CPOP: Kebijakan Ironis di Tengah Krisis Asap
|
Jakarta, Villagerspost.com – Greenpeace menyayangkan langkah pemerintah Indonesia yang tidak menyetujui para pengusaha sawit untuk menandatangani Ikrar Minyak Sawit Indonesia atau Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). Sebaliknya, pemerintah malah berupaya membentuk dewan kerjasama produsen-produsen minyak sawit bersama dengan Malaysia yaitu Council of Palm Oil Producing Countries (CPOP).
Kebijakan ini dinilai sebagai sebuah ironi di tengah krisis asap akibat kebakaran lahan dan hutan khususnya di lahan gambut akibat masifnya pembukaan lahan oleh perusahaan perkebunan sawit. Greenpeace menilai dengan menyetujui pembentukan CPOP pemerintah malah bermaksud mengganti komitmen nol deforestasi yang telah dibuat tahun lalu di New York oleh para pengusaha kelapa sawit.
Juru Kampanye Greenpeace SEA-Indonesia Annisa Rahmawati mengatakan, sangat ironis di tengah keadaan darurat kabut asap ini pun, pemerintah Indonesia bahkan mengusulkan untuk menurunkan standar bagi perusahaan kelapa sawit dan bukannya memastikan perusahaan-perusahaan tersebut untuk melakukan perlindungan terhadap hutan dan lahan gambut.
“Jadi mengapa pemerintah Indonesia justru mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk memperburuk bencana kebakaran dengan menghancurkan lebih banyak hutan dan mengeringkan lebih banyak lahan gambut?” ujarnya dalam pernyataan tertulis yang diterima Villagerspost.com, Kamis (15/10).
Annisa menegaskan, sudah seharusnya pemerintah mengapresiasi perusahaan “nol deforestasi” yang mencoba untuk menghentikan krisis. “Bukannya menambah percik api dengan memberi ‘izin untuk membakar’,” tegasnya.
Asap adalah bencana kemanusiaan yang dibuat oleh manusia yang memicu krisis lingkungan, mengancam kesehatan jutaan manusia, bahkan menyebabkan kematian dini. Terjadinya perusakan hutan dalam beberapa dekade ini, telah mengubah hutan dan lahan gambut di Indonesia menjadi sebuah bom iklim.
“Apabila Presiden Jokowi benar-benar ingin melindungi rakyatnya dan serius dalam menghentikan kebakaran hutan, maka beliau harus berdiri bersama dengan perusahaan progresif untuk memastikan bahwa keseluruhan industri akan menghentikan kontribusinya dalam menciptakan bencana asap di tahun depan,” ujarnya.
Ikrar Minyak Sawit Indonesia adalah sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk menjadi produsen minyak sawit yang bertanggung jawab terbesar, namun demikian pemerintah malah mengusulkan untuk mengikuti Malaysia dan menurunkan standar. Petani kecil dan kondisi ekonomi di Indonesia dijadikan alasan oleh industri dan pemerintah untuk menghindari tanggungjawab dalam mengakhiri deforestasi dan pengeringan gambut skala besar yang keduanya merupakan akar dari krisis kebakaran saat ini.
Pemerintah mengatakan bahwa ini terkait dengan petani kecil. Perusahaan-perusahaan IPOP yang telah berikrar untuk tidak melakukan deforestasi, juga memiliki komitmen untuk bekerja sama dengan petani kecil untuk meningkatkan produktivitas mereka.
“Jika ikrar ini diimplementasikan, maka hal ini akan memungkinkan petani kecil untuk mendapatkan keuntungan dari peningkatan permintaan produk sawit yang bertanggung jawab dari pasar global,” kata Annisa Rahmawati.
Rashid Kang, kepala kampanye hutan Greenpeace China mengatakan, Indonesia harus berhenti mencari alasan dengan menyebut China sebagai pasar yang siap untuk minyak sawit kotor sebagai cara untuk membenarkan kemunduran Indonesia. Jika Cina menerima permintaan Indonesia untuk standar yang lemah, kata Kang, itu akan mengirim pesan bahwa China mendukung solusi dengan deforestasi yang lebih besar dan emisi karbon yang lebih banyak.
Padahal, seperti diketahui, selama perjalanan baru-baru ini ke Washington dan New York, Kepala Pemerintahan China Xi Jinping mengumumkan program cap and trade untuk menurunkan emisi karbon. China juga memberikan dana sebesar US$$3,1 miliar untuk membantu negara-negara mberkembang bertempur dan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Selain itu, Xi jinping menegaskan, China juga menginvestasikan US$12 miliar untuk membantu negara-negara miskin mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan global selama 15 tahun ke depan yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Ini sangat tidak sejalan dengan kepemimpinan yang telah ditunjukkan China kepada dunia sebagai pemain besar yang bertanggung jawab dalam perundingan iklim COP 21,” kata Kang. (*)