Catatan Akhir Tahun WWF: Perbaikan Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kebakaran hutan di kawasan gambut Sebangau, Kalteng. Kasus karhutla menjadi contoh lemahnya tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan (dok. wwf.or.id)
Kebakaran hutan di kawasan gambut Sebangau, Kalteng. Kasus karhutla menjadi contoh lemahnya tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan (dok. wwf.or.id)

Jakarta, Villagerspost.com – WWF Indonesia menyoroti masalah kebakaran hutan yang terjadi sepanjang tahun ini sebagai salah satu bukti masih lemahnya tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan. Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia Nyoman Iswarayoga mengatakan, dalam masalah ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diakui sudah berupaya memperbaiki.

“Tentu ada saja yang belum berjalan sesuai harapan, dan banyak juga permasalahan yang masih mengkhawatirkan dalam menjaga kelestarian alam Indonesia,” kata Nyoman dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Selasa (29/12).

Catatan akhir tahun yang diberikan WWF Indonesia khususnya memang menyoroti berbagai kemajuan dan tantangan di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Utamanya yang menyangkut upaya konservasi keanekaragaman hayati. WWF Indonesia menyoroti beberapa langkah yang dipandang menjadi pilar penting dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup dan kehutanan.

“Kami mengamati ada langkah progresif yang telah diambil oleh KLHK sepanjang tahun 2015 sebagai dasar dalam memperbaiki tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan,” kata Nyoman.

Dalam soal mengatasi kebakaran hutan misalnya, KLHK mencoba menatanya. Salah satunya adalah lewat instruksi yang dikeluarkan Menteri LHK kepada pemegang konsesi yang berisi larangan pembukaan kawasan gambut. Termasuk penghentian pemberian izin baru di hutan primer dan lahan gambut bagi perusahaan pengelolaan perkebunan.

Selain itu, Menteri LHK juga pernah menekankan pentingnya kawasan bernilai konservasi tinggi (HCV) kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR). Hal ini kemudian menjadi salah satu dasar keluarnya Surat Edaran Menteri ATR untuk perlindungan kawasan HCV. “Ujiannya adalah pada ketaatan penerapannya yang nanti menjadikan kebijakan seperti ini benar efektif,” kata Nyoman.

WWF Indonesia juga mengapresiasi sikap tegas KLHK dalam mensosialisasikan dan menerapkan sistem legalitas kayu Indonesia melalui SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Terlepas dari perbedaan wacana tidak mutlak diperlukannya SVLK sebagai salah satu persyaratan dokumen ekspor, KLHK terus mendorong agar SVLK dapat diakui sebagai izin FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) yang akan meningkatkan perdagangan kayu legal di pasar dunia.

“Seyogyanya hal ini didukung Kementerian lain secara selaras dan terpadu,” pinta Nyoman.

Nyoman mengingatkan ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu konsisten dilakukan di tahun 2016. Diantaranya adalah KLHK harus konsisten mengawal koordinasi untuk upaya mitigasi kebakaran lahan dan hutan. Misalnya menggalakkan kegiatan di lapangan seperti re-wetting lahan gambut, mengintensifkan masyarakat peduli api dan masyarakat mitra Polhut serta upaya penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten.

“Kita juga punya pekerjaan rumah untuk mulai mengimplementasikan kegiatan yang menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam INDCs (Intended Nationally Determined Contributions – red) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca seperti telah disepakati dalam COP 21 di Paris,” pungkas Nyoman.

Sementara itu Penasehat Utama WWF Indonesia Prof. Hadi Alikodra menyuarakan agar KLHK mampu memperkuat peran sebagai benteng terdepan dan terkuat dalam penyelamatan sisa hutan tropis Indonesia. Terutama dengan meningkatkan efektifitas perlindungan dan pengelolaan kawasan konservasi, sehingga selain bebas dari ancaman perambahan juga memberi manfaat bagi masyarakat sekitar.

Menurut Prof. Alikodra, walau penggabungan eks dua Kementerian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, sejauh ini cukup berhasil, namun KLHK masih juga menghadapi tantangan harmonisasi di level operasional.

WWF Indonesia juga masih mencatat kematian satwa liar yang dilindungi Undang-Undang, seperti Gajah Sumatera, dan berbagai kasus kejahatan terhadap satwa liar sepanjang tahun 2015. KLHK dalam beberapa kesempatan memberikan respons yang memadai, namun kasus-kasus tersebut adalah gejala pengawasan yang masih belum efektif.

Publik menaruh harapan agar KLHK tegas membawa siapa pun yang terindikasi dan diduga melakukan praktik kejahatan lingkungan, utamanya dalam kasus karhutla dan kejahatan terhadap satwa liar. “Khususnya, memastikan pelaku kejahatan lingkungan bisa mendapat hukuman yang mencegah terulangnya kasus-kasus serupa di tahun mendatang,” tegas Prof. Alikodra.

KLHK didorong untuk tidak setengah hati mengusung transparansi dalam mengusut kasus-kasus kejahatan lingkungan. “Salah satunya, konsisten membawa perusahaan-perusahaan pemegang konsesi ke meja hukum atas kejadian kebakaran lahan dan hutan di wilayahnya, sesuai dengan tanggung jawab yang ada dalam izin yang dimiliknya,” tegasnya. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.