Catatan Akhir Tahun KPA: 2020 Surplus Konflik Agraria Saat Ekonomi Minus

Aksi para petani yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia pada peringatan Hari Tani. Petani mendesak pemerintah tuntaskan masalah konflik agraria (dok. spi.or.id)

Jakarta, Villagerspost.com – Tahun 2020, merupakan tahun anomali dalam konteks agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang tahun 2020, justru terjadi peningkatan konflik agraria di tengah kondisi ekonomi yang minus. “Logikanya, di tengah perekonomian yang mengalami resesi, konflik agraria layaknya juga mengalami trend menurun,” kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, saat menyampaikan Catatan Akhir Tahun 2020 KPA, secara daring, Rabu (6/1).

Dalam catatan KPA, di tahun 2019 lalu saat pertumbuhan ekonomi berada di angka 5,01% terjadi 133 kali konflik agraria. Namun di tahun 2020 saat pertumbuhan ekonomi anjlok ke angka -4,4%, justru konflik agraria meningkat sebanyak 138 kasus.

“Tahun 2020 di tengah minusnya perekonomian nasional dan penerapan PSBB, justru perampasan tanah berskala besar tidak menurun, tetap tinggi, dan cara-caranya makin tak terkendali,” jelas Dewi.

Hal ini, kata dia, menunjukkan meski di tengah resesi ekonomi rakyat, badan-badan usaha (swasta dan negara) tidak bisa mengendalikan diri, justru menjadikan krisis dan pembatasan gerak rakyat, sebagai peluang untuk menggusur masyarakat dari tanahnya dari syarat-syarat keberlangsungan hidupnya.

Total konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2020 dalam catatan KPA terjadi sebanyak 241 kasus. Konflik ini menimbulkan korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga (KK). Kasus tertinggi terjadi di perkebunan 122 kasus, naik 28% dari tahun 2019 (87 kasus). Tertinggi kedua ada di sektor kehutanan dengan 41 kasus, naik 100% dari 2019 (20 kasus).

Konflik yang terjadi melibatkan total lahan seluas 642 ribu hektare lebih lahan. Terluas di sektor kehutanan dengan melibatkan 312 ribu hektare lebih lahan dan kedua sektor perkebunan yang melibatkan nyaris 231 ribu hektare lahan.

Provinsi penyumbang konflik agraria terbanyak adalah Riau dengan jumlah frekuensi konflik sebanyak 29 kasus dan melibatkan lahan seluas 60 ribu hektare lebih. Konflik ini melibatkan 32 desa dengan KK terdampak sejumlah hampir 20 ribu KK.

Di posisi kedua ada provinsi Jambi dengan 21 kasus, yang melibatkan lahan seluas hampir 18 ribu hektare. Desa terdampak konflik mencapai 28 desa dan jumlah KK terdampak mencapai lebih dari 13 ribu lebih kepala keluarga.

“Perampasan tanah ini menunjukkan reorganisasi ruang-ruang akumulasi kapital baru di tengah krisis, utamanya melalui investasi dan ekspansi bisnis di sektor perkebunan monokultur dan kehutanan (hutan tanaman industri),”tegas Dewi.

Editor: M. Agung Riyadi

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.