata penemu teknologi budi daya udang SII Dr Ir Hasanuddin Atjo, MP, seperti dikutip kkpnews.go.id, Senin (28/12).
Teknologi SII diluncurkan oleh Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Prof Dr Rohmin Dahuri pada pada Oktober 2013 lalu. Saat itu udang-udang ini dipelihara di tambak percontohan sekaligus penelitian yang dibangun di Kelurahan Kuppa, Kabupaten Barru, Sulsel, sekitar 150 km utara Kota Makassar.
Saat diluncurkan, produktivitas tambak percontohan ini tercatat mencapai 15,3 ton pada kolam beton berukuran 1.000 meter persegi. Bila dikonversi ke satuan hektare, produktivitas udang vaname yang dibudidaya dengan teknologo SII bisa mencapai 153 ton per hektare sekali panen. Sementara teknologi ini mengalami panen minimal dua kali dalam setahun.
Selama dua tahun kemudian, teknologi ini terus disempurnakan, dan hasilnya dirasakan lebih baik. Per Desember 2015 ini, produktivitas udang vaname teknologi SII ini sudah mencapai 200 ton per hektare. Dengan demikian, SII tetap menjadi teknologi budidaya paling produktif di dunia.
“Teknologi ini masih akan terus mengalami penyempurnaan hingga suatu saat nanti bisa mencatat produktivitas 300 ton/hektare,” kata Atjo yang juga Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Wilayah Sulawesi.
Dalam pertemuan dengan pengusaha asal Jawa Timur itu, Atjo juga menjelaskan sedikit soal teknologi SII ini. Dia mengatakan, tingginya produktivitas teknologi ini kuncinya antara lain terletak pada kemampuan mengendalikan lingkungan internal budi daya, agar homogen secara vertikal dan horizontal.
Karena itu, kata pria yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah ini, luasan tambak sengaja dirancang berukuran nisbi kecil antara 100-1.000 meter persegi dengan kedalaman air 2,5-3 meter, menggunakan “central drain” (pembuang limbah mekanis). Tujuannya adalah agar lingkungan internal tambak senantiasa bersih sehingga udang tetap nyaman, meskipun ditebar dengan kepadatan tinggi mencapai 1.000 ekor per meter persegi.
Selain itu Atjo juga menerapkan sistem nursery yakni pemeliharan benih udang di dalam kolam nursery (kolam khusus pembenihan) saat bibit udang berusia 0-25 hari. Setelah usia 25 hari, barulah udang dipindahkan ke kolam pemeliharaan, agar mampu beradaptasi.
“Teknologi itu sudah terbukti mampu memproduksi udang vaname secara efisien dengan produktif, meskipun pada kondisi iklim yang cukup ekstrem seperti saat ini,” kata Atjo.
Karena itu dia berharap teknologi ini semakin banyak direplikasi di berbagai daerah. “Saya selalu siap untuk memberikan penjelasan mengenai teknologi ini,” ujar Atjo. (*)