CPOP: Langkah Pragmatis RI-Malaysia Genjot Produk Sawit

Buruh di perkebunan sawit mengangkut hasil panen (dok. sawit watch)
Buruh di perkebunan sawit mengangkut hasil panen (dok. sawit watch)

Jakarta, Villagerspost.com – Langkah pemerintah Republik Indonesia dan Malaysia membentuk Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOP) mengundang kritik. Langkah itu dinilai sebagai upaya pragmatis menggenjot produk sawit Indonesia-Malaysia belaka.

Deputi Direktur Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan, pembentukan lembaga seperti Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO), kemudian Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) dan terakhir CPOP merupakan bentuk pragmatis dalam menggenjot bisnis sawit akibat belum berjalannya penegakan hukum. “Sebenarnya banyaknya pendekatan bisnis menunjukkan belum berjalan optimalnya penegakan hukum,” katanya kepada Villagerspost.com, Selasa (13/10).

Menilik sejarahnya RSPO sendiri diniatkan menjadi satu lembaga non pemerintah yang terdiri dari para pemangku kepentingan dalam bisnis sawit untuk mengawasi dan memantau perkembangan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit. Pembentukannya merupakan respons atas maraknya permasalahan yang terjadi dalam bisnis sawit seperti persoalan lingkungan, konflik lahan dengan masyarakat lokal (konflik agraria), masalah perburuhan, kerusakan ekosistem dan lain-lain.

Atas dasar itu para pemangku kepentingan berharap bisa membentuk lembaga yang bisa mendorong produk kelapa sawit yang lestari yaitu selain ramah lingkungan juga ramah sosial. Maka pada tahun 2004 terbentuklah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Organisasi ini muncul sebagai jawaban dari semua persoalan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit.

Sayangnya, dalam perjalanannya RSPO juga belum menjadi lembaga yang bisa menjamin produk sawit menjadi produk yang ramah lingkungan dan ramah sosial. Hal itu terlihat dari masih tingginya kasus-kasus konflik sosial yang terjadi di perkebunan kelapa sawit dan kerusakan hutan yang sangat besar terjadi.

Berdasarkan data sawit Watch sampai dengan tahun 2013 jumlah konflik yang terjadi di perkebunan kelapa sawit adalah 389 kasus. Sedangkan kerusakan hutan yang terjadi karena ekspansi perkebunan kelapa sawit sampai sekarang ±500.000 hektare pertahun (Sawit Watch, 2013). Kondisi ini merupakan kondisi sebenarnya yang terjadi di perkebunan kelapa sawit khususnya di Indonesia.

Sawit Watch sendiri kerap membawa kasus-kasus terkait konflik sosial, masyarakat dan perburuhan di bisnis sawit ke forum RSPO, namun tak pernah mendapatkan penyelesaian berarti. “Contoh paling dekat adalah kasus kebakaran hutan dan lahan yang menunjukkan hal trsebut,” kata Surambo.

Sawit Watch memang menengarai aktor utama penyebab kebakaran hutan dan bencana kabut asap adalah perusahaan perkebunan sawit. Sawit Watch mencatat, hingga September kemarin, ada lebih dari 1000 titik api yang berasal dari perkebunan sawit di seluruh Indonesia.

Kebakaran yang masif ini terjadi karena banyak perkebunan sawit dibuka di atas lahan gambut yang jika dilanda kekeringan akan mudah terbakar. Sawit Watch mencatat, khusus untuk wilayah Riau terdapat sekitar 80 titik api di dalam perkebunan kelapa sawit, yang 61 diantaranya berada di lahan gambut, jumlah ini naik dari September 2014 yang hanya berjumlah 11 titik api.

Di Jambi ada 175 titik api di dalam perkebunan kelapa sawit, yang sebanyak 167 kebun ada di kawasan lahan gambut. Padahal, tahun lalu belum ditemukan titik api di perkebunan kelapa sawit di Jambi. Penyebab utama naiknya jumlah titik api tiap tahunnya adalah minimnya keseriusan perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk mengelola perkebunan mereka secara berkelanjutan.

Surambo menilai, tidak efektifnya penegakan hukum dalam RSPO inilah yang membuat banyak diantara pemangku kepentingan di RSPO sendiri yang kemudian melakukan langkah yang lebih pragmatis lagi yaitu membentuk lembaga baru seperti IPOP dan CPOP. Padahal, menurut dia, jika perkebunan sawit berkomitmen dengan penegakan hukum, maka pendekatan pasar tak terlalu penting.

“Sebenarnya kalau penegakan hukum berjalan, maka pendekatan pasar sepertinya kurang relevan,” ujarnya.

Dalam mode pendekatan pasar, kata Surambo, lembaga-lembaga dibentuk hanya sekadar untuk menunjukkan kepada pasar mana produk crude palm oil mau dijual. “Misalnya, RSPO untuk pasar Eropa, IPOP mungkin Amerika,” pungkasnya.

Seperti diketahui, pemerintah RI dan Malaysia telah mencapai kesepakatan pembentukan CPOP dalam dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Malaysia Dato Sri Najib Tun Razak di Istana Kepresidenan, Bogor, Minggu (11/10).

Dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo mengemukakan alasan dibentuknya CPOP antara Indonesia-Malaysia. “Karena kita tahu 85 persen produksi palm oil adalah di Indonesia dan Malaysia,” kata Jokowi seperti dikutip setkab.go.id.

Selain pembentukan CPOP, kedua kepala pemerintahan juga sepakat membuat “Standar Global Baru Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan”. Standar Global Baru merupakan hasil harmonisasi antara Standar Malaysia dan Standar Indonesia yang nantinya akan menjadi standar internasional baru di bidang industri minyak sawit dunia .

“Harmonisasi standar baru ini akan menjadi standar yang ramah lingkungan dan diharapkan memberi kesejahteraan kepada 4 juta petani sawit di Indonesia dan 500 ribu petani sawit di Malaysia,” ujar Presiden Jokowi. (*)

Facebook Comments

Add a Comment

Your email address will not be published.