Catatan 2015: Kedaulatan Pangan Setengah Hati, Darurat Pangan Terus Terjadi
|
Jakarta, Villagerspost.com – Sepanjang tahun 2015 ini, pelaksanaan cita-cita kedaulatan pangan yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK dinilai masih setengah hati dan melenceng dari pakem seharusnya yaitu menyejahterakan produsen pangan skala kecil. Jokowi-JK dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan dinilai masih terjebak paradigma lama yaitu ketahanan pangan.
Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, dengan paradigma itu, pemerintah terus saja berkutat dalam urusan menggenjot produksi pangan dengan menggunaan sarana produksi pabrikan dan pembangunan infrastruktur.
“Pemerintah alpa untuk memberikan perhatian yang selayaknya, kepada produsen pangan skala kecil,” kata Tejo dalam diskusi catatan ADS dan Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) mencermati setahun perjalanan JKW-JK di bidang Pangan, di Jakarta, (30/12).
Tejo mengatakan, ke depan, krisis pangan akan terus terjadi bila tidak ada upaya perubahan yang mendasar. Upaya menggenjot produksi yang bertumpu pada pertanian industri terbukti telah gagal membangun kedaulatan pangan. BPS mencatat total nilai impor 8 komoditas pangan hingga Agustus saja, mencapai US$3,5 miliar atau sekitar Rp51 triliun.
“Kegagalan menterjemahkan Kedaulatan Pangan terlihat sejak awal terlihat, saat Renstra Kementrian Pertanian yang masih terus bertumpu pada swasembada pangan, yang erat dengan paradigma Ketahanan Pangan,” ujar Tejo.
Terjemahan Nawacita khususnya terkait Kedaulatan Pangan diantaranya ada dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian. Renstra itu mencakup, tercukupinya kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, mengatur kebijakan pangan secara mandiri, dan yang terakhir melindungi dan mensejahterakan petani, nelayan, pekebun kecil penghasil pangan.
Sementara itu, Ketua Umum AB2TI Dwi Andreas Santosa mengatakan, jantung Kedaulatan Pangan adalah para produsen pangan skala kecil. “Sayangnya, mereka justru ditinggalkan dalam program dan implementasinya,” ujarnya.
Andreas yang juga merupakan akademisi di Institut Pertanian Bogor ini mengatakan, alih-alih membangun 1.000 desa daulat benih, pemerintah malah bersemangat menggunakan benih transgenik milik perusahan multinasional yang mahal dan menciptakan ketergantungan baru.
Padahal ketika petani berdaulat benih, terbukti peningkatan produksi justru terjadi. “Penerapan agroekologi oleh anggota AB2TI di 11 kabupaten menunjukkan terjadi peningkatan gabah kering panen menjadi 10,6 ton/ha.” paparnya.
Andreas menerangkan, pertanian agroekologi berbasiskan pada keanekaragaman pangan dan pengolahan yang bijak. Pada gilirannya, sistem ini akan dapat menyediakan berbagai pangan bagi kebutuhan konsumen yang kini kian seragam pangannya, dan kian tergantung pada industri pangan.
Kegagalan lain pemerintah dalam upaya mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan juga terlihat pada kegagalan mewujudkan janji redistribusi tanah 9 juta hektare untuk petani. Koordinator Kelompok Kerja Sawit ADS Achmad Surambo mengatakan, janji redistribusi tanah itu sendiri sejatinya bukan reforma agraria sesungguhnya, tetapi toh tetap saja belum bisa dilaksanakan.
Surambo menjelaskan, inti reforma agraria adalah membereskan ketimpangan kepemilikan lahan dan ada penurunan konflik. “Tetapi ini, konflik malah naik, data Sawit Watch menunjukkan 776 konflik antara komunitas dan perusahaan perkebunan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya,” kata Surambo yang juga Deputy Director Sawit Watch itu.
Koordinator Pokja Beras ADS Said Abdullah mengatakan, ketidakjelasan yang sama juga terjadi pada program pencetakan sawah 1 juta hektare. “Ini dimana saja, dan untuk siapa sawah itu nantinya?” tanya Said.
Sementara berdasarkan data BPS kemampuan tiap tahun mencetak sawah hanya sekitar 50.000 ha, jauh dibawah target . Badan Pangan Nasional yang menjadi mandat UU Pangan seharusnya sudah terbentuk malah masih dalam proses dan mengarah pada Bulog. “Apakah cukup? Dan bagaimana dengan partisipasi masyarakat didalamnya?” kata Said lagi.
Pangan dari laut dan pesisir pun masih mengalami tantangan besar. “Petani garam kita masih tertekan akibat garam impor, sementara saat ikan mulai melimpah karena penanganan illegal fishing, pengolahnnya masih terbatas,” kata Koordinator Pokja Ikan Abdul Halim.
Tetapi, kata dia, yang paling mendesak adalah pengakuan atas peran perempuan nelayan yang hingga kini masih terus dipinggirkan negara.
Karena itu, ADS menilai, sudah saatnya tahun kedua dan selanjutnya, pemerintahan Jokowi-JK melakukan langkah berani untuk benar-benar menerapkan Kedaulatan Pangan. “Kedaulatan Pangan bukan hanya slogan, tetapi harus diimplementasikan dengan sepenuh hati dan dilandasi keberpihakan kepada produsen pangan skala kecil kita,” pungkas Tejo. (*)