CPO RI Tercemar Sawit Ilegal
|
Jakarta, Villagerspost.com – Laporan Laporan Eyes on the Forest (EoF) yang diterbitkan hari ini mengungkapkan, produk Crude Palm Oil Indonesia masih “tercemar” sawit ilegal. Dalam laporan itu diungkapkan, sawit yang ditanam secara ilegal di kawasan lindung milik negara seperti habitat satwa langka harimau Sumatera, gajah dan orangutan di hutan Sumatera telah memasuki rantai pasokan sejumlah pemasok sawit terkenal dunia: Wilmar, Golden-Agri Resources, Royal Golden Eagle dan Musim Mas.
Divisi pemantauan deforestasi WWF-Indonesia Nursamsu mengaku kecewa dengan terungkapnya fenomena tersebut. “Kami kecewa terlepas dari komitmen grup-grup perusahaan untuk menghentikan deforestasi, tak satupun mampu melarang minyak sawit yang diragukan legalitasnya dari rantai pasokan mereka,” ujar Nursamsu dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Rabu (6/5).
(Baca juga: Jerman Dukung Indonesia Lawan Isu Negatif CPO)
Dia mengatakan, dalam satu lingkungan dimana sawit dihasilkan dari penanaman ilegal yang terus meningkat, bertambahnya jumlah pemasok dan pabrik sawit tanpa perkebunan mereka sendiri, maka para pembeli perlu fokus melacak semua sawit yang dipasok secara menyeluruh hingga keĀ perkebunan. EoF menemukan bahwa truk pengangkut tandan buah segar (TBS) ilegal menempuh jarak hingga 128 km dan menghabiskan 5 hari di perjalanan, cukup jauh untuk mencapai puluhan pabrik CPO.
Hasil analisa teridentifikasi hampir seluruh pabrik CPO di Sumatera beresiko membeli buah sawit secara ilegal atau tercemar karena ditanam di area deforestasi. Lokasi dan jarak pabrik dari hutan alam dari pabrik sawit bukanlah indikator bagus akan adanya resiko membeli produk ilegal.
“Kami sepenuhnya setuju pada persoalan kompleks jika menelusuri TBS hingga ke sumbernya. Namun kami peringatkan hal ini bisa menjadi celah yang membiarkan pasokan tandan buah segar berasal dari perkebunan yang sangat merusak sumber daya alam Negara ini,” tambah Nursamsu.
Penjual menggabungkan TBS dari “perkebunan pihak ketiga” yang berpotensi ditanam dari perkebunan sawit ilegal atau merusak lingkungan, dan ini harus diperhatikan oleh seluruh manajer pabrik. “Pabrik-pabrik sawit seharusnya mempertimbangkan pendekatan waspada terhadap pemasok yang tak dapat membuktikan lokasi, legalitas serta keberlanjutan semua sumber TBS mereka,” tegas Nursamsu.
Para pembeli sebaliknya seharusnya hanya berurusan dengan pabrik yang mampu membuktikan mereka memiliki sistem kerja untuk melacak TBS yang mereka terima, ia menambahkan. Selama bertahun-tahun kelapa sawit telah menyebabkan deforestasi yang besar di Indonesia, khususnya Sumatera.
Menebangi hutan untuk perkebunan sawit di kawasan-kawasan yang kami selidiki biasanya menggunakan praktik pembakaran untuk persiapan lahan untuk ditanam sawit. Pada 2015, Indonesia dan negara tetangga mengalami salah satu dampak nyata dari deforestasi-asap dan gas rumah kaca akibat kebakaran yang susah dipadamkan. Diperkirakan dari kebakaran tersebut dihasilkan emisi sebesar 1,75 miliar metrik ton CO2 ekuivalen, lebih dari semua emisi bahan bakar fosil Jerman atau Jepang.
Sementara itu, Koordinator Jikalahari Woro Supartinah mengatakan, kurangnya ketegasan pemerintah dan penegakan aturan di seluruh negeri, ditambah meningkatnya permintaan global untuk minyak sawit menjadi penyebab utama karhutla di Indonesia. “Ini juga mendorong terjadinya perambahan dalam skala besar di hutan lindung untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit ilegal. Perambahan ini harus dihentikan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Walhi Riau Riko Kurniawan mengungkapkan, beberapa perusahaan mencoba untuk bersembunyi di balik petani kecil dan mata pencahariannya sehingga ada alasan pembenaran agar sumber TBS mereka tak dipertanyakan. Namun, hasil dari investigasi ditemukan, banyak pengembang perkebunan ilegal malah dibiayai oleh segelintir elit dan perusahaan yang banyak meraup untung.
“Jika perusahaan benar-benar peduli terhadap petani kecil, mereka harus bekerja secara langsung dengan petani kecil di daerah sebagai gantinya,” tegas Riko.
Kelompok-kelompok yang disebutkan dalam laporan ini merupakan kelompok industri yang banyak menerima keuntungan dari deforestasi di Sumatera selama bertahun-tahun. Saat ini, tutupan hutan aman Nasional Tesso Nilo hanya tinggal 18 persen, sisanya adalah sawit. TBS tersebut diproses dan diolah di pabrik.
EoF mengimbau agar perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pengrusakan habitat unik ini untuk mengatasi warisan perusakan hutan mereka dengan segera berkontribusi untuk konservasi dan restorasi ekosistem negeri ini yang telah jadi korban dari perluasan ilegal kebun sawit.
“Ini adalah waktu yang tepat bagi semua pemangku kepentingan bersama-sama mengatasi ilegalitas sistemik dan tidak berkelanjutan di sektor kelapa sawit Indonesia. Serta memastikan bahwa industri benar-benar mengubah jalannya menjadi ekonomi hijau dan berkelanjutan,” pungkas Riko.
Ikuti informasi terkait sawit >> di sini <<